Sabtu, 01 Maret 2014

MUNGKIN DIA BUKAN JODOHKU

MUNGKIN DIA BUKAN JODOHKU
Karya Arumning Tias Fauziah
 
 
Aku memang tidak pernah tahu apa itu JATUH CINTA setelah aku meninggalkan cintaku. Begitupun dengan apa yang aku rasakan, telah lama aku kehilangan rasa. Hingga ku tersadar dari keterpurukanku. Aku benar benar merasakan JATUH CINTA, terasa setelah aku meninggalkannya. Aku JATUH CINTA padanya!
***

“Hmm..” Suara desahan papa yang menghancurkan keheningan di meja makan.

Papa mulai membuka suara, “Kita akan pindah ke Jogja.”
“Apa kita akan pindah ke Jogja?” Tanyaku dengan mata mendelik.
“Iya, karena papa akan pindah tugas kesana, kira-kira 4 hari lagi”
“Aku tidak setuju!” Kutinggalkan meja makan dan pergi menuju kamar. Kurasa nafsu makanku sudah hilang.
Ada beberapa hal kenapa aku tidak setuju untuk pindah ke Jogja. Salah satunya karena Dia, Namanya Arcan, dia kakak kelasku dan aku menyukainya dari 3 tahun lalu. Dari 3 tahun yang lalu juga dia tak mengetahui perasaanku. Yah, dia tampan, pintar, atletis, dingin, dan mungkin juga pendiam. Aku mengenalnya, tapi tak terlalu dekat. Kita hanya saling berbicara jika sedang rapat di OSIS itupun hanya sebentar.
Mungkin Dia Bukan Jodohku
Tok...tok..tok.. suara ketukan pintu kamarku yang menyadarkanku dari lamunanku.
“Masuk.” Kataku tak semangat, aku tau kalau tidak Papa pasti Mama. Ternyata Mama, dan Mama mulai memasuki kamarku serta duduk disampingku.
“Mama tau, Ini tak mudah untukmu tapi Mama mohon mengertilah. Ini untuk kebaikan kita semua, Papa juga sudah menyiapkan sekolah yang lebih bagus daripada sekolahmu yang sekarang.” Katanya sambil mengelus rambutku.
“Ma, aku tau tapi kenapa secepat ini 4 hari lagi?”
“Sebenarnya Papa sudah diberi tau oleh atasannya dari sebulan yang lalu. Mama dan Papa tau kau tak akan setuju. Jadi, kami putuskan untuk mengabarimu secepat ini.”

Aku tak menjawab aku hanya menggelengkan kepalaku.
“Tiwi, Mama harap kau bisa lebih dewasa.” Katanya sambil meninggalkanku di kamar.
***

Hari ini OSIS berencana untuk mengadakan bakti sosial. Jadi, sepulang sekolah anak-anak OSIS dilarang pulang dan membagikan makanan kepada orang yang dianggap kurang mampu yang mereka temui di jalan. Kita dibagi dalam beberapa kelompok.
“Wi, kamu kelompokan sama Arcan. Soalnya yang lain udah pas tinggal kalian berdua aja.” Kata Anit. Hah! Apa aku kelompokan sama dia. Ini bukan mimpikan. “Gimana? Jangan bengong dong!” Lanjutnya.
“Eh, iya terserah deh!”

Sungguh hari yang indah aku dan dia bersama-sama membagikan makanan. Kurasa dia tak sedingin yang kukira dia baik dan perhatian. Sempat berkali-kali dia menanyakan apakah aku capek dan perlu istirahat? Tapi aku menolaknya karena kurasa aku belum capek untuk bersama dengannya.
“Kita duduk di taman itu aja ya! Kamu kesana duluan aja” Ucapnya sambil menunjuk ke taman itu. Aku mengangguk. Dia pergi, tak lama kemudian dia kembali dengan membawa dua gelas es teh.
“Ini untukmu.” Ucapnya sambil tersenyum memberikan satu gelas untukku.
“Terimakasih” Kubalas senyumnya.
“Makasih ya udah nemenin aku membagi makanan tadi.”
“Loh, bukannya ini tugas. Jadi, kewajibanku juga kan buat nemenin kakak.”

Dia tersenyum sambil memandangku saat mendengar jawabanku tadi. Jujur aku menjadi salah tingkah sendiri.
“Kamu sok bijak ya! Udah gitu salting lagi.” Ucapnya sambil melirik kearahku.
“Ih..kamu nyebelin ya! Lagian siapa coba yang salting?”
“Ciye.. ciye.. marah. Kamu cantik deh kalo lagi marah!”
“Apaan sih! Udahlah aku pulang aja.”
“Yah.. ngambek ya udah sana pulang.”
“Ya anterin dong! Masak aku pulang sendiri. Naik apa coba?”
“Kamu lucu ya! Iya deh aku anterin tuan putri.”
Malam harinya Mama dan Papa mengajakku pergi ke rumah atasan Papa untuk dinner. Aku memakai kaos dan celana jeans seperti biasa tapi Mama sungguh tak ingin melihatku memakai kaos ini. Mama memilihkan dress yang tak pernah kupakai sebelumnya. Mama juga mendadaniku dengan lipstick yang membuat bibirku lebih tebal dari biasanya. Sebenarnya aku risih tapi untuk Mama apa boleh buat.

Sesampainya disana kami disambut baik oleh keluarga Om Fauzi tapi sungguh tak ku sangka Kak Arcan anaknya atasan Papa.
“Kenalkan ini Arcan anak saya.” Kata Om Fauzi sambil merangkul Kak Arcan.
“Dan kenalkan Pak ini putri saya namanya Tiwi.” Balas Papa. Saat ku melirik ke Kak Arcan dia seperti seseorang yang sedang menahan tawa.
“Arcan, kenapa dari tadi kamu senyam-senyum seperti itu kamu udah kenal sama Tiwi?” Tanya Om Fauzi.
“Udah, Pa. Tiwi ini adik kelasnya Arcan.”
“Oh, baguslah kalau begitu mari kita mulai makan malamnya.”

Saat makan malam Kak Arcan duduk bersebrangan denganku terlihat jelas jika dia sedang menahan tawanya. Apalagi setelah aku melototkan mataku agar dia berhenti senyam-senyum tapi usahaku sia-sia dia tetap senyam-senyum tak jelas.
“Bagaimana kalau kita bicarakan keperluan kita di ruang tamu?” Ucap Om Fauzi setelah selesai makan malam. Setelah itu, ku lihat Kak Arcan membisikkan sesuatu kepada Om Fauzi dan Om Fauzi hanya mengangguk. Tiba-tiba Kak Arcan berjalan ke arahku dan menggandeng tanganku, kurasa jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia mengajakku duduk di pinggir kolam renang rumahnya.
“Ngapain kamu dari tadi senyam-senyum?” Tanyaku sewot. Dia malah tertawa. Disela-sela tertawanya dia berusaha menjawab pertanyaanku.
“Kamu beneran kayak tuan putri deh malam ini.”
“Aku aneh ya pake baju kayak gini? Sebenernya aku nggak mau pake baju ini tapi Mama yang milihin dan lipstick ini bikin bibirku tambah tebel!” Ucapku sambil menghilangkan lipstick yang ada dibibirku.
“Eits, Jangan dihapus dong! Kamu nggak aneh kok kamu cantik.” Katanya sambil memegang tanganku yang berusaha menghapus lipsticknya.
“Udah nggak usah ngerayu.”
“Siapa yang ngerayu ini dari hati tau! Oh, Iya kapan kamu pindah ke Jogja.” Sungguh aku agak terkesima mendengar kalimatnya.
“3 hari lagi.”
Kulihat dia seperti sedang berfikir jadi suasana agak hening. Tapi untungnya percakapan orangtua kami sudah selesai. Jadi mereka memanggilku dan mengajakku pulang.
***

Pagi ini aku mau sekolah tapi aku merasa sangat semangat tak tau kenapa? Seperti ada energi baru.
“Tiwi, makannya agak cepetan ya udah ada temen kamu yang mau ngajak berangkat sekolah bareng.” Kata Mama. Temen sekolah? Siapa kayaknya dari dulu nggak pernah ada deh orang yang ngajakin aku berangkat sekolah bareng. Saat ku keluar dari rumah kulihat Kak Arcan sudah bertengger di motornya.
“Hei! Ngapain kamu jemput-jemput aku segala?”
“Oh, nggak boleh ya udah deh! Aku berangkat sendiri aja.”
“Eh, jangan dong! Mubazir tau udah disini lama-lama gak dapet hasil” balasku sambil cekikikan.
Mulai hari ini aku berangkat sekolah dengan Kak Arcan banyak gosip yang bilang jika aku berpacaran dengannya dan aku hanya bisa jawab “AMIN.”

Sepulang sekolah Kak Arcan mengajakku ke sebuah taman yang letaknya tak jauh dari sekolah.
“Cewek yang sedang duduk disana itu mantanku.” Katanya sambil menunjuk seorang gadis yang cantik menurutku. “Namanya Bella.” Lanjutnya.
“Lalu? Kau masih mencintainya?” Kataku iseng sambil mengerutkan dahi.
“Tidak, aku tidak mencintainya tapi aku menyayanginya.” Kurasa ada sebuah bom waktu yang meledak dan mengenaiku, dadaku terasa sesak mendengar apa yang dia katakan.
“Aku berpacaran dengannya selama 2 tahun dan sampai sekarang aku belum bisa melupakannya.”
“Kau sudah mengajaknya untuk berbalikan.”
“Sudah, tapi dia akan menjawab 2 hari lagi saat kau pindah ke Jogja.”
“Kenapa kau tak pilih saja salah satu dari fansmu untuk menjadi pacarmu? Fansmu kan banyak malahan kau bisa memilih model apapun yang kau mau atau bahkan lebih baik darinya.”
“Kurasa tak ada wanita yang lebih baik darinya.”

Yah, kurasa sudah jelas semuanya Kak Arcan tak menyukaiku dan dia sedang menunggu seseorang yang ada disana. Ternyata aku hanya bisa mengaguminya tanpa harus memilikinya.
“Kak Arcan aku pulang ya?” Kulihat dia hanya mengangguk dan aku segera pergi meninggalkannya.
“Hei! Kau tidak menyuruhku untuk mengantarmu pulang.” Teriaknya.
“Nggak usah, aku bisa pulang sendiri.”
“Hei! Tunggu tunggu tunggu..” Ucapnya sambil berusaha menghentikanku. “Kau yakin? Kau kenapa? Kau menangis.” Tanyanya sambil memegang salah satu tanganku.
“Tidak, Aku hanya mempunyai masalah dengan kedua mataku.” Jawabku sambil tersenyum untuk menutupi kesedihanku.
“Aku antar kau pulang ya!” Ucapnya sambil menggandengku dan aku hanya mengangguk.
Perasaanku sedang campur aduk sekarang, aku ingin menangis rasanya. Jadi, 3 tahun menunggu itu sia-sia aku memang bodoh harusnya aku sadar dari awal jika dia tak mungkin menyukaiku. Lihat saja aku, aku punya kelebihan apa? Jika dibandingkan dengan Kak Bella aku tak punya apa-apa.

Semenjak hari itu aku mulai menjauh dari Kak Arcan. Aku cepat-cepat berangkat pagi sekali agar aku tak berangkat dengannya. Tapi dia malah datang ke kelasku dan membuat gosip sekolah semakin menguat.
“Kenapa kau berangkat duluan sebelum aku menjemputmu?” Katanya sambil duduk di kursi depanku.
“Tadi ada tugas dan harus ngumpulin pagi aku takut telat makanya aku berangkat sendiri.” Jawabku sambil tersenyum kecil kurasa aku memang masih sedih.
“Kau sedang ada masalah? Kulihat kau tak seperti biasanya. Biasanya kau kelebihan energi.”
“Tidak aku tidak ada masalah.”
“Kalau kau ingin bercerita cerita saja aku bersedia untuk mendengarkanmu.”
“Bisakah kau pergi dari sini? Aku ingin sendiri.” Kupalingkan wajahku darinya karena kurasa kedua mataku sedang berkaca-kaca.
“Baiklah aku pergi. Tapi, asal kau tau kau tak sekuat seperti yang kau kira.” Ucapnya sambil meninggalkanku.
***

Ini hari terakhirku untuk berada di kota ini, pagi ini aku sengaja tak berangkat sekolah untuk membereskan barang-barang yang akan dibawa ke Jogja. Yah, aku sudah ikhlas untuk apapun yang terjadi nantinya aku juga menitipkan sebuah surat untuk Kak Arcan. Karena aku tak sanggup jika harus berbicara langsung dengannya.

Buat Kak Arcan
Mungkin kau kira aku kuno atau aneh kenapa aku harus mengirimkan surat ini kenapa aku tak bebicara kepadamu langsung saja? Kurasa aku tak terlalu mempunyai banyak nyali untuk mengatakan hal ini padamu.
Ada satu hal yang ingin ku sampaikan tapi kau jangan tertawa ya!

Aku iri sama Kak Bella, aku ingin aku menjadi dirinya meskipun itu hanya 1 hari. Aku ingin disayangi olehmu meskipun itu hanya 1 hari. Mungkin sekarang kau tak mengerti apa yang ku maksud oke deh langsung aja! Aku JATUH CINTA padamu dari 3 tahun yang lalu. Tapi kau hancurkan semua harapanku saat kau bilang padaku jika kau menyayangi Kak Bella dan kau sedang menunggunya. Aku tak berharap kau bisa memiliki perasaan yang sama untukku tapi aku hanya ingin kau mengetahuinya dan menyadarinya.
Terimakasih untuk beberapa hari yang lalu karena kau telah membuat hari-hariku begitu indah. Jika kau berhasil bersatu kembali dengan Kak Bella satu permintaanku jaga hubungan kalian baik-baik dan jangan sakiti dia ya! Selamat tinggal. Jaga dirimu baik-baik. 
Tiwi

Aku telah belajar banyak hal, nggak semua yang kita inginkan harus menjadi milik kita. Yang aku tau jika dia bahagia aku juga akan merasakannya. Entahlah.. apa Kak Arcan berjodoh dengan Kak Bella. Tapi, jika dia berjodoh denganku aku yakin kita akan bertemu lagi. Kalaupun tidak, pasti Tuhan telah menyiapkan seseorang yang lebih baik darinya khusus untukku.

The hardest thing to do is watch
The one you love, love somebody else.
 

GARA-GARA RACUN TIKUS

GARA-GARA RACUN TIKUS
Karya Elis Ahmad
 
 
Sudah semingggu ini gue galau sodar-sodara. Jangan tanya kenapa? Males banget kalo harus mengingat yang sudah sohib gue lakuin ke gue. Teganya dia jalan bareng mantan gue. Padahal gue ama mantan gue itu baru bubar jalan dua minggu yang lalu. Kayak burung Gagak ngeliat bangkai langsung nyamber. Beeeerrrr... (Akhirnya gue cerita juga).

