Sabtu, 01 Maret 2014

SERAK TAK TERDENGAR

SERAK TAK TERDENGAR
Karya Dhia Fauzia Rahman
 
 
“Tuhan, kirimkan seorang malaikat yang mau menjadi temanku. Akan ku jaga ia walau harus mempertaruhkan nyawaku.” Teriak Rinsa dengan suara seraknya. Siapa yang tidak tersiksa jika seumur hidupnya tidak pernah memiliki teman. Itulah yang dirasakan Rinsa. Ia tidak pernah memiliki teman. Penyebabnya adalah suara yang ia miliki. Serak dan tidak enak didengar. Tidak ada orang yang betah mendengarkan suaranya.

Setiap pulang sekolah, ia selalu merenung di taman perumahan tempatnya tinggal. Jika waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore baru ia beranjak pulang. Setiap ia merenung ia selalu berdo’a agar seseorang mau menjadi temannya. Langkahnya selalu gontai, tidak pernah ada semangat di hidupnya. Mulutnya selalu terkunci jika di sekolah. Hari-hari yang kelabu bukan? Seakan hidup di kota mati.
Serak Tak Terdengar
Tak jauh dari tempat Rinsa tinggal, seorang anak laki-laki bernama Bendera juga bernasib sama dengan Rinsa. Ia juga tak memiliki teman seumur hidupnya. Penyebabnya adalah karena ia tuli. Ketuliannya ini ia dapat saat ia masih kecil. Ia dilempari petasan oleh salah satu tetangganya. Petasan itu mengenai telinganya sehingga ia tuli. Meski ia tuli, ia masih bisa membaca gerak mulut lawan bicaranya. Walau sering, ia salah mengartikan sehingga tidak nyambung.

Siang itu, sepulang sekolah Rinsa kembali mengunjungi taman. Tidak seperti biasanya, seorang anak laki-laki yang ternyata adalah Bendera tengah menduduki bangku tempat biasa ia duduki. Dengan perasaan terheran-heran, Rinsa mendekatinya. Meski satu perumahan, tapi mereka tidak saling kenal. “Sedang apa disitu?” Tanya Rinsa sambil menunjuk bangku tempat Bendera duduk. Mata mereka saling berpandangan dan jantung mereka berdegup lebih cepat.

Dalam pikiran Bendera, Rinsa mengatakan “Boleh aku duduk disitu?” Segera ia menjawab “Boleh, silahkan.” Bendera menggeser tempat duduknya. Semakin heran Rinsa melihat Bendera. “Ada apa dengan orang ini?” pikirnya. Tanpa pikir panjang Rinsa duduk di sebelah Bendera. Lagipula baru kali ini ada orang yang mau menjawab pertanyaannya. “Siapa namamu? Aku Rinsa.” Ujar Rinsa sambil mengulurkan tangannya.

Bendera tahu Rinsa bermaksud mengajak berkenalan. Dilihat dari uluran tangannya. “Bendera.” Balas Bendera sambil menjabat tangan Rinsa. Ia melirik ke label nama di seragam Rinsa. “Jadi namanya Rinsa Dewantari toh.” Pikirnya. “Rumahmu dimana?” tanya Rinsa dengan suara seraknya. Ia menggambarkan bentuk rumah dengan tangannya. Salah satu kebiasaan Rinsa adalah menggunakan tangannya untuk membantu memperjelas ucapannya.
“Gang Jambu nomor tiga. Kamu?” Bendera balik tanya. “Gang Mangga nomor sepuluh.” Balas Rinsa sambil mengacungkan ke sepuluh jarinya. “Deket dari sini ya.” Ujar Bendera basa-basi. “Ya, agak jauh juga sih.” Jawab Rinsa. Tidak ada percakapan setelah itu, sampai akhirnya Rinsa beranjak dari tempat duduknya. “Kalau begitu, aku pulang dulu ya. Besok kita ketemu lagi disini.” Pamitnya. Bendera hanya mengangguk walau sebenarnya ia tak paham apa yang Rinsa katakan.
“Oh, ya. Boleh aku minta nomor HP mu?” tanya Rinsa sambil mengisyaratkan telepon dengan ibu jari dan kelingkingnya. Buru-buru Bendera mengambil kartu nama yang ada di dompetnya. “Sms aja, jangan telepon.” Ingat Bendera sambil menyodorkan kartu nama miliknya. “Siip. Sampai jumpa.” Rinsa melambaikan tangannya yang dibalas lambaian tangan dari Bendera dan sebuah senyuman manis.
“Tuhan, terimakasih karena kau telah mengirimkannya. Aku berjanji akan menjaganya dan akan ku pertaruhkan nyawaku untuknya.” Batin Rinsa dalam perjalanan pulangnya. “Terimakasih Tuhan, telah mempertemukan aku dengan Rinsa. Dia teman pertamaku aku harap Engkau selalu lindungi dia, Tuhan.” Harap Bendera setelah bayangan Rinsa menghilang dari jalan. Sesampainya di rumah, Rinsa segera mengirimkan sebuah sms untuk Bendera.

from : +6285643xxxxxxx
Hai Bendera, ini aku Rinsa. Simpan nomor HP ku ya.

from : Bendera
Halo juga, sudah aku simpan nomormu kok. Sering-sering sms aku ya.

from : Rinsa
Oke deh, sms kan murah. Asal jangan aku terus yang mulai :p

from : Bendera
Iya iya :D

Hari-hari berikutnya terasa berwarna bagi Rinsa setelah kehadiran Bendera di hidupnya. Begitu juga dengan Bendera, ia akhirnya merasakan kasih sayang seorang teman atau bahkan bisa dibilang sahabat. Namun sebenarnya, Bendera menyimpan perasaan yang lebih untuk Rinsa. Sebaliknya, Rinsa juga menyukai Bendera lebih dari seorang teman. Namun kebingungan masih menyelimuti perasaan Rinsa. Kenapa Bendera tidak merasa terganggu dengan suaranya yang serak dan tidak enak itu?

Hari itu, Bendera sedang berlibur sehingga tidak bisa bertemu Rinsa. Setelah tiga hari tidak bisa bertemu, Rinsa merindukan suara Bendera. Tanpa persetujuan Bendera, ia menelpon Bendera. Ia tahu, Bendera memintanya untuk tidak menelponnya. Tapi demi mengobati kerinduannya ia tetap bersikeras menelpon Bendera. Lama tak dijawab oleh Bendera, ia mulai gelisah. Sebenarnya, Bendera tak menjawab karena bingung harus mengatakan apa.
Agar tidak membuat Rinsa marah, Bendera akhirnya mengangkat telepon dari Rinsa. Untunglah HP nya dilengkapi sensor yang mendeteksi apakah lawan bicara masih berbicara atau tidak. Walau tidak tahu apa yang diucapkannya. Sehingga Bendera tidak akan memotong ucapan Rinsa.
“Halo, Bendera? Kok nggak diangkat-angkat sih?”
“Aku lagi main game nih, kamu lagi ngapain?”
“Hah? Aku kan nggak nanya itu?”
“Oh gitu, ya udah lanjutin aja dulu. Aku juga sibuk nih, seru banget gamenya.”
“Kamu ini aneh atau gimana?”
“Besok aku udah pulang kok.”
“Ya udah cepetan ya. Sampai jumpa besok.”
“Oleh-oleh? Besok aku bawain deh.”
“Tuuut…. Tuuut…. Tuuut….”
“Tadi dia ngomong apa ya? Mudah-mudahan dia nggak marah.” Harap Bendera setelah mematikan HP nya. Sementara Rinsa semakin bingung dan heran terhadap Bendera. Sikapnya yang aneh membuat Rinsa curiga. “Sebenarnya ada apa sih dengannya?” pikirnya. Walaupun Bendera sebegitu anehnya, Rinsa tetap bersikeras untuk mempertahankan hubungannya dengan Bendera. “Sudah sejauh ini masa’ harus berakhir sia-sia karena keanehannya.” Pikirnya lagi.

Esoknya setelah Bendera pulang, ia mengajak Rinsa untuk bertemu di taman. Katanya ada sesuatu yang ingin ia katakan dan itu penting. Tanpa perasaan ragu, Rinsa datang ke taman. Sudah ada Bendera disana. Rinsa duduk di sebelah Bendera. Tidak ada percakapan diantara mereka berdua, entah Bendera yang belum siap memulainya atau karena Rinsa tak tahu apa yang ingin di bicarakan. Harusnya Bendera yang memulainya, dia kan yang ngajak.
“Bendera.” “Rinsa.” Panggil mereka bersamaan. “Kamu dulu aja.” Ujar Bendera mengalah. “Aku mau tanya, sebetulnya kamu itu kenapa? Waktu ditelepon kamu selalu nggak nyambung jawabnya.” Ujar Rinsa panjang. Bendera tidak tahu apa yang Rinsa katakan. Selain terlalu cepat dan terlalu banyak kata, Rinsa juga tidak menggunakan bahasa tubuhnya. Akhirnya ia hanya diam saja dan tidak menjawab. Merasa tidak didegarkan, amarah Rinsa memuncak.
“Apa kau tuli?” tanya Rinsa dengan nada yang meninggi tapi masih terkesan rendah karena suara seraknya. Emosinya sedang naik sehingga mengatai Bendera tuli. “Da... darimana kau tahu?” tanya Bendera takut. Bukan main herannya Rinsa. “Tuli? Dia tuli?” pikir Rinsa. “Jadi kau benar-benar tuli?” tanya Rinsa tidak percaya. “Lalu, bagaimana kau bisa tahu semua ucapanku