Hari ini, jam istirahat dikelas gue cuma bisa duduk bengong , kepala rasanya masih pusing kayak mau meledak neh habis ngerjain soal matematika yang super zuper syu...syah... (bego aja kali ya gue makanya mumet sampe mau meledak? hehehe).
Gara-gara Racun Tikus
“Ol, lo ga keluar? Lama-lama bulukan lo didalam kelas trus” kata Imax salah satu sohib gue yang setia mendampingi gue disaat semi susah kayak gini (SEMI SUSAH: soalnya gue gak mau dibilang masa susah. Masa Cuma karena Eks gue jalan sama sohib gue hidup gue jadi susah. Suuuiiit... walaupun emang iya, everyday is a “Galau” day).
“Gue males, Max.”jawab gue
“Males apa takut ketemu si duo racun tikus itu?” tanyanya lagi.
“Ya, dua-duanya. Empet gue liat muka sok innocent-nya mereka.”balas gue
“Yeh, sensi loe. Move on dunk gal...!”katanya mencoba ngasih semangat ke si gue yang galau abis kalo ngomongin si duo racun tikus, Riana en Bozez.
“Akhhh... Imax!!! Gue pengen makan orang!” teriak gue. Gue paling males kalo Imax mulai ngasih saran buat move on. Sebeeeelllll..!
“makan meja aja tuh! Udah pulang sekolah kita jalan yuk. Biar loe gak bete trus. Males gue liat muka jelek lo itu.” Katanya.
“mmmhhhh.... Kemana ya enaknya?”tanya gue
“nonton kek or kita nongkrong di kafe temen gue sebentar. Ntar gue yang nelpon emak lo deh biar emak lo gak nyari” balasnya.
“OK deh. Deal”gue menyepakati tawaran Imax.

Sepulang sekolah akhirnya kita jadi pergi nonton. Eits, tapi gak lupa sebelumnya Imax nelpon ngasih kabar dulu ke nyokap gue. Walau gue bisa dibilang anak yang agak bandel tapi gue tetep takut sama hukuman yang punya dunia alias Tuhan kalo membuat nyokap gue jadi susah (OMG, Soleha banget ya si Gue?).
Singkat cerita, gue sama Imax sudah ada digedung bioskop alias cinema. setelah memilih dan memilah serta melalui perdebatan yang alot mengenai film apa yang bakal kita tonton akhirnya pilihan jatuh ke Man of Steel. Setelah membeli tiket gue pergi ke stand minuman buat beli softdrink en popcorn.
“berapa mbak semuanya?”tanya gue ke si mbak penjaga stand sambil nunjuk ke barang belanjaan gue.

Eh, tiba-tiba...
“Hai, Olivia. Nonton sama siapa?”kata suara dari arah belakang gue.
Mmmhhhh.... suaranya gue hafal bener nih. Gak salah, suara simanusia kardus, personil duo racun tikus.
“Eh, hai. nanya apaan lo tadi? Sorry gak denger..”tanya gue mencoba tough alias tegar tanpa nervous.
“Sama siapa lo nonton?”tanya si Riana personil Duo Racun tikus.
“Sama Imax. Knapa?”jawab gue agak sinis biar dia tau kalau gue masih bisa berjutek-jutek ria.
“Nanya aja, emang dilarang ya?”tanyanya lagi.
“Kalo elo yang nanya jawabannya, IYA. DILARANG elo nanya-nanya gue. Puas lo?”jawab gue ketus buangeeet sambil capcus ninggalin siRiana yang masih bengong denger jawaban DAHSYAT gue.

“Wadoooohh...! knapa sih elo harus nunjukin muka jelek lo lagi disini? Disini kan kita mau have fun.”kata Imax.
“Sial banget, Max. Td waktu gue beli popcorn gue ketemu sama Duo Racun Tikus. Iiiiihhh nyebelin banget!! perasaan kemanapun gue melangkahkan kaki tuh manusia-manusia menyebalkan terus ngikutin gue. Heran gue?!” curcol gue ke Imax.
“Huft...! no comment. Masuk yuk ah, dah mau dimulai tuh filmnya.” Kata Imax.
“Ayo.”balas gue.

Hadoooohhh..... hari ini gue bener-bener sial deh kayaknya. Dah tadi pas beli popcorn ketemu Duo Racun Tikus, eh... didalam mereka duduk pas depan gue ama Imax. Pake acara sok mesra lagi. Iiiih.... mereka pikir mereka pasangan serasi seperti Edward Cullen en Isabela Swan apa? Heeuuuhhh... ngerusak mood nonton gue aja. Dua jam yang sangat melelahkan dalam hidup gue berakhir sudah. Time to go home.

Gruuung...gruuung... suara berisik dari mobil VW-nya Imax membawa kita berdua sampe ke pekarangan rumah gue yang walaupun ga bisa dibilang besar dan bagus kayak rumah orang-orang gedean gitu tapi super nyaman. Home sweet home...

Ooopppss.... tapi sebelum turun dari mobil kodok ini gue liat ada yang aneh nih sama mimik muka temen gue yang satu ini. Biasanya mukanya yang putih mulus kayak kapas (maklum darahnya campuran ⅓ Amrik , ⅓Jawa dan ¼ Sunda alias Bokapnya Amrik-Jawa en emaknya asli mojang Parahyangan) itu selalu ceria, selalu bening bersinar-sinar kayak lampu petromak dimalam hari tapi kok ini malah bermuram durja.
“Max, gue perhatiin dari tadi dibioskop sampe ke rumah gue muka lo, lo lipet kayak kertas pembungkus bawang dipasar.”kata gue mencoba membuka percakapan sama doski yang keliatan banget BETE.
“Knapa sih Crut? Lo ngambek ya ama gue gara-gara gue curcol terus?”tanya gue
“Hiiihhh... kepo banget sih lo.”balasnya.
“Ya.. trus knapa dunks?” tanya gue pake bahasa alai gitu.
“Elo mau tau aja apa mau tau banget?”jawabnya.
“Gue mau tau aja en mau tau banget. Ngerti lo?”gue balik nanya.
“Susah gue ngomongnya”balas Imax
“Knapa sih? Hei, elo suka ama gue ya? Jujur lo... beneran?”tanya gue coba ngegodain Imax.
“Gue suka ama nenek lampir kayak lo?hahaha.... lucu!”jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak.
“What?! Elo ngatain gue apa? Nenek Lampir? Ah, nyebelin lo, Max!”kata gue setengah berteriak.
“Iya, tapi gue suka... gue suka sama nenek lampir kayak elo.”katanya sambil menatap gue.
“Ah, yang bener ah? Jangan becanda lo, Max. Gue jadi agak-agak geer gimana gitu. Becanda lo ah.”kata gue salah tingkah.
“Beneran, Swear. Gue suka ama lo. Gue gak seneng kalo elo masih mikirin tuh si racun Tikus. Gue mau lo move on bareng gue. Gue yakin gue bisa gantiin posisi tuh siracun tikus dihati lo. Ya, itu juga kalo elo kasih kesempatan.”balasnya.
“Tapi gimana ya? Kita kan dah temenan lama masa kita sekarang pacaran sih. Ntar kalu kita break up hubungan kita jadi aneh. Gue gak mau kehilangan sahabat kayak elo, Max.”kata gue
“Ol, gue juga gak mau kehilangan best friend kayak elo. Makanya gue pengen kita pacaran. Asal elo tau ya, gue pengen selalu jadi sandaran elo saat elo susah maupun seneng. Sumpah deh gue sayang banget sama elo. Kalo gue gak sayang gak bakalan gue mau jadi tempat sampah lo selama ini.” Katanya
“Sebenarnya gue juga suka sama elo tp gue masih kesel aja tuh sama si Duo Racun Tikus. Kalo elo mau dan elo setuju kita pelan-pelaqn aja ya ngejalanin hubungan kita kedepannya, sambil mulihin hati gue juga yang belum kumpul semua masih bertebaran dimana-mana gara-gara si Bozez Racun tikus itu.”gue coba ngejelasin.
“Deal. Siap laksanakan, Komandan. Thank you so much...”kata Imax sambil menggenggam kedua tangan gue.
“Deal sih deal tapi gak perlu ngremes-remes jari gue dong. Sakit tau.” Kata gue sambil melepaskan gengganggaman.
Saking happy-nya tuh orang, jari gue sakit semua.
“OK, deal ya. Mulai sekarang kita jalan bareng.”kata gue
“Lho, kok jalan bareng?”tanyanya heran
“Iya, Imax darling. Sekarang kita pacaran. Yuk ah masuk rumah dulu. Emak gue dah nunggu tuh.”kata gue
“Yoiii..”balasnya.

Finally, gue sama Imax jalan bareng alias menjalin kasih (Ciee...puitis banget) dan sudah hampir satu semester ini kita jalan tanpa hambatan kayak dijalan Tol. Gara-gara SiRacun Tikus gue jadi tau orang yang bener-bener sayang sama gue ternyata orang yang berdiri tepat dihadapan gue. Makasih ya, Racun Tikus.
 

SERAK TAK TERDENGAR

SERAK TAK TERDENGAR
Karya Dhia Fauzia Rahman
 
 
“Tuhan, kirimkan seorang malaikat yang mau menjadi temanku. Akan ku jaga ia walau harus mempertaruhkan nyawaku.” Teriak Rinsa dengan suara seraknya. Siapa yang tidak tersiksa jika seumur hidupnya tidak pernah memiliki teman. Itulah yang dirasakan Rinsa. Ia tidak pernah memiliki teman. Penyebabnya adalah suara yang ia miliki. Serak dan tidak enak didengar. Tidak ada orang yang betah mendengarkan suaranya.

Setiap pulang sekolah, ia selalu merenung di taman perumahan tempatnya tinggal. Jika waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore baru ia beranjak pulang. Setiap ia merenung ia selalu berdo’a agar seseorang mau menjadi temannya. Langkahnya selalu gontai, tidak pernah ada semangat di hidupnya. Mulutnya selalu terkunci jika di sekolah. Hari-hari yang kelabu bukan? Seakan hidup di kota mati.
Serak Tak Terdengar
Tak jauh dari tempat Rinsa tinggal, seorang anak laki-laki bernama Bendera juga bernasib sama dengan Rinsa. Ia juga tak memiliki teman seumur hidupnya. Penyebabnya adalah karena ia tuli. Ketuliannya ini ia dapat saat ia masih kecil. Ia dilempari petasan oleh salah satu tetangganya. Petasan itu mengenai telinganya sehingga ia tuli. Meski ia tuli, ia masih bisa membaca gerak mulut lawan bicaranya. Walau sering, ia salah mengartikan sehingga tidak nyambung.

Siang itu, sepulang sekolah Rinsa kembali mengunjungi taman. Tidak seperti biasanya, seorang anak laki-laki yang ternyata adalah Bendera tengah menduduki bangku tempat biasa ia duduki. Dengan perasaan terheran-heran, Rinsa mendekatinya. Meski satu perumahan, tapi mereka tidak saling kenal. “Sedang apa disitu?” Tanya Rinsa sambil menunjuk bangku tempat Bendera duduk. Mata mereka saling berpandangan dan jantung mereka berdegup lebih cepat.

Dalam pikiran Bendera, Rinsa mengatakan “Boleh aku duduk disitu?” Segera ia menjawab “Boleh, silahkan.” Bendera menggeser tempat duduknya. Semakin heran Rinsa melihat Bendera. “Ada apa dengan orang ini?” pikirnya. Tanpa pikir panjang Rinsa duduk di sebelah Bendera. Lagipula baru kali ini ada orang yang mau menjawab pertanyaannya. “Siapa namamu? Aku Rinsa.” Ujar Rinsa sambil mengulurkan tangannya.

Bendera tahu Rinsa bermaksud mengajak berkenalan. Dilihat dari uluran tangannya. “Bendera.” Balas Bendera sambil menjabat tangan Rinsa. Ia melirik ke label nama di seragam Rinsa. “Jadi namanya Rinsa Dewantari toh.” Pikirnya. “Rumahmu dimana?” tanya Rinsa dengan suara seraknya. Ia menggambarkan bentuk rumah dengan tangannya. Salah satu kebiasaan Rinsa adalah menggunakan tangannya untuk membantu memperjelas ucapannya.
“Gang Jambu nomor tiga. Kamu?” Bendera balik tanya. “Gang Mangga nomor sepuluh.” Balas Rinsa sambil mengacungkan ke sepuluh jarinya. “Deket dari sini ya.” Ujar Bendera basa-basi. “Ya, agak jauh juga sih.” Jawab Rinsa. Tidak ada percakapan setelah itu, sampai akhirnya Rinsa beranjak dari tempat duduknya. “Kalau begitu, aku pulang dulu ya. Besok kita ketemu lagi disini.” Pamitnya. Bendera hanya mengangguk walau sebenarnya ia tak paham apa yang Rinsa katakan.
“Oh, ya. Boleh aku minta nomor HP mu?” tanya Rinsa sambil mengisyaratkan telepon dengan ibu jari dan kelingkingnya. Buru-buru Bendera mengambil kartu nama yang ada di dompetnya. “Sms aja, jangan telepon.” Ingat Bendera sambil menyodorkan kartu nama miliknya. “Siip. Sampai jumpa.” Rinsa melambaikan tangannya yang dibalas lambaian tangan dari Bendera dan sebuah senyuman manis.
“Tuhan, terimakasih karena kau telah mengirimkannya. Aku berjanji akan menjaganya dan akan ku pertaruhkan nyawaku untuknya.” Batin Rinsa dalam perjalanan pulangnya. “Terimakasih Tuhan, telah mempertemukan aku dengan Rinsa. Dia teman pertamaku aku harap Engkau selalu lindungi dia, Tuhan.” Harap Bendera setelah bayangan Rinsa menghilang dari jalan. Sesampainya di rumah, Rinsa segera mengirimkan sebuah sms untuk Bendera.

from : +6285643xxxxxxx
Hai Bendera, ini aku Rinsa. Simpan nomor HP ku ya.

from : Bendera
Halo juga, sudah aku simpan nomormu kok. Sering-sering sms aku ya.

from : Rinsa
Oke deh, sms kan murah. Asal jangan aku terus yang mulai :p

from : Bendera
Iya iya :D

Hari-hari berikutnya terasa berwarna bagi Rinsa setelah kehadiran Bendera di hidupnya. Begitu juga dengan Bendera, ia akhirnya merasakan kasih sayang seorang teman atau bahkan bisa dibilang sahabat. Namun sebenarnya, Bendera menyimpan perasaan yang lebih untuk Rinsa. Sebaliknya, Rinsa juga menyukai Bendera lebih dari seorang teman. Namun kebingungan masih menyelimuti perasaan Rinsa. Kenapa Bendera tidak merasa terganggu dengan suaranya yang serak dan tidak enak itu?

Hari itu, Bendera sedang berlibur sehingga tidak bisa bertemu Rinsa. Setelah tiga hari tidak bisa bertemu, Rinsa merindukan suara Bendera. Tanpa persetujuan Bendera, ia menelpon Bendera. Ia tahu, Bendera memintanya untuk tidak menelponnya. Tapi demi mengobati kerinduannya ia tetap bersikeras menelpon Bendera. Lama tak dijawab oleh Bendera, ia mulai gelisah. Sebenarnya, Bendera tak menjawab karena bingung harus mengatakan apa.
Agar tidak membuat Rinsa marah, Bendera akhirnya mengangkat telepon dari Rinsa. Untunglah HP nya dilengkapi sensor yang mendeteksi apakah lawan bicara masih berbicara atau tidak. Walau tidak tahu apa yang diucapkannya. Sehingga Bendera tidak akan memotong ucapan Rinsa.
“Halo, Bendera? Kok nggak diangkat-angkat sih?”
“Aku lagi main game nih, kamu lagi ngapain?”
“Hah? Aku kan nggak nanya itu?”
“Oh gitu, ya udah lanjutin aja dulu. Aku juga sibuk nih, seru banget gamenya.”
“Kamu ini aneh atau gimana?”
“Besok aku udah pulang kok.”
“Ya udah cepetan ya. Sampai jumpa besok.”
“Oleh-oleh? Besok aku bawain deh.”
“Tuuut…. Tuuut…. Tuuut….”
“Tadi dia ngomong apa ya? Mudah-mudahan dia nggak marah.” Harap Bendera setelah mematikan HP nya. Sementara Rinsa semakin bingung dan heran terhadap Bendera. Sikapnya yang aneh membuat Rinsa curiga. “Sebenarnya ada apa sih dengannya?” pikirnya. Walaupun Bendera sebegitu anehnya, Rinsa tetap bersikeras untuk mempertahankan hubungannya dengan Bendera. “Sudah sejauh ini masa’ harus berakhir sia-sia karena keanehannya.” Pikirnya lagi.

Esoknya setelah Bendera pulang, ia mengajak Rinsa untuk bertemu di taman. Katanya ada sesuatu yang ingin ia katakan dan itu penting. Tanpa perasaan ragu, Rinsa datang ke taman. Sudah ada Bendera disana. Rinsa duduk di sebelah Bendera. Tidak ada percakapan diantara mereka berdua, entah Bendera yang belum siap memulainya atau karena Rinsa tak tahu apa yang ingin di bicarakan. Harusnya Bendera yang memulainya, dia kan yang ngajak.
“Bendera.” “Rinsa.” Panggil mereka bersamaan. “Kamu dulu aja.” Ujar Bendera mengalah. “Aku mau tanya, sebetulnya kamu itu kenapa? Waktu ditelepon kamu selalu nggak nyambung jawabnya.” Ujar Rinsa panjang. Bendera tidak tahu apa yang Rinsa katakan. Selain terlalu cepat dan terlalu banyak kata, Rinsa juga tidak menggunakan bahasa tubuhnya. Akhirnya ia hanya diam saja dan tidak menjawab. Merasa tidak didegarkan, amarah Rinsa memuncak.
“Apa kau tuli?” tanya Rinsa dengan nada yang meninggi tapi masih terkesan rendah karena suara seraknya. Emosinya sedang naik sehingga mengatai Bendera tuli. “Da... darimana kau tahu?” tanya Bendera takut. Bukan main herannya Rinsa. “Tuli? Dia tuli?” pikir Rinsa. “Jadi kau benar-benar tuli?” tanya Rinsa tidak percaya. “Lalu, bagaimana kau bisa tahu semua ucapanku?” tanya Rinsa lagi. Kali ini ia memakai bahasa tubuhnya sehingga Bendera bisa mengerti.
“Dulu saat aku masih kecil, sebuah petasan meletus didekat telingaku sehingga gendang telingaku pecah. Aku menjadi tuli. Aku tidak bisa mendengar suara apapun lagi. Bahkan aku sendiri lupa bagaimana suaraku dulu. Sejak saat itu aku hidup dalam kesunyian. Tapi, aku masih bisa membaca gerak mulut lawan bicaraku. Sehingga aku masih bisa memahami maksudnya walau terkadang aku masih salah.” Cerita Bendera panjang.
“Tapi kau berbeda, kau menggunakan bahasa tubuhmu. Sehingga aku bisa lebih memahami ucapanmu. Saat ditelepon tentu saja aku tidak bisa menjawab dengan benar. Aku tak tahu apa yang kamu bicarakan. Jadi aku mohon, tetaplah seperti ini. Aku tak ingin kehilangan kamu. Karena kamu satu-satunya temanku. Dan aku menyukaimu, sangat menyukaimu.” Lanjut Bendera. Perasaan Rinsa bercampur aduk antara kagum, kecewa, dan senang.

Kagum karena Bendera mampu dan bisa menjadi anak normal. Kecewa karena Bendera tidak mau mengatakan yang sebenarnya kepadanya. Dan senang karena cintanya terbalas. “Suaraku serak.... aku tidak punya teman..... hanya kamu temanku....... aku juga menyukaimu.....” pelan-pelan Rinsa mengatakannya sambil mengisyaratkan perkataannya agar Bendera mengerti. Sedetik kemudian Bendera tersenyum diikuti tawa riang darinya dan Rinsa.
“Jadi, kamu mau jadi pacarku?” tanya Bendera memastikan. Rinsa mengangguk sambil tertawa. Tak peduli apapun kekurangan kita dan teman kita. Suatu saat kekurangan itu akan menjadi kelebihan kita.
 

EVERYTHING ABOUT YOU

EVERYTHING ABOUT YOU 
Karya Tety Akemi Edelwinaa
 
 
Aku terpilih menjadi seorang senior yang bertugas mengOspek Para calon mahasiswa di Universitas Swasta di Jakarta . Aku adalah Bastian Marchellio Siregar yang biasa disapa Bastian , aku tinggal di kost’an yang hanya berjarak 5km dari kampus bersama sepupuku I Gede Agung Siregar , beserta dua sahabatku Muhammad Farel dan Achmad Pedro Sulaiman .

Siang ini aku harus menghadiri rapat senior ospek di kampus untuk mendiskusikan ospek yang akan dilaksanakan 3hari lagi . Tiba – tiba saat aku sudah berada didepan ruangan rapat Agung menghampiriku .
“ Bas , mau pulang bareng ga ? kebetulan Sharon lagi bawa mobilnya tuh ?” ajaknya padaku .
“ Ga gung , gue harus hadirin rapat senior dulu , lo duluan aja ya .”
“ Oh yasudahlah . Gue duluan tak .” Agung serinng mengejekku dengan sebutan batak , padahal ia sendiri keturunan Bali - Batak .
“ Iya deh yang Bali mah .” ia hanya menyeringai kuda dan berlalu meningalkanku . Akupun langsung menelfon Farel agar ia lebih cepat datang , karena rapat akan segera di mulai , dan Ospek pun akan dilaksanakan 3hari lagi .
**
Everything About You
Malamnya setelah aku selesai mandi dan makan , akupun bersantai diruang depan sambil menonton televise dengan ditemani oleh sebungkus rokok dan secangkir kopi mocca .
“ Bas , Farel dimana ?” Tanya Pedro padaku .
“ Di lantai atas sedang telfonan dengan Bella , kenapa ?”
“ Oh , tidak apa – apa . Lalu Agung dimana ?”
“ Gue disini , hehe .” sahutnya seraya keluar dari kamar .
“ Tumben dirumah lo ? biasanya juga clubbing setiap malam minggu .” ledek Pedro .
“ Ini baru saja mau berangkat , kebetulan Sharon sedang marah sama gue , hahaha jadinya malam minggu bebas gue .” dengan raut wajahnya yang gembira
“ada – ada aja lo ah , yasudah gue mau pergi kerumah Velish dulu ya . Bye!!” ucapnya seraya berjalan keluar rumah .
“ Ayo Bas berangkat , munafik banget deh ahh!” ajak Agung padaku
“ Ayoo deh , capcus tak . hhaha .” jawabku
**

Malam ini clubbing menjadi sangat ramai karena memang malam ini adalah malam minggu dimana para remaja maupun single parents bersenang – senang . Agung pun langsung memesan minuman yang biasa kami minum , mana lagi sekarang Agung baru saja mendapat gajian dari pabrik swasta tempat ia bekerja . Semakin malam , semakin ramai pula para remaja yang dating ke clubbing ini , serta semakin pusing pula kepala ku ini karena aku dan Agung sudah meminum kurang lebih 4 botol . Samar – samar aku melihat seorang wanita striptease yang berbeda dari malam – malam sebelumnya , kali ini ia mengenakan pakaian yang lebih sopan dan tentu saja wajahnya pun lebih cantik dari penari striptease yang lain .
“Mok , itu penari striptease yang baru bukan ?” Tanyaku pada bartender wanita yang sering ku panggil semok .
“Iya Bas , baru 4hari dia jadi penari striptis disini.”
“Batak mulai liar nih , hahaha.” Ledek Agung
“Berisik saja lo ahh.” Wanita misterius itu hanya menari sebentar saja dan langsung bergegas turun dari panggung dan entah pergi kemana , tiba – tiba aku merasa ingin buang air kecil dan langsung saja akupun meninggalkan Agung yang sedang berbicara bersama bartender menuju ke toilet pria .
Sesampainya aku didepan pintu toilet pria , aku merasa seperti mendengar perdebatan antara wanita dan pria dari dalam ruang ganti penari striptease yang letaknya tak jauh dari toilet . Baru saja aku berniat untuk mendengarkan apa yang sedang mereka perdebatkan , tiba – tiba seorang wanita keluar dari dalam ruang ganti dengan langkah yang terburu – buru dan langsung berlari saat seorang pria hendak mengikuti langkahnya . Akupun langsung masuk kedalam toilet untuk bersembunyi agar tidak dicurigai oleh pria itu , mungkin mereka berdua yang baru saja melakukan perdebatan itu , setelah ku ingat – ingat kembali ternyata wanita yang berlari tadi itu adalah penari striptease misterius itu , aku menyesal mengapa aku tak mengikuti langkahnya untuk mengetahui siapa dia sebenarnya .
**

Pagi ini Ospek untuk para calon mahasiswa/i dikampusku akan dilaksanakan oleh para dosen beserta panitia – panitianya .
Kulihat Velish kekasih dari Pedro sudah tiba dikampus bersama teman – teman yang lainnya dikantin , yang juga calon mahasiswa/i disini , tak lama kemudian Farel pun menghampiriku yang sedang duduk santai dikantin .
“Bas , lo bawa rokok ?” Tanya Farel padaku , setahuku ia tidak berani untuk merokok karena desakkan Bella kekasihnya .
“Bawa , sejak kapan lo merokok Rel ?” Jawabku heran .
“Bukan buat gue Bas , tapi buat temannya Sharon .”
“Temannya Sharon ? Wanita ?”
“Iya , yasudah lo hampiri dahulu si Sharon sana . Dia ada diparkiran mobil , temannya itu sedang galau Bas.” Pintanya dengan nada meledek , akupun hanya membalasnya dengan seringai kudaku yang begitu cool terlihat *hahaha , lalu bergegas berjalan menuju parkiran mobil .

Setelah sampai diparkiran mobil , ternyata Sharon sudah menantiku diluar pintu mobilnya dengan raut wajah yang menunjukan betapa jenuhnya ia menantiku .
“Kurang lama bang !!” ucapnya cetus saat aku menghampirinya .
“Hehe maaf dek , dimana teman kamu nya ?” Jawabku dengan tertawa kecil .
“Itu ada didalam , mana bang pesanan aku?”
“Nanti ! apaan sih lo , cewe – cewe merokok ! gapantes de.” Tiba – tiba wanita penari striptease clubbing malam itu keluar dari mobil milik Sharon dan spontan memarahiku .
“Lo , kalau emang gamau kasih gue rook yaudah! Lo gak usah kan marah-marahin Sharon dong!” ucap wanita itu .
“Eh tunggu deh , lo wanita penari striptease clubbing yang ada di dekat bundaran HI kan?” jawabku yang sekaligus memberinya pertanyaan . Raut wajahnya begitu mtnunjukan kebingungan dari pertanyaan yang baru saja aku ajukan .
“Ko..ko lo bisa tau ?” jawabnya gugup .
“Iyalah , malam minggu kemaren gue kesana kali , bahkan gue juga dengar saat lo debat sama seorang pria yang usianya berbeda sedikit sama gue .” jelasku .
“Dra , lo bertengkar lagi sama bang Regaa?” Tanya Sharon . Ia hanya diam , wajahnya menunjukan kepanikan yang menyiksanya , sampai akhirnya ia tak menjawab melainkan langsung memasuki monbil Sharon kembali . Akupun langsung memandang heran kea rah Sharon , dan Sharon pun melihatnya bingung . Akupun langsung menyerahkan rokokku kepada Sharon dan langsung meninggalkan mereka disana karena ospek akan segera dimulai , Sharon pun memaklumiku .
**

Waktu t’lah menunjukka pukul 13:00 WIB , saatnya seluruh mahasiswa/i atau yang sedang menjalani proses Ospek , untuk pulang .
Seperti biasa aku selalu menggunakan jasa angkutan umum agar dapat cepat sampai dikontrakkan dan langsung merebahkan tubuhku dikasur rumah yang sudah lapuk *hahaha .
Sesampainya didepan pintu pagar , aku sudah melihat ada mobil Sharon terparkir disana , berarti dirumah sedang ramai saat ini , tak apalah asalkan aku dapat beristirahat .

Saat aku sudah berada didepan pintu , ternyata wanita striptease itu ada disana , sedang menghisap sebatang rokok mild di mulutnya , betapa senangnya hatiku dapat melihat wanita itu lagi .
“Bas..Bastian?” ucap wanita itu gugup .
“Iya , ada siapa didalam ? kok lo sendirian diruang depan ?” tanyaku
“Mereka ketiduran didalam , dan gue ditinggal sendiri disini.” Jawabnya .
“Oh..Lo udah makan?”
“Belum Bas , lo sendiiri?”
“Belum , masak gih . hehe”
“Kalo ditemanin sama lo sih ayoo aja” ucapnya sembari tersenyum . Akupun mengiyakan pintanya , dan kamipun memasak bersama didapur dengan mengunakan bahan makanan seadanya .
Saat memasak , kita tidak hanya saling diam dan focus dengan masakan , namun kamipun menghiasi awal perkenalan kami dengan candaan dan tawa yang riang . Aku dan Cassandra (penari striptease) saling berbagi cerita tentang kehidupan kami , dan ternyata ia menjadi penari striptease karna paksaan dari kakaknya yang gila akan materi . Orangtua Cassandra t’lah bercerai sejak 4tahun yang lalu karena perselingkuhan yang dilakukan oleh kedua belah pihak , dan semenjak saat itu Cassandra diasuh oleh kakaknya yang mengharuskan ia rajin bekerja .
Setelah masakkan kami matang , kami berdua pun langsung mengambil piring dan langsung memakannya .
Sharon dan Agung yang baru saja bangun dari tidurnya langsung ikut makan bersama aku dan Cassandra .

Sempat aku tawarkan pada Cassandra agar ia mengontrak dikontrakan yang berada disamping kontrakanku , soal biaya nanti aku akan mencarikannya pekerjaan yang lebih layak untuk wanita secantik dia . Aku tak tega melihat wanita secantik Cassandra bekerja didalam gemerlapnya dunia malam , dan entah mengapa aku merasakan ada sesuatu yang berbeda dariku . Apa mungkin aku mencintainya ? entahlah .

Malam ini Cassandra akan bermalam dikediaman Sharon , dan begitu ia meninggalkanku aku merasa tak ingin jauh darinya . Dan saat aku sedang melamun memikirkannya dengan aksi jail khasnya Farel pun menegjutkanku dari belakng .
“DORRRR!! Ahahaha.” Ucapnya mengejutkanku dengan diiringi suara tawa gelinya.
“Sialan lo ah Rel , gue kira siapa.” Jawabku ketus .
“Ahahaha , ada yang sedang kasmaran nih . ehem..ehem.. “ ledeknya padaku .
“Ah lo Rel , bisa aja deh .” jawabku malu – malu .
“Jiaaahaha , gayanye segala malu – malu lo ahh . Cerita dong lo lagi mikirin siapa sampe – sampe sendirian gini diloteng?”
“Gini Rel , gue jadi kefikiran Cassandra terus , gue gatau gue ini lagi kasmaran atau enggak . Soalnya terakhir kali gue ngerasain indahnya pacaran tuh waktu kita masi kelas 11 di SMA Rel.”
“Oh gitu , menurut gue sih lo memang lagi kasmaran Bas . Terbukti saat ini aja lo lagi mikirin dia kan ? coba lah lo buka hati lo lagi buat cewe – cewe diluar sana . jangan kayak gini terus , gue yakin lo bisa ko musnahin rasa ilfeel lo sama Cassandra .”
“Kenapa lo bisa yakin gitu Rel?”
“Iya lah , biarpun gue bukan seorang psikolog , gue itu masih bisa baca gerak – gerik orang kasmaran . Dan saran gue sih lo coba dekatin aja si Cassandra Bas , gaada salahnya kok !”
“Hmm , iyah Rel . Makasih banyak yah Pitung Betawi.” Ledekku diakhir perbincangan kami .
“Iyee Ucok Batak , demen banget lu ah kalo udeh ngeledek gue !” logat Betawi nya keluar saat menjawab ucapan terimakasihku .
**

Keesokan harinya ketika sudah berada dikampus , Sharon dan Agung menghampiriku yang sedang asyik merokok dipojokan kantin yang bersebelahan dengan kios makanan favoritku .
“Abaang .” sapa Sharon padaku .
“Iya de .” jawabku .
“Tak , ada yang mau diomongin Sharon tuh sama lo .” ucap Agung padaku .
“Iya bang , jadi Cassandra semalem bilang ke gue kalo dia tuh mau bang ngontrak dikontrakan yang bersebelahan sama kontrakan lo , tapi dia maunya nanti ajaa kalau dia sudah punya pekerjaan .” jelasnya .
“Bilang sama Cassandra , gue yang akan cari dia pekerjaan yang layak , apapun yang terjadi sama dia gue yang akan tanggung jawab!!” jelasku pada Sharon , yang membuat Agung saudaraku sendiri tercengang .
“Bang Bastian so sweeeet banget!! Yank , ko kamu ga se so sweet Bang Bastian sih .” ledek Sharon pada Agung , Agung pun reflek merangkul Sharon dan mencium keningnya dengan sangat tulus .
“Heh jangan mesra-mesraan didepan gue! Iri nih iri .” ledekku pada mereka berdua . Tak lama kemudian Pedro dan Velish pun dating menghampiri kami .
“Wiih , pada bawa pasangan semuaa , cabut ahh gue .” Ledekku pada Peedro .
“Gih sana , cabut ke kios jus yaa pesenin buat kita semua Bas.” Jawab Pedro dengan ledekkan pula .
“Yasudah sini – sini kumpulkan saja dahulu uang – uang kalian semua . Macam mana pula andai semua aku yang membayarnya .” Ledekku dengan menggunakan logat Batak yang begitu kental , dan sejak dahulu hanya Sharon yang selalu tertawa geli apabila aku berbicara menggunakan bahasa Sumut .
Waktu bersantai sudah habis , saatnya melaksanakan tugas Ospek kembali , sedangkan Agung , Pedro beserta pasangannya bebas ingin melakukan apapun kecuali Velish .
**

Keesokan harinya Sharon dan Cassandra dating menghampiriku dikontrakan saat aku sudah berada dikontrakan tepatnya setelah pulang dari kampus , kami berencana mengunjungi rumah nenek dari Cassandra untuk meminta izin agar Cassandra dizinkan mengontrak dan tidak lagi tinggal bersama kakaknya .

Sesampainya disana , kami langsung menyampaikan apa tujuan kami kesana setelah kami sungkem kepada neneknya . Sesuai dengan harapan neneknya pun mengizinkan Cassandra mengontrak dengan syarat kalau Cassandra tidak boleh merepotkan siapapun disana , dan jika Cassandra mengalami kesulitan , wajib untuk sang nenek mengetahuiinya . Setelah kami selesai menyampaikan tujuan kami kesana , kamipun langsung mengemas barang-barang milik Cassandra yang berada dirumah neneknya dan dirumah Sharon , karena siang ini juga Cassandra akan mulai tinggal disana .
Dan aku akan membujuk Tanteku agar ia mau memberi pekerjaan pada Cassandra , karena kebetulan Tanteku memiliki sebuah Restaurant diJakarta yang berjarak 3km dar kampusku . Dan beruntungnya Tanteku mau memberikannya pekerjaan ,sebagai seorang waitres mulai esok hari .
**

Seiring berjalannya waktu , aku dan Cassandra pun semakin akrab , bahkan disaat hari Raya Natal tahun pertama kedekatanku dengannya aku merayakannya dikediaman neneknya , dan ditahun kedua aku mengajak Cassandra merayakan hari Raya Natal di Sumatera Utara yang tidak lain adalah kampung halamanku dan Agung yang telah mendapat izin dari neneknya .
Ditahun ketiga ini tepat 3tahun aku mengenalnya , aku berniat melamar Cassandra dikediaman neneknya .

Aku sungguh mencintainya , segaja aku tak menjadikan ia sebagai kekasihku karna aku takut jika kami terpisah karna hal spele yg dapat membuat kita terpisah .
Tepat mala mini aku akan melamarnya , aku , Sharon , Velish , Bella , Agung , dan Pedro telah mempersiapkan semuanya dengan matang dengan dibantu dukungan dari nenek serta keluarga besar Cassndra .

ke2 pria dan 1 orang wanita itu aku perintahkan untuk memegang kalimat Will You MarryMe yang telah kubuat sendiri diatas 3buah kertas karton berwarna merah muda , lalu ke2 wanita itu aku perintahkan untuk membantu membelikan satu buah bucket bunga mawar merah dari hasil keringat kerjaku dan perlengkapan lainnya menggunakan uangku , serta menata halaman rumah nenek Cassandra yang akan menjadi moment terpenting kedua dalam hidupku .

Lalu aku meminta nenek untuk menutupi mata serta menuntun Cassandra menuju halaman belakang rumahnya dengan keadaan mata tertutup setelah turun dari mobil Sharon .
Rencana kami pun berjalan sesuai dengan harapan , Cassandra menerima lamaranku dengan sangat bahagia , dan 3 minggu lagi aku akan menikahinya .
Aku akan menjaganya , mecintainya , serta membahagiakannya selalu dan selamanya 

~ THE END ~
 

REAL FRIEND

REAL FRIEND
Karya Regina Natalina Naomi
 
 
Aku tidak tahu, sungguh. Ini mustahil. Aku tidak melakukannya! Aku bukan pelakunya.
Ah ya, perkenalkan aku Sherly. Siswi kelas 3 SMP Nusa Antara. Em, ingin tahu apa yang kualami? Mmm, mungkin aku perlu bercerita.

Semua dimulai dari sahabatku yang mendapat teror dari orang yang tak dikenal berupa surat misterius. Semula, sahabatku Andina mengabaikannya, tapi lama-kelamaan ia merasa terusik juga oleh surat-surat itu.
Ia mulai menyelidiki segala kemungkinan yang berhubungan dengan surat itu. Anehnya, semua buktinya mengarah padaku. Hei, bukan aku pelakunya! Aku jujur, sungguh.
Real Friend
Kalau buntut masalah ini tidak panjang, aku juga tak akan memproblemkannya. Tapi sekarang, semua orang menatapku seolah aku adalah kutu di rambut mereka. Mereka semua menganggapku pengkhianat, jahat, antagonis. Aku benci semua itu. Persahabatanku hancur, diikuti reputasiku.
Aku berusaha kuat. Kuat saja, kuat. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang-orang yang hanya bisa menuduh tanpa membuktikannya.
Segala masalah ini membuatku lelah. Lebih baik aku beristirahat.
***

"Liat tuh, si pengkhianat. Hah, jahat banget dia. Masih belagak ga ada apa-apa lagi. Idih, jijik gue." Suara seorang siswa mulai menghinaku. Aku bersikap santai dan tidak menghadapi dengan harap dia lelah sendiri.
Tapi nampaknya itu mustahil. Dia malah terus menghinaku, terus. Dan itu didepan Andina dan membuatnya semakin benci denganku.
Apa jangan jangan... Dia pelakunya? Dara pelakunya? Astaga, apa yang dia harapkan dengan berbuat seperti itu? Berharap Vieno beralih padanya? Mencari sensasi? Atau apa?
Tapi itu jelas tidak mungkin. Tidak mungkin.
***

Aku memejamkan mataku. Lelah mendera, menuntutku segera tidur. Tapi beban yang menimpaku ini seolah menahanku, tidak dapat beristirahat dengan tenang. Memoriku mengingat saat Andina pertama kali mendapat surat teror itu.
"Ada apa, An?"
"Tau nih, ada surat buat gue,"
"Surat cinta kali?"
Andina nyengir. "Pengennya sih gitu.
"Yaudah, buka aja!"
"Oke..."
Heh, Andina anak sok manis…
Gue ingetin, jangan sok! Muak gue ngeliat lo. Inget ya. Awas lo. Jika lo terus tebar pesona sama si dia gue bisa pastiin semua bisa mengancam hidup lo. Gue gak akan biarin lo hidup tenang! Ngerti?
Wajah Andina syok, tapi sejenak kemudian dia bersikap santai dengan berkata, "Biarin aja. Orang iseng kali!"
Aku ingat, saat itu aku hanya mengangkat bahu tidak tahu. Lagipula aku bisa menanggapi apa? pikirku kala itu.
Aku mengerjapkan mata pelan. Kupandangi sebuah gelang pemberian Andina yang melingkar di pergelanganku. Benarkah Andina sahabatku? Kenapa dia mudah terhasut orang lain? Sahabat yang sejati tak akan langsung mudah percaya pada perkataan tanpa bukti orang lain yang memfitnah sahabatnya, bukan?
Ah, aku ingat ibuku sempat berkata bahwa ada surat untukku sebelum ia berangkat kerja.
Kubuka amplop itu.
...

Heh Sherly,
Gimana? Enak, diabaiin temen? Enak? Mudah mudahan lo suka.
Tunggu aja deh, masih ada kejutan lainnya buat lo. Semoga lo suka, haha!
Pengen ga diganggu oleh masalah ini lagi? Gue liat mata lo berkantung gitu ya. Haha. Mau gak gue kembaliin sahabat dan reputasi lo? Tapi ada syaratnya. Jauhin Vieno!
From someone who hate you
...

Aku tercekat. Mataku mengerjap beberapa kali. Nyatakah ini? Siapa? Siapa yang tega melakukan ini?
Dia ingin aku menjauhi Vieno? Vieno sahabatku, tetangga sejak kecilku, sekaligus sepupu baikku?
Ini harus diluruskan.
***

Ien, gw tunggu lo di tempat biasa yo. gpl. penting bro, cepet.
Begitulah isi SMS yang kukirimkan pada Vieno. Aku memang harus mengkoordinasikan ini pada sepupu terdekatku ini. Jika tidak, masalah semakin panjang dan aku akan semakin stres.
Oke sis, gw dtng segera.
Aku menghela napas lega. Semoga masalah pelik ini dapat semakin cepat terurai.
***

"Ada apa, sis?"
"Gini, ..." Aku menjelaskan segala beban yang bertengger di pundakku yang kutanggung sendiri selama sebulan ini. Vieno mengangguk mengerti.
"Iya, gue emang keren, jadi banyak fansnya."
"Eh, gue udah panik gini lo malah narsis gitu, Ien? Woy, nyadar bro!"
"Becanda kali Sher! Oke, gini aja. Lo laksanain peritah orang nyebelin itu."
"Lalu?"
"Nanti kita omongin lagi. Oke, sekarang lo mau traktir gue?"
"Dasar!"
***

...
Sherly sok cantik!
Lo gak denger omongan gue kemaren? Kenapa lo malah nemuin Vieno? Pake becanda2 gitu lagi, iewh.
Gue mau ketemu lo, sok cantik! Belakang sekolah, besok pulang sekolah. Jangan ajak siapapun!
Inget!
...
Mau apa sih, orang ini? Jahat sekali. Oke, aku akan pergi.
***

Kupandangi seluruh penjuru taman belakang ini. Mana si misterius itu? Pengecutkah dia sehingga berubah pikiran?
"Gue kira lo ga dateng, Sherly."
Suara itu- Dara! Benar dugaanku. Aku memutar tubuhku.
"Kenapa lo nantangin gue kesini?" nada ucapanku gagah berani sekaligus menantang.
"Berani? Oke, gue minta lo jauhin Vieno!"
"Kenapa begitu?" tanyaku.
"Karena gue suka sama Vieno!"
"Kalo gue bilang, gue dan Vieno ga punya hubungan khusus, masalah lo apa?"
"Cih!" cibir Dara meremehkan. "Keliatan akrab begitu!"
"Karena gue sepupu Vieno!"
Dara membeku. Pipinya mulai berubah soft pink. Dia tak mampu berbicara. Aku mengalahkannya dalam satu kalimat.
"Kenapa diem? Malu atau apa?"
Dara terduduk lemas. "Sori..."
"Trus gimana lo blikin semua ini? Bisa?"
"Gue coba..."
***

Keadaan membaik. Semua tak memandangku layak kotoran di sepatu.
Tetapi aku mendiamklan Andina. Ternyata Andina disuruh Dara, lalu Andina menurutinya, dan itu membuatku berang! Sahabat sejak SD-ku dengan mudahnya menuruti orang yang baru dikenalnya tidak sampai setahun. Huh, baik sekali.
Andina berusaha meminta maaf padaku, aku terus mengabaikannya. Ia mengikutiku saat perjalanan pulang, mencoba menjelaskan. Semula, aku tak mengindahkannya. Tapi satu kalimat langsung membuat persepsiku berubah.
"Gue ga mau lo terluka..."
Aku menoleh padanya.
"Gue ga mau lo disakitin Dara. Dia bilang akan nyakitin lo kalo gue ga ngelakuin apa yang dia mau. Sebenernya, gue tersiksa, Sher, gue kesiksa ngeliat lo sedih banget gitu. Tapi kalo gak..."
"Stt," potongku. "Thanks ya An... Perhatian lo baik banget. Maaf gue sempet prasangka buruk sama lo..."
"Gue yang harusnya minta ma..."
'Sttt, udahlah. Yang penting... Friend?"
"Friend! Thanks Sher, lo mau maafin gue!"
Aku memeluk Andina. Sahabatku, selamanya takkan berubah. Sahabat sejatiku yang rela mengorbankan perasaannya demi menyelamatkan hati sahabatnya, meski dia kurang berpikir lebih jauh. Tapi dia tetap sahabat sejatiku.
Andina balas memelukku. "Thanks..." bisiknya.
 
 

H-2 UJIAN NASIONAL

H-2 UJIAN NASIONAL
Karya Rahmawati Azberina
 
 
Sore hari yang cerah. Dengan matahari yang terasa tak terlalu menyengat. Adzan ashar mulai berkumandang dari beberapa arah yang berlawanan. Suaranya seakan bersahutan meramaikan suasana sore itu. Segera ku ambil wudhu dan membentang sebuah sejadah berwarna merah untuk dijadikan alas shalatku.

Seusai shalat terdengar suara motor dari kejauhan. Walaupun suara motor itu sayup – sayup terdengar namun aku telah mengetahui bahwa itu adalah sahabatku. Segera aku berpamitan dengan ibuku yang sedang memasak di dapur. Dua orang dengan dua buah motor terparkir dihalaman rumah. Sebuah motor supra X berwanra putih dan Mio berwarna hijau. Deazy dan Anisa telah menungguku sambil berbincang – bincang.


Sore ini kami akan pergi les Fisika dirumah seorang guru yang juga mengajar di sekolah kami. Sebenarnya jarak antara rumahku dan tempat les tak terlalu jauh. Akan tetapi kami harus menjemput salah satu teman kami dirumahnya.

Awalnya aku dan Anisa tak terlalu banyak berkomentar terhadap perjalanan yang kami tempuh. Namun ketika kami melewati sebuah gerbang pemisah antara kota Pangkalpinang dengan sebuah Desa kami mulai merasa risih. Wajar saja, ini adalah kali pertama kami berpergian sejauh ini. Akan tetapi Deazy selalu meyakinkan kami bahwa perjalanan kami tak jauh lagi.
Sesampai dirumah Vanesa cuaca terlihat tak bersahabat. Namun, kami nekat untuk tetap melanjutkan perjalanan. Sayangnya, hujan mengguyur sebelum kami sampai di tempat les. Kami terpaksa berteduh di sebuah rumah kosong.

10 menit berlalu. Hanya gerimis yang tersisa saat ini. Kami memilih untuk melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan tiba – tiba Vanesa berhenti tepat didepan gerobak ketoprak.
“Makan dulu yuk?” ajak Vanesa kepada kami
“Tapi udah Sore, nanti kita telat” jawabku
“Ayolah.. laper nih” rayu Vanesa
Akhirnya kami mengiyakan ajakan Vanesa. Ketika sedang asyik makan tiba – tiba “udah jam empat lewat ni.. buruan yuk” kata Anisa.
Sesampai di tempat les, ternyata Pak Kardi guru les kami telah menunggu. “kirain gak datang” kata guru les kami. Kami hanya tersenyum.
Jam telah menunjukkan pukul 05.30. kami segera berpamitan untuk pulang. Setelah mengantar Vanesa kami melanjutkan perjalanan mengantarkanku pulang.

Suara beduk mulai terdengar. Suara yang berasal dari sebuah masjid yang baru saja kami lewati. Karena takut dimarahi orang tua, kami memilih untuk ngebut. Kami ngebut dijalan aspal yang masih terlihat basah karena diguyur hujan. Tiba – tiiba “Braaaakkkkk…..” terdengar suara motor yang jatuh dari belakang.
“Anisa!” pikirku spontan.

Segera kualihkan pandanganku ke belakang. Aku terkejut ketika melihat Anisa berlumuran darah. Ia dan motornya terbaring dibadan jalan.
“Dez, goncengin aku ya? Aku udah nggak kuat” gerutu Annisa
“Aduh.. gimana nih?” kata Deazy panik
“ya..ya udah dez, biar aku yang bawain mo.. motor kamu” kataku gugup
“Bawa motor? Sendiri? Sejak kapan aku berani bawa motor? Tapi..kalau nggak diberaniin..?” pikirku ragu – ragu dalam hati.
Sesampai dirumahku, seluruh anggota keluarga keluar dari rumah. Ternyata sedari tadi mereka telah mencoba menghubungiku. Akan tetapi aku tak mendengarnya. Karena aku terlalu berkonsentrasi mengendarai motor.

Mereka terkejut kala melihat Anisa yang telah berlumuran darah. Ibuku menyuruh Anisa masuk kerumah. Lalu beliau membesihkan dan mengobati luka Anisa. Secangkir teh disediakan untuk Anisa. Sepengetahuanku teh memang sangat baik untuk orang yang lemas. Karena teh hangat dapat menambah kekuatan.

Sekitar pukul tujuh Anisa diantar pulang oleh Ayah dan Kakakku. Ayahku mengendarai motornya sambil menggonceng Anisa dan kakakku mengendarai motor Anisa. Jantungku masih berdegup kencang kala terbayang kejadian magrib tadi. Hatiku bertanya – tanya gimana keadaan Anisa saat ini? Apa ia dimarahi orang tuanya? Apa ada lukanya yang parah yang tak kami ketahui? Atau?” berbagai macam pertanyaan muncul diotakku.

Malam itu aku tak bisa tidur nyenyak. Jelas saja, beberapa hari lagi akan diadakan Ujian Nasioal. Gimana bisa Anisa mengikuti Ujian Nasional dengan keadaanya yang tidak baik. Keesokan harinya aku datang ke sekolah lebih awal. Aku melihat seorang perempuan berhijab putih dengan masker hijau menutupi wajahnya. Hanya matanya yang terlihat. Ternyata ia adalah Anisa. Ia menggunakan masker untuk menutupi luka diwajahnya akibat kejadian kemarin. Hatiku lega ketika melihat keadaan Anisa yang tak menghawatirkan.

Dari kejadian ini aku menyimpulkan sesuatu. Agama memang melarang kita untuk mempercayai mitos. Seperti tidak boleh keluar ketika akan melaksanakan ujian Nasional, tidak boleh menyapu dimalam hari, tidak boleh makan ditengah pintu dan sebagainya. Agama memang melarang kita untuk percaya dengan semua hal itu. Tapi, alangkah baiknya kita mewaspadai hal – hal tersebut dan tetap menomorsatukan ajaran Allah.
 

SEBATAS RASA UNTUK KITA

SEBATAS RASA UNTUK KITA
Karya Najla Putri Mawaddah


Ingin ku berlari jauh
Namun aku tak mampu
Bersembunyi darimu
Selaluku tepis bayanganmu
Tapi luka semakin menganga dalam kalbu
Kubiarkan semua apa adanya
Meski ku semakin larut dalam harapan hampa
Aku tunggu ketulusanmu
Walau harus selamanya
Aku memendam rindu. . .

Mungkin itulah sebuah curahan hatiku ini, yang dilanda kesedihan karena cinta. Padahal ini adalah pertama kalinya aku jatuh cinta. Namun, cintaku aneh. Mencintai dia, yang mempunyai saudara kembar yang membenciku. Ya, sosok yang aku cintai itu mempunyai saudara kembar. Namanya Angga dan Anggi. Anggalah yang aku cintai. Dia telah berhasil menarik hati ini, untuk mencintainya. Sedangkan Anggi. Huft, dari tatapannya aja, aku sudah bisa menilai, kalau dia membenciku. Entah aku sendiri juga nggak tau, apa salahku.

Angin berhembus, menerpa wajahku dan menusuk tubuhku yang dibalut jilbab. Aku terus terduduk di rumput, sambil menatap gunung yang menjulang tinggi dari kejauhan mataku.
Pikiranku teringat pada kenangan masa SMP dulu.

Sampai di perpus. . .
“Nil? Loe dicariin orang tuh!” lapor Icha, sahabatku.
“Siapa?” tanyaku cuek.
“Hmm… siapa ya?” Icha pura-pura mikir, sambil menggodaku. Aku mengangkat satu alis.
Icha melihat sesuatu. “Sama dia!” tunjuk Icha pada Angga, yang baru menginjakkan kaki di perpus. Aku bengong. Benarkah yang dikatakan Icha ini? Angga menatapku sambil tersenyum. Hatiku entah mengapa, jadi cenat-cenut. Akhir-akhir ini, semenjak sering bertemu Angga selalu perhatian dan rajin ke perpus. Aku cuek, tidak mengubris. Toh pekerjaanku sebagai anggota perpus, masih menumpuk.
“Aku bantuin ya?” tawar Angga, dengan senyum tulus. Ia sedikit salting.
Tak kuat menahan senyum, akhirnya aku tersenyum juga buat dia. “Up to you.” Jawabku.

Dan benar saja. Angga membantuku. Ia tata rapih buku-buku yang berantakkan. Aku tersenyum melihatnya.
“Cie… cie…” goda Faris. Sahabat Angga. Aku dan Angga masa bodo. Memang persamaan kita disekolah itu, sama-sama cuek. Namun, walau Angga cuek, tapi banyak saja cewek-cewek yang mendekatinya.
Aku tersadar, sambil tersenyum mengingat itu. Mataku tetap menatap pemandangan gunung di kejauhan. Pikiranku kembali teringat kenangan masa SMP.

Waktu itu, aku sakit di sekolah. Perutku sakit dan kepalaku terasa pusing. Akhirnya aku dibawa ke ruang uks, dirawat oleh anak PMR kelas delapan. Tiba-tiba datang salah satu anak PMR, bernama Sufi.
“Kak, dapat surat nih!” katanya sedikit menggoda.
“Dari siapa?” tanyaku. Keningku berkerut bingung.
“Sufi udah janji, sama orangnya, nggak bakal ngasih tau namanya ke kakak. Maaf ya kak!” terangnya.
Aku heran, namun langsung kubuka saja surat itu, dengan perasaan campur aduk.

Mengenalmu
Anugerah dalam hidupku
Memilikimu
Itu yang selalu ku harapkan
Membiarkanmu berlalu
Tanpa sepatah kata pun
Yang terucap dari bibirku
Adalah suatu kebodohan dihidupku
Karena telat bagiku menyadari
Kau sangat berarti di dalam hidupku
Hanya secercah penyesalan
Yang bisa ku rasakan
Disaat ku kehilanganmu
Dan menyadarinya…
Semoga kamu cepat sembuh…
Keningku berkerut lagi membaca surat itu. Namun aku terharu dengan kata-kata di surat ini. Aku menatap kearah jendela yang tidak tertutup gorden. Tiba-tiba sosok yang aku rindukan selama seminggu ini, muncul. Angga. Ya, dia sedang berjalan disitu. Mataku menatapnya, hingga dia menoleh dan menatapku. Tatapan yang sulit untuk dilukiskan. Aku gugup. Segera saja, ku tundukkan kepalaku. Dan sekarang aku merasa ia telah pergi. Hari-hari ini juga, aku merasa dia menjauh dan menghindariku. Setiap bertemu, dia selalu melempar pandangan kearah lain. Dia juga sudah jarang ke perpus. Ada apa ini? Kenapa dia berubah seperti itu?

Tapi, setiap aku kenapa-napa, dia masih menunjukkan sikap perhatiannya. Seperti aku sakit sekarang. Dia menghampiriku dan ikut membawaku ke UKS. Setelah itu, ia pergi entah kemana. Aku tertidur di UKS. Tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang datang. Aku merasakan gerak-geriknya.
“Nggak tega juga, melihat kamu sakit begini. Kamu tau, aku memang cowok nggak jentel. Bertemu kamu aja, aku harus sembunyi-sembunyi. Aku harap kamu cepat sembuh ya. Aku bawakan sesuatu buat kamu!” Ucap seseorang itu, terdengar seperti suara cowok. Dia menyentuh keningku, dan langsung beranjak pergi. Mataku terbuka sedikit. Sungguh aku kaget. Aku tak menyangka. Ku kucek-kucek lagi penglihatanku. Namun itu nyata. Sosok itu adalah Anggi. Cirri-ciri fisiknyalah yang membuat ku yakin. Tatapanku beralih pada meja yang ada disampingku. Ada kantong plastik yang berisi makanan. Aku jadi bingung dibuatnya.
Hari-hari itu, kulalui dengan sebuah kebingungan. Namun, tiba-tiba aku tertampar oleh sebuah luka. Aku mendengar dari sahabatku, Angga sudah punya pacar. Sakit rasanya. Dari situ, entah ada rasa kecewa yang mendalam, hingga membuatku berniat untuk melupakannya dan melupakan rasa yang dulu memenuhi hatiku.
***

“Ukhti, Nila?” panggil adik kelasku, Zahra.
Aku menoleh ke asal suara. Seketika pikiranku buyar. “Madza?” tanyaku.
“Ukhti, mudifah!” jawabnya memberitahu.

Aku heran. Baru seminggu kemarin aku dijenguk, tapi sekarang di jenguk lagi. Ada apa gerangan? Ya. Aku memang melanjutkan studyku di sebuah Pondok Pesantren. Semua itu, dengan niat menuntut ilmu dengan mengharap ridho Allah dan untuk membahagiakan orang tuaku. Walau telah lama ditambah jauh. Tapi, tetap saja sebuah kenangan masa SMP masih teringat dibenakku.
“Oh, na’am. Syukron, Zahra!” balasku.

Zahra tersenyum. Aku segera bangun dari duduk. “Mudifah, aina?” tanyaku lagi.
“Masyroh.” Jawabnya.
Ternyata aku di jenguk di trimbun. Dengan langkah cepat, kuhampiri keluargaku disana.
***

Di samping kanan, dekat saung. Ada sebuah mobil. Tapi bukan mobil, yang biasa di pakai keluargaku. Mobil itu, merek kijang innova silver, bukan avanza silver.
“Nila!” panggil ayahku.
Aku tersenyum. “Ayah?” ku hampiri ayah dan mamaku. Ku cium punggung tangan mereka dan pipi mereka. “Kok cepat banget mudifahnya?” tanyaku, yang sedari tadi, keheranan.
“Ada yang mau bertemu kamu, sayang!” terang mamaku, sambil tersenyum misterius.
Keningku berkerut bingung. “Man, ma?”

Pintu mobil terbuka. Lalu keluarlah sosok Ibu dan Bapak paruh baya. Aku langsung mencium punggung tangan mereka. Mereka tersenyum ramah padaku.
“Kamu cantik sekali, nak!” puji sosok Ibu paruh baya itu.

Aku hanya bisa tersenyum. “Terima kasih, Bu!”
“Bu, Pak! Lebih baik kita duduk disini dulu, sambil menunggu Nila dan Angga berbicara.” Jelas ayahku, yang dibalas langsung dengan anggukkan mereka berdua.
Aku kaget bukan main, mendengar perkataan ayahku tadi.

Hah? Angga? Apakah aku salah dengar? Angga ada disini? Jadi, Ibu bapak ini, orang tuanya Angga… dan … Anggi?
“Assalammualaikum!” sapa Angga, yang baru keluar dari mobil.

Aku makin kaget, ketika Angga sudah ada dihadapanku. Satu tahun lebih kita tidak bertemu. Kini, kita bertemu di suasana berbeda. Angga terlihat lebih dewasa, memakai celana jeans hitam, dengan kemeja biru dongker.
“Wa… waalaikum salam.” Balasku gugup, sambil menunduk memainkan ujung kerudungku.
Angga tersenyum. “Kamu kaget ya, dengan kedatanganku ini. Aku ngerti kok. Karena suatu sebab, aku dan orang tuaku menemuimu disini.” Terangnya.
Aku mendongak. “Untuk apa?” tanyaku dengan suara lirih.
“Anggi.” Jawabnya singkat, namun mampu membuatku bagai tersengat aliran listrik.
***

Malu juga, berbicara dengan Angga di depan santri-santri yang juga sedang di jenguk oleh orang tuanya. Banyak yang ingin tau, sekedar bolak-balik, dan menatap. Aku risih. Lalu Angga mengajakku untuk bergabung dengan orang tua kita. Aku masih tertegun. Rasanya seperti mimpi Angga ada disini.
“Kamu kaget ya Nak, kami datang kesini?” ucap ayahnya Angga ramah. Aku hanya bisa tersenyum kikuk.
“Sayang, kali ini mama sama ayah, mengizinkan kamu untuk pulang.” Ucap ayahku.
“Pulang? Lho, memangnya kenapa, Yah?” tanyaku heran.
“Kami sama-sama sudah mengerti soal ini. Ini soal rasa, nak! Kamu sudah menanjak dewasa sekarang. Angga pun begitu. Wajar jika misalnya kamu sedikit berkorban untuk orang yang menyayangimu!” terang mamaku.
Sumpah. Aku benar-benar nggak mengerti dengan perkataan mama ini. Tanpa disuruh, mamanya Angga menjelaskan. Dan penjelasan ini, mampu membuatku menitikkan air mata.
***

Di rumah sakit, didalam kamar cempaka dua. Mataku terpaku pada satu titik. Anggi. Sosok yang dulu terlihat kuat, dewasa, dan ceria. Kini menjadi sebaliknya. Gerimis juga hati ini melihatnya.
“Kanker darah yang dideritanya, sudah stadium lanjut. Dokter hampir pasrah dengan kondisinya ini yang semakin parah. Kamu tau, dia selalu mengigau menyebut namamu.” Terang Angga, yang duduk di seberangku. Kini, mataku berani menatapnya, walau sebentar. Mataku kembali menatap Anggi yang terbujur lemah di ranjang rumah sakit.
“Benarkah yang dikatakan kamu ini, Angga? Sejujurnya, aku merasa Anggi membenciku.” Terangku.

Angga menggeleng kuat. “Tidak, Nil! Itu nggak benar. Anggi sebenarnya menyukaimu! Dia menyayangimu. Hanya saja, dia tidak tau, harus bagaimana menunjukkannya.”
Benarkah yang dikatakan Angga ini, Ya Allah! Ucapan Angga begitu meyakinkan. Tiba-tiba, jari jemari Anggi bergerak. Aku terkejut, namun lega.
“Nil… Nila…” lirih Anggi membuatku terkejut.
“Aku, disini Gi!” ucapku.

Mata Anggi melirik ke arahku. Ia tersenyum tulus. Hatiku bergetar. Ku balas senyuman itu. “Ma… ma… afkan… ak… ku…”
“Maaf? Untuk apa? Bagiku, kamu nggak pernah salah!” balasku, bingung.
“Ma… af. Jika se… la… ma… i… ni. Aku, mendiamimu! A… ku, men…yanyangimu, Nil!”

Hah? Anggi? Apa yang kamu katakan ini? Aku tak mampu berkata-kata lagi. Aku membisu.
“Wa… lau, ter… lambat ta… pi a…ku lega, Nil! Ma… ka… sih, u… dah mau nengok a… ku! Hhh…”
Grafik pendetak jantung, yang tadinya naik turun, kini berubah lurus beraturan. Itu adalah tanda, bahwa Anggi…
Ya Allah, aku mohon, izinkan Aku untuk melihat senyumannya lebih lama lagi! Aku mohon, kembalikan lagi nafas hidupnya, Tuhan!
Aku menangis. Baru kali ini, aku merasakan kehilangan. Walau sudah lama tak bertemu, Anggi tetap menjadi sebagian dari kisahku di masa SMP dulu. Ya Allah, ku mohon bahagiakanlah Dia di sisi-Mu!
***

Ku berjongkok di dekat pusara bernisan Anggi. Air mataku membulir. Disampingku, ada Angga yang dengan setia menemani. Kini tinggallah kami berdua yang menemani Anggi di rumah barunya.
“Kenapa kamu ninggalin aku, Gi! Kita belum lama berbicara, tapi kenapa kamu udah langsung ninggalin aku begitu saja. Aku belum sempat mengucapkan terima kasih sama kamu waktu di UKS itu! Tapi aku selalu berdoa buat kamu, supaya kamu bahagia disana!” Ku elus lembut nisan Anggi. Aku masih terisak.
“Nil… kita pulang yuk?” ajak Angga, yang sedari tadi diam saja melihatku terisak. Aku hanya bisa mengangguk pasrah.
“Kamu baik-baik disini ya, Gi! Kita harus pulang. Kita akan selalu berdoa untukmu!” ucap Angga. Suaranya terdengar berat.
***

“Nil?” panggil Angga dari belakang.
Sedari tadi, di perjalanan pulang, aku memang berjalan membelakangi Angga. Langkahku terhenti, ketika mendengar dia memanggilku. Aku menoleh. Kini tinggal jarak kira-kira sekitar satu meter yang membatasi kami.
“Ada apa?” tanyaku.
“Masih ingatkah kamu, dengan surat yang aku titipkan sama Sufi?”
Aku mengangguk. Sedikit terkejut mendengarnya. “Jadi, surat itu darimu?” tebakku, walau sangat yakin.

Angga mengangguk kuat. Ia terduduk di bangku yang ada di sampingnya. Kepalanya tertunduk. “Sudah lama, aku mencintaimu, Nil!” meluncurlah juga sebuah kalimat yang Angga pendam selama hampir dua tahun ini. Aku kaget bukan main. Tak menyangka, ternyata sosok yang mengajari aku jatuh cinta, juga mencintaiku.
“Maaf jika aku lancang dan baru mengatakannya sama kamu. Waktu itu, aku bimbang. Karena aku harus memilih diantara dua pilihan. Anggi yang semakin parah, atau cintaku. Aku sudah tau sejak lama, kalau Anggi menyukaimu. Walau dia tidak pernah melihatkannya. Buku diarynyalah yang memberitahuku. Disaat itu juga, aku mengalah. Kesembuhan Anggi dan kebahagiaan Anggilah yang aku utamakan, dari pada cintaku!” Terang Angga panjang lebar.

Aku terperangah mendengar penjelasan itu. “Lalu, kenapa kamu melampiaskannya dengan pacaran?” tanyaku akhirnya.
“Selama ini, aku tidak pernah pacaran, Nil! Tika hanyalah teman. Nggak lebih. Semua itu hanyalah gossip biasa.”
“Lalu, apa maumu sekarang?”
“Kejujuranmu.”
“Aku juga mencintaimu, Ga!” balasku akhirnya. Angga menatapku. Ia tersenyum mengembang. “Tapi aku nggak mau, cinta ini membawaku dalam kemaksiatan dan kesesatan.” Lanjutku.

Angga paham. “Sudah lama, aku memahamimu, Nil! Aku mencintaimu, karena Allah!”
“Dan karena Allah-lah, aku ingin tidak menjalin hubungan special denganmu!”
“Aku mengerti. Tapi satu hal yang harus kamu tau. Hati ni, untuk kamu!”

Aku terharu mendengarnya.
“Lalu bagaimana dengan cinta ini?” lanjut Angga.
“Kita tunggu sampai waktunya tiba. Aku yakin, kalau kita jodoh, pasti Allah akan mempersatukan kita.” Jawabku yakin.
Angga tersenyum dan mengangguk yakin. Kami percaya. Pasti, jika Allah berkehendak kami jodoh, kami akan disatukan. Dan pasti Allah akan selalu menuntun hati kami. Ya Allah, mungkin seperti inilah SEBATAS RASA UNTUK KITA!

SEMANIS SUSU, SEPAHIT PARE

SEMANIS SUSU, SEPAHIT PARE.
Karya Rafael Stefan Lawalata.


''Ergghh enggak, terimakasih...'' jawab Raden mengangkat piringnya jauh-jauh dari gerobak tukang siomay. Siang yang terik itu, dia bersama temannya, Irama, sedang menikmati suasana sejuk di kantin kampus, dekat dengan pepohonan rindang yang meringkuk. Raden berjalan menuju meja yang telah diduduki Irama sedari tadi, tentunya membawa sepiring siomay kesukaannya.
''Gak pake pare lagi?'' tanya Irama.
Raden menggelengkan kepalanya, ''Yah, lu tau kan kalau gua gak suka sama pare?''

Irama mencoba menahan suara tawa dari mulutnya karena mendengar ucapan temannya itu. ''Lucu juga ya lu Den.''
''Lucu kenapa?'' tanya Raden mengambil posisi duduk berhadapan dengan Irama.
''Ya gua gak ngebayangin aja kalau sampai suatu saat lu bakal makan tuh pare!''
''Gua akan makan pare kalau gua punya pacar nanti. Lu mau liat gua makan pare?'' Irama mengangguk. ''Nih rasain!'' kata Raden sambil mengolesi wajah Irama dengan saus kacang dari siomaynya.
''Ihhh jorok sih!'' kata Irama sambil menyeka wajahnya dengan sebelah tangannya.
''Hehehe maaf deh, nih...'' lanjut Raden menyeka wajah temannya itu dengan menggunakkan saputangan. Sesaat mereka saling bertatapan cukup lama, ketika tangan Raden menyentuh tangan Irama.
''Eh kok bengong?'' tanya Irama mengambil saputangan itu dan kembali membersihkan wajahnya.
''Ah... enggak kok, perasaan lu aja, gua tadi cuma ngebayangin kalau yang gua peperin itu susu!'' kata 
Raden sambil tertawa.
''Ah elu! Gua kan gak suka sama susu!''
''Tuh lu sendiri gak mau susu kan?''
''Gua akan minum susu kalau gua punya pacar juga nanti weeeee....'' katanya sambil menjulurkan lidah.
 
Semanis Susu, Sepahit Pare
Kembali kedua pelajar itu melanjutkan makan siang mereka sebelum menuju ke kelas masing-masing. Sebagai seorang teman sejak SMA, Raden dan Irama cukup akrab dan dekat. Orangtua Irama pun sudah sangat mengenal Raden, bahkan menganggapnya sebagai bagian dari keluarga mereka. Irama pun menganggap Raden sebagai seorang kakak yang selalu menjaga dan menolongnya ketika dia mempunyai banyak masalah. Sebut saja mengerjakan tugas praktek kuliah, merangkum, dan hal-hal kecil yang sering dia lewatkan. Raden selalu hadir di manapun Irama berdiri. Bahkan 24 jam Raden hadir untuk Irama. Ke manapun Irama pergi, Raden akan mengantarkan. Bisa dikatakan, jika Irama bagaikan amplop surat, Raden adalah perangkonya. Tanpa Raden, mungkin Irama tidak bisa menjadi seperti sekarang.

Semua kesibukan dan jadwal padat Irama tidaklah menganggu Raden. Ia tulus dan ikhlas menolong temannya itu. Namun ada satu hal kecil yang mengusik hati Raden, yakni mengenai perasaannya kepada Irama. Sebenarnya Raden jatuh cinta dan mengagumi temannya itu sejak SMA. Belum cukup keberanian dia kumpulkan untuk mengutarakannya langsung pada tambatan hatinya. Raden takut bila cintanya ditolak, bahkan ia takut tidak dapat lagi berdekatan dengan Irama seperti sekarang ini. Maka selama lima tahun ini, dia terus membisu dan menahan perasaannya, meski perih baginya untuk menyimpan rapat-rapat kasih sayangnya untuk Irama.

Raden menyantap makan siangnya dengan cepat, tak lebih dari tiga menit piringnya sudah bersih, bahkan sampai ke saus kacangnya. Kemudian ia melihat jam tangannya dan berkata, ''Ooops! Udah waktunya gua pergi ke bengkel sekarang!''
''Cepat amat Den?'' tanya Irama yang masih menyantap suap demi suapan siomaynya.
''Hari ini gua praktek kelistrikan, lagipula asdos harus datang lebih awal toh?'' kata Raden sambil merapikan tas dan bukunya.
''Cieee tau deh yang asdos mah,'' kata Irama dengan nada menyindir.
''Ah daripada gua jadi anak bawang, ups keceplosan!'' balas Raden sambil mengacak-acak rambut Irama.
''Ihhhh! Awas ya lu!'' Raden segera pergi sambil melambaikan tangannya. ''Eh inget jam empat ya!''
 
Raden hanya mengangkat tangannya dan berlari menghilang dari kantin.
Sudah merupakan sebuah tradisi bagi mereka berdua untuk pulang bersama. Kebetulan Raden belum lama ini mencicil sebuah motor bekas, tentu ini memudahkan dan mempersingkat waktu baginya untuk mengantarkan Irama ke manapun dia mau. Setiap pagi jam lima, dan setiap sore jam empat, Raden sudah duduk di atas jok motornya dan menanti kedatangan Irama untuk diantarkan ke kampus atau rumahnya.

Sejak bangku SMA, Raden dikenal sebagai seorang yang dewasa dan mandiri. Ia sangat disiplin masalah waktu dan tegas dalam mengambil keputusan. Itulah yang membuat dirinya terpilih menjadi asisten dosen pada tahun keduanya duduk di bangku kuliah. Dia sigap dan cekatan, bahkan murah senyum. Hampir seluruh mahasiswi di kampus mengenalnya, termasuk senior dan juniornya. Senyum manisnya sulit dilupakan, itulah yang membuatnya disukai banyak orang. Belum lagi kebaikan hatinya, di mana dia selalu siap menolong siapapun yang membutuhkan bantuannya. Dia datang di kala susah, dan pergi di kala suka. Pemilik bulu mata lentik ini menjadi mahasiswa favorit di kalangan mahasiswi dan dosen-dosennya.

Bagi Raden, semua itu tidaklah penting. Dia hanya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Dia menolong bukan untuk mencari muka, karena dia merasa sesama manusia harus saling membantu dan peduli satu sama lain. Namun, di balik keceriaan dan kebaikan dirinya, tersimpan rasa sedih yang mendalam. Karena dirinya belum mampu menyatakan perasaannya pada Irama. Ia berani berbicara dan tampil di depan khalayak umum mengenai pemikirannya, tetapi untuk Irama seorang ia tidak berani menyatakan perasaannya, bahkan untuk menatap kedua mata gadis pujaannya itu pun ia tidak bernyali.

Jam empat lewat lima belas menit, suasana di tempat parkir kampus semakin sepi. Raden seorang diri duduk di atas motornya, sambil memegang helm untuk Irama. Menanti penuh kecemasan, Raden yang juga menelepon Irama sejak tadi, semakin dibuat khawatir karena teleponnya tidak aktif. Jantungnya semakin berdegup kencang, ketika detik jam bergerak semakin cepat dan menjauh dari angka empat. Ia tetap menunggu di sana, walau di parkiran hanya dia seorang. Barulah Irama datang setelah jarum menit jam melewati angka lima. Langkahnya terburu-buru dan wajahnya dirundung rasa takut. Dia berlari mendekat ke motor Raden, dan ketika sampai dia mencoba mengatakan sesuatu dengan nafas terengap-engap.
''So.. sori.. sori Den...'' kata Irama dengan nafas yang masih tak beraturan.

Raden diam saja dan memberikan helm pada Irama.
''Den.. Den lu marah ya?''
''Enggak, udah ayo naik, entar lu dicariin sama bapak ibu lu.''
Irama segera mengenakan helm dan duduk di jok belakang, dengan menaruh tasnya di antara dia dan Raden. Tanpa membuang waktu, Raden segera tancap gas menuju rumah Irama yang memang berjarak tidak begitu jauh dari kampus.

Sepanjang perjalanan Raden diam tak bicara. Irama, yang diliput rasa bersalah, juga tidak berani berbicara padanya. Irama tahu bahwa Raden pasti marah karena keterlambatannya dan dia tidak mau membuat Raden lebih pusing lagi. Irama memutuskan akan berbicara pada Raden ketika mereka tiba di rumahnya. Irama hanya mencuri pandang dari kaca spion yang menampakkan wajah kaku Raden.

Setibanya di rumah, Irama segera turun dan memberikan helmnya pada Raden. Baru saja ia mau berbicara, Raden sudah menyalakan mesin motornya lagi.
''Gua cabut dulu ya?'' jawab Raden ketus.
''Iya... iya Den, tapi...''
''Hem?'' kata Raden menatap dari balik kaca helmnya. ''Apa?''
''Enggak... enggak apa-apa, hati-hati ya.''

Raden segera pergi dari sana meninggalkan tubuh kaku Irama yang menatap kepergiannya.
''Aku sms saja nanti deh,'' kata Irama dalam hati.

Cukup banyak curhatan hati yang Irama curahkan pada Raden. Sekalipun hal itu membuat Raden sedih, sebut saja kejadian beberapa tahun yang lalu di bangku SMA. Ketika Irama sedang bersusah hati karena cintanya ditolak oleh seorang siswa yang disukainya. Padahal baru beberapa bulan mereka dekat. Awalnya Raden tidak menyetujui kedekatan Irama dengan siswa itu, namun lama-kelamaan Raden berusaha menerima kenyataan yang pahit, bahwa Irama menyukai siswa itu. Akan tetapi kenyataan berkehendak lain, siswa itu menolak Irama. Dalam hati, Raden sungguhlah senang menyambut kembali pujaan hatinya, tetapi hati kecilnya menangis merasakan apa yang Irama rasakan. Dalam pelukannya, Irama menangis tersedu tanpa henti. Tanpa diketahui oleh Irama, Raden pun meneteskan air mata kepedihan. Air mata untuk orang yang disayangnya.
''Gua gak ngerti harus apa lagi Wi,'' kata Raden pada Dewi, seorang teman Irama lainnya. Dewi telah mengetahui perasaan Raden kepada Irama, dan sampai saat ini Raden selalu menceritakan suka dukanya bersama Irama kepada Dewi.
''Den, lu harus ngomong, be a gentleman!''
''Ngomong apa? Lu tau kalau Irama itu cuek, jutek bahkan gak pernah menganggap serius apapun yang gua omongin sama dia.''
''Lu harus terus berjuang Den! Ini bukan akhir dari segalanya, lagian banyak waktu buat lu ngomong sama dia kan?''
''Iya sih,'' jawab Raden perlahan.
''Tadi pagi lu jemput dia?''
Raden menggeleng.
''Duh harusnya lu tuh jemput dia! Jangan buat seorang cewek merasa bersalah! Terus lu udah sms dia?''

Raden kembali menggelengkan kepalanya.
''Duh Den Den... ribet nih masalah...''
''Sebenernya, dia duluan sms gua semalam, dia bilang dia minta maaf...''
''Minta maaf kenapa?'' tanya Dewi penasaran.
''Soal kemarin sore, dia telat hampir setengah jam, ya dalem hati sih gua kecewa...''
''Kenapa lu gak bales?''
''Dia selalu ngulang semua kesalahannya Wi! Kalau gua gak sayang dan care sama dia, udah lama gua pergi dari kehidupannya!''
''Terus, kenapa lu masih bertahan?''

Pertanyaan Dewi membuat Raden diam seribu bahasa. Sebenarnya dia bisa menjawab pertanyaan sederhana itu. Namun lidahnya kaku sesaat sebelum dia berkata-kata. Yang sebenarnya dia ingin ucapkan adalah bahwa dia masih tetap yakin, dan selalu yakin bahwa dia bisa membahagiakan Irama. Dia mampu hadir di setiap saat Irama membutuhkan dirinya, dia mampu menjaga perasaannya kepada Irama. Keyakinan itulah yang membuat Raden tetap memegang teguh prinsipnya.
''Jemput dia nanti,'' lanjut Dewi.
''Apa?''
''Lu budek ya? Jemmmmputtt diaaa nantiiii!'' teriak Dewi di sebelah telingaku.
''Hei hei santai!'' kataku mundur sambil memegang telingaku. ''Ini aset berharga milik gua.''
''Sudahlah Den, lu ngerti kan apa maksud gua? Cewek itu selalu menunggu cowok yang tepat dan berani memilihnya!'' kata Dewi lalu pergi dari sana.
''Cowok yang tepat?''

Segera setelah mendapatkan ''wangsit'' dari Dewi, Raden menunggu Irama di parkiran seperti biasanya. Raden pun sudah mengetikkan sms pada Irama yang berisi bahwa dirinya sudah menunggu Irama di parkiran. Mungkin sudah tiba saatnya, bagi Raden untuk menyatakkan perasaannya kepada Irama hari ini. Sebelum jam sepuluh tepat, dia akan menyampaikan perasaannya kepada Irama, dambaan hatinya.

Tetapi semua tidak berjalan sebagaimana mestinya, semua tidaklah semulus seperti yang diperhitungkannya. Raden diam terpaku melihat Irama yang berjalan ke arah parkiran dengan seorang pria di sebelahnya, seorang pria!
Mereka berpengangan tangan sambil menuruni tangga menuju parkiran. Pemandangan mengagetkan sekaligus memilukan bagi Raden. Dia tidak menyangka hal ini akan terjadi, di sore yang cerah baginya. Bukan hanya Raden yang kaget, Irama pun menyadari keberadaan Raden dan dirinya juga terkejut melihatnya.
''Raden?'' tanya Irama.
''Gua lihat lu udah ada temen pulang...''
''Den, sori ya, sebenernya dari kemarin gua mau bilang sama lu...''
''Soal apa?''
''Gua mau cerita sama lu kemarin malem, tapi lu gak bales sms gua.''
''Semalem gua udah tidur cepet Ma, gua yang harusnya minta maaf.''
''Gak apa-apa Den, tapi lu maafin gua kan?''

Berat bibirnya terbuka namun akhirnya ia berkata, ''Ya, santai aja Ma, lu kaya sama siapa aja.''
''Oke deh makasih Den,'' katanya kembali ceria. ''Oh ya kenalin, ini Dani, dia temenku.''
''Hai,'' jawab Dani dingin. ''Lu temennya Irama?''
''Ya,'' kata Raden menjawabnya.
''Irama udah cerita soal lu, oh ya Ir, duluan aja ke mobil, nanti gua nyusul.''
''Oh yaudah kalo gitu Dan,'' Irama segera melangkah ke arahku. ''Den, duluan ya, nanti malam Dani mau ajak gua ke warung siomay yang enak, lu mau ikut?''
''Gua ada tugas Ma, lain waktu aja,'' jawab Raden begitu karena melihat tatapan tajam dari Dani. Sesungguhnya ia khawatir pada Irama, terlebih dengan kedatangan Dani, seorang yang baru dikenalnya.
''Oke deh, hati-hati ya Den,'' jawab Irama berjalan ke arah mobil Dani.
''Lu juga,'' balas Raden.

Baru beberapa saat Irama masuk ke mobil, Dani menyusulnya namun dia sempat berkata pada Raden.
''Mulai saat ini, jauhi tangan dan kaki lu dari Irama, karena malem ini dia bakal jadi pacar gue!''
''So?'' tanya Raden.
''Gua gak mau kedekatan gua sama dia keganggu sama lu, atau siapapun!''
''Eh hati-hati kalau lu bicara,'' Kata Raden sambil memegang kerah jaket Dani. ''Irama itu wanita baik-baik, sampe lu buat dia nangis, bahkan sampai sedih aja, lu bakal nyesel!''
''Simpen anceman lu pengecut. Lu yang harus angkat kaki dari hidupnya kalo lu gak berani ngomong sama dia!''

Kalimat terakhir terus berdengung dalam telinga Raden. Matanya menatap kepergian Irama dalam mobil putih kecil yang membawanya menuju malam bahagianya. Sungguh tidak rela hatinya melepas kepergian Irama, bersama pria yang tidak jelas kepribadiannya.

Dalam hati ia terus bertanya, apakah Irama akan bahagia bersama pria itu? Apakah Irama akan menyesal di kemudian hari?
''Aku telah merasakan penyesalan sebelum ini, aku tidak ingin membuat Irama menyesal, hanya aku tidak berani mengungkapkan perasaanku,'' kata Raden dalam pikirannya. Segera setelahnya, Raden memutuskan untuk menyusul Irama dan Dani ke warung siomay di dekat sana, untuk memastikan bahwa Irama baik-baik saja.

Tepat setelah matahari terbenam dan rembulan menampakkan wajahnya, Raden sudah tiba di belakang warung itu. Warung itu memang cukup besar dan terkenal di daerah sana, sejak SMA pun Raden dan Irama sering makan di sana. Maka Raden sudah mengambil posisi di dekat parkiran, duduk dan menanti kedatangan Irama.
Tidak lama kemudian, berhentilah sebuah mobil putih di depan warung. Mobil putih yang sama persis dengan mobil Dani. Raden yang menyadarinya, segera mengamati dengan seksama. Turunlah Irama, dengan baju coklat yang kontras dan sederhana, bersama Dani. Diam-diam, Raden mengamati terus mereka hingga duduk di dalam.

Baru beberapa saat mereka duduk berdua, seorang wanita berjalan dengan cepat ke arah mereka dan segera menggebrak meja yang mereka tempati. Mereka berdua kaget dan segera berdiri. Dani, menarik tangan wanita itu, akan tetapi dia segera menampar wajah Dani. Dengan gelagapan, Dani mencoba menahan Irama juga, tetapi Irama segera berlari ke arah belakang. Raden yang telah siap, langsung mengejar Irama.
''Irama! Irama!'' teriak Raden mengerjar Irama, namun dia kehilangan jejaknya di tengah keramaian kota malam itu. Masih melirik di antara pejalan kaki dan kendaraan yang melintas, namun Raden tak dapat menjumpai Irama.
''Aku gagal,'' katanya tertunduk lesu sambil berjalan kembali ke arah warung tersebut. Raden duduk di bangku di teras luar; bangku di mana dia dan Irama selalu duduk ketika makan.
''Mau pesan apa mas?'' tanya seorang pramusaji.
''Tidak mba, nanti aja, saya lagi cari seseorang.''

Raden menyesal karena ia terlambat mengatakannya. Ia terlambat menyampaikan perasaannya kepada Irama. Ia bergumam sendiri ketika duduk di sana.
''Irama, andai kamu tau perasaanku yang sesungguhnya, betapa aku tulus kepadamu. Selama ini, aku hanyalah pria bayangan yang menyelimuti dirimu, tanpa bisa menyentuhmu tepat di hati. Oke, aku tau aku tidaklah tajir atau berwajah tampan, aku hanyalah pria sederhana yang menyayangimu dengan bijaksana... aku... ah andai kamu di sini...''
''Mas...?''
''Mba sudah kubilang...'' kata Raden mencoba berkata kepada pramusaji itu lagi bahwa dia ingin memesan nanti, akan tetapi alangkah kaget dirinya melihat bahwa yang berkata barusan bukanlah pramusaji dari warung itu, tetapi dia adalah Irama sendiri.
''Irama...??''
''Mas... benarkah apa yang semua lu katakan tadi Den?'' tanya Irama masih dengan mata berlinangan air mata.
''Gu.. gua bisa jelasin Ma, gua..''
''Stop,'' jari Irama menyentuh bibir Raden. ''Gua udah denger semuanya dari tadi, gua gak butuh penjelasan. Gua mau... lu ucapin apa yang lu ucapin tadi di depan gua langsung...''
''Tapi Ma...''
''Den... gua mohon...''
''Sejak pertama kali berjumpa, gua punya rasa sama lu. Semakin hari, semakin dalam, bahkan gua semakin kecanduan. Karena lu yang sederhana ini, membuat gua jatuh cinta. Gua sayang sama lu Ma, sejak dulu gua mau bilang ini...''
''Kenapa baru sekarang?'' tanya Irama sambil menangis.
''Karena gua gak berani... gua takut lu pergi...''
''Den, lihat mata gua...'' tangannya memegang wajah Raden dan mengarahkannya menatap kedua matanya. ''Gua juga sayang sama lu, coba dari dulu lu bilang...''
''Bener Ma?''
''Apa mata ini bohong Den? A... aku sayang sama kamu juga...''
''Makasih Ma!''

Langsung saja Raden memeluk tubuh Irama yang bergetar itu. Malam itu Irama yang sedih karena pengkhianatan, kembali bersuka karena pembuktian cinta. Temannya sendiri, yang selama ini setia bersamanya, Raden, akhirnya menyatakan cinta kepadanya. Air mata Irama turun membasahi kaos yang dikenakan Raden.
''Ma, gua eh aku gak akan mengecewakanmu.''
''Gua.. gua... maksudnya aku juga Den.''
''Kita akan terbiasa kok dengan aku-kamu,'' kata Raden tersenyum.
''Iya Den, aku gak menyangka bahwa selama ini seorang yang begitu dekat dan setia bersamaku sebagai seorang teman, selama lima tahun ini berubah menjadi seorang pacar dalam waktu satu malam...''
''Aku... juga masih tak percaya Ma.''
''Iya Raden, terimakasih,'' jawab Irama tersenyum. ''Makan yuk, aku lapar nih.''
''Baiklah, nih seka air matamu,'' kata Raden memberikan sebuah saputangan pada Irama sementara pramusaji tadi datang dan mencatat pesanan mereka.
''Siomay dan tahu tanpa pare, minumnya susu hangat ya, kamu Ma?''
''Aku pesan siomay pakai pare, dan teh hangat saja mba... kok kamu enggak pake pare Den?''
''Kan kamu tau aku gak su...''
Baru saja Raden mau berkata, jari Irama menahan lagi. ''Ingat janjimu soal makan pare?''
Raden mengangguk. ''Kamu sendiri tidak pesan susu, lupa ya sama apa yang kamu bilang?''

Wajah Irama memerah dan menjadi malu. ''Ihhh kamu mah...''
''Mari, kita tepati janji kita bersama...''
Kemudian Raden memesan pare dan Irama juga ikut memesan segelas susu baginya.

Sebelum saling menyantap mereka saling berpandangan dan melihat sepiring pare dan segelas susu di hadapan mereka.
''Siap?'' tanya Raden.
''I... iya...'' jawab Irama.

Raden menyuapi segelas susu ke mulut Irama sementara Irama memberikan sepotong pare kepada Raden. Terlihat mereka menahan mual yang berat namun akhirnya mereka bisa menelannya.
''Susu enak kan?''
''Apanya? Pare enak tuh!''

Lalu mereka saling menyuapi kembali, segelas susu dan sepiring pare yang tidak enak bagi mereka.
''Ma, aku belajar sesuatu...'' kata Raden sambil disuapi.
''Apa Den?''
''Cinta kita semanis susu dan sepahit pare, karena walaupun kita tidak saling menyukainya, kita akan tetap merasakannya bersama-sama. Biarlah pare dan susu ini menjadi saksi atas cinta kita.''
''Wooo apasih kamuuu,'' kata Irama menyodori pare kembali ke mulut Raden.

Tak Hanya Sekedar Temanmu (Ray’s Story)

TAK HANYA SEKEDAR TEMANMU
Karya Fida Amatullah
 
 
Ray melihat Dilla, berjalan ke arah meja piket dengan kertas dan pulpen di tangan berjalan dari koridor putri. Dengan wajah datarnya dia menghampiri Ray dan Kak Andien. Lalu menaruhnya di atas meja.
“Eh, laporannya gimana nih?” tanya Kak Andien pada Dilla dan Ray. Dilla segera menjawab, “Tulis aja kak, terdapat kendala karena menjelang festival sekolah”
“Ya udah” kata Kak Andien. “Tulis aja” Ray memperhatikan Dilla yang menulis di atas kertas itu.
Sebenarnya Ray kesal sama anak ini namun dia tetap nggak bisa ngilangin rasa sukanya. Ray kesal karena Dilla seperti tidak mengacuhkan sinyal yang Ray berikan dan melihat dengan matanya sendiri bahwa ternyata Dilla menyukai orang lain. Ingatan itu benar-benar masih segar di ingatannya. Membawa rasa sakit dari hatinya.
***
Tak Hanya Sekedar Temanmu (Ray’s Story)
Dua bulan kemudian…..
Diam-diam Ray memperhatikan Dilla dan dua gadis lainnya yang sedang ngobrol dengan akrab yang Ray rasa mereka adalah adik kelasnya. Hari ini adalah tes penerimaan siswa baru dan OSIS ikut membantu guru menyukseskan acarta ini, dan mungkin anak-anak itu sudah menjalani rangkaian tes. Selepas mereka berpisah, Dilla langsung kembali ke lobby.
“Ray!” tiba-tiba Hanifah dan Zahra lewat. “Ada salam dari Zahra!”
“Iih, apaan sih!” Zahra langsung menyikut lengan Hanifah. Zahra memang pemalu.
Ray kaget saat melihat Dilla melihat adegan itu, namun Dilla langsung pergi. Dan wajahnya tak menunjukkan perubahan apa-apa.
***

“Berat banget” kata Dilla saat mengambil salah satu tumpukan. “Dibawa kemana?”
“Ke lobby, disuruh Pak Rudi” jawab Ray.
“Jadi kuli aja dah gue profesinya” Ray mendengar Dilla menggumam.
Tadi Pak Rudy meminta tolong pada Ray untuk meangut arsip-arsip menuju lobby untuk dibawa. Dan karena kebetulan hanya ada Dilla, jadi dengan Ray memberanikan diri untuk meminta bantuan Dilla. Setelah selesai mereka kembali berjalan menuju ruang guru. Ray gugup, ini pertama kalinya dia bisa dekat dengan dengan gadis ini.
“Masih ada kerjaan lagi nggak?” tanya gadis itu pada Ray.
“Masih ada sih” jawab Ray. “Gue belum fotocopy yang disuruh Pak Tata tadi. Tapi biar gue sama Fathur aja deh”
“Ya udah, gue balik ya” pamit Dilla. Ray meangguk, “Thank’s ya” Dilla tersenyum dan meangguk. Lalu pergi meninggalkan Ray dengan senyumnya. Senyum senang tentunya. Namun tiba-tiba dia tersadar Oh iya, dia sudah menyukai seseorang
***

Ray berjalan menuju lobby yang sudah sepi. Tadi dia, Dilla, dan Kak Andien rapat sekbid untuk menyusun program bulan depan sekaligus menyusun laporan pertanggung jawaban bulan ini. Namun ada yang masih ingin dia tanyakan pada Dilla dan Kak Andien. Mungkin dia bisa tanya salah satu dari mereka. Namun sudah keburu sore. Ray berjalan menuju motornya, saat sepeda itu melintas di depannya.
“Woi, Dilla!” panggil Ray, sepeda itu langsung berhenti dan pengendaranya menoleh.
“Kenapa?” tanya Dilla.
“Minta nope lo dong” pinta Ray. “Ada yang masih nggak gue ngerti sama program tadi”
“Kan bisa kita bahas besok lagi” jawab Dilla.
“Emang, lo mau ngadain rapat lagi?” Ray balik bertanya.
“Nggak tahu deh” Dilla pun nyengir. “Aku sih ngekor aja. Tapi emang rada males sih”
“Ya udah” kata Ray. “Lewat DM ya?”
“Emang gue udah following lo?” Dilla terlihat bingung.
“Ya udah lewat FB aja” kata Ray. “Lo udah temenan sama gue kan?”
“Hmm iya” Dilla meangguk. “Ya udah ntar gue kirim, gue duluan ya” akhirnya Dilla meninggalkan Ray.
***

Dengan ragu-ragu Ray memandangi HP nya. Dia ingin mengirim sms pada gadis itu, namun tangannya selalu terhenti. Sebenarnya dia tidak kesepian, dia sedang sms-an dengan orang-orang. bahkan dengan Zahra, yang menyukainya. Tak lama ada sms masuk, dari Zahra. Ray pun membalas sms tersebut.
Lagipula kalau dia mengsms gadis itu topic apa yang ingin dia omongin? Bola? Sekolah? Atau tentang OSIS? Ray tidak yakin. Kalau nanti akhirnya jadi garing gimana? Namun kenapa nggak dicoba? Akhirnya tangannya mengetik sesuatu di keypad HPnya.
***

“Oi, lu kenapa Ray?” tanya Fathur pada Ray yang sedang mengerjakan tugas Kimia.
“Kenapa apanya?” Ray langsung menoleh.
“Tampang lo kayak bahagia banget hari ini” kata Fathur. “Lo jadian ya sama Zahra?”
“Nggak” Ray pun menggeleng. “Nembak aja nggak”
“Terus dia ngomong apa sama lo sampai lo bahagia begitu?” Fathur terlihat bingung.
“Nggak ngomong apa-apa” jawab Ray. “Kepo”
“Kepo is care bro” balas Fathur. “But kepo is not my life”
“Ciya elah” balas Ray. “X.2 Kan bukan kelas kepo iya nggak?” dibalas dengan acungan jempol Fathur.
***

Empat bulan telah berlalu, Ray dan Dilla sudah sering saling bersms. Namun sudah sebulan Dilla nggak pernah membalas pesannya, dan membuat Ray galau. Dia kenapa? Batin Ray. Apa dia ngehindari gue? Apa gue salah ya?
Ray memandangi lagi BlackBerry nya. Anak itu nggak punya BB ataupun Android. Bahkan dia pernah melihat HP gadis itu yang hanya HP sederhana tanpa fasilitas apapun saat berakhirnya UAS hari pertama. Yahh… walaupun sebenarnya dia pernah melihat anak itu memegang HP qwerty sih saat raker OSIS waktu itu, tapi tampaknya ada masalah dengan HP itu.
Sebenarnya Ray ingin belajar untuk menjadi teman Dilla. Walaupun dia mengharapkan lebih dari itu. Yahh… nggak usah-usah muluk-muluk lah, minimal sahabat. Dia nggak mau berpacaran dulu tanpa ada alasan yang pasti. Akhirnya Ray mengurungkan niatnya untuk meng-sms gadis itu, dan sebagai gantinya mengirim sms ke teman-temannya.
***

Ray sedang memakai sepatunya saat sepeda gadis itu lewat. Ray langsung tertegun, sepertinya ada yang aneh pada Dilla. Sinar matanya tidak semangat seperti biasanya, ada kesedihan yang ia simpan dibalik wajahnya yang ‘joker face’
“Ray” Ray kaget lalu menoleh, ternyata Fathur.
“Lo ngeliatin Dia lagi?” tanya Fathur. “Lo bilang udah move on dari dia?”
Ray menelan ludah, Sepertinya ada orang yang harus gue beri penjelasan.
***

“Ray” Fathur menghampiri Ray. “Balasan dari dia” Ray lalu menerima kertas yang dilipat lalu membukanya. Ray pun membaca surat tersebut. Dan raut wajahnya berubah.
“Kenapa?” Fathur terlihat bingung. “Dia nolak lo?”
“Bukan, gue nggak mungkin nembak dia” Ray menggeleng. “Tapi gue rasa… gue harus ngomong ke dia”
***

“Woi!” panggil Fathur dari lobby. “Mau ikut ke popcer nggak?”
“Iya! Gue ikut!” jawab Ray yang menggendong tas sembari memandangi HP nya. Harusnya anak itu bawa HP batinnya dalam hati. Hari ini pulang jam satu karena ada rapat guru untuk persiapan akreditasi sekolah. Tapi anak-anak sudah menghilang dari setengah jam yang lalu. Apa dia masih ada ya? Tiba-tiba HP nya bergetar, ternyata balasan dari gadis itu. Gue ada di Oregano, kenapa? Tiba-tiba Ray merasa girang. Lalu dia membalasnya, Gue ke situ.
***

“Jangan ngerendahin diri gitu dong” pinta Ray. “Di mata gue lo nggak kayak gitu kok” Ray dan Dilla sedang berdiri di pinggir jalan depan oregano.
“Gue sering minder Ray!” Dilla mulai sedikit emosi. “Jujur, dari SMP gue sedikit anti sosial. Gue takut sama anak eksis kayak lo sama Fathur. Zahra jauh lebih baik dari gue!”
“Loh, jangan nangis Dil!” Ray sedikit panik saat mata Dilla sedikit memerah. “Gue kesini bukan buat lo nangis, beneran!”
“Nggak kok” Dilla mengucek matanya dengan se cool mungkin. “Woles aja”
“Di mata gue lo nggak kayak gitu kok. Walaupun tampang lo memang flat, tapi lo unik, semangat, yahh.. walaupun terkadang saking semangatnya lo jadi hiper seperti” tiba-tiba Ray sedikit sesak saat mengingat itu. “Final futsal pas classmeeting semester satu”
“Gue udah ngerasa kok lo tahu hal itu” kata Dilla. “Sorry ya, pas gue ngerasa lo tahu terus keliatannya patah hati. Gue jadi ngerasa nggak enak karena ngelakuin hal yang bodoh”
“Ya.. mau gimana lagi?” Ray meangkat bahu. “Lo masih suka sama dia?”
“Gue udah move on kok” jawab Dilla. “Sebenarnya saat semester dua gue pengen move on dari kalian. Gue pengen menata hati gue, masalah cowok bikin gue capek”
“Ooh..” Ray meangguk. “Dil, walaupun kita sama-sama nggak mau jadian. Tapi nggak pa-pa kan gue suka sama lo, jadi orang yang mampir di hati gue?”
“Nggak pa-pa” kata Dilla. “Gue senang kok. Makasih Ray, lo udah bikin gue ngerasain gimana jadi orang yang disukai. Walaupun ini yang pertama kalinya, jadi agak norak” kata Dilla nyengir. Ray pun tersenyum lalu melempar pandangan ke arah Fathur.
“Gue cabut ya” pinta Ray. “Kasihan Fathur, nungguin” Dilla meangguk, lalu Ray pun pergi.
“Oh iya Dil” panggil Ray lagi. “Jangan terus ngehindar lagi dari gue” Dilla hanya meangguk.
***

“Lo di tolak Ray?” tanya Fathur saat perjalanan menuju popcer.
“Nggak” jawab Ray. “Gue nggak nembak dia kok”
“Terus?”
“Cinta itu nggak perlu dimiliki kalau belum waktunya” jawab Ray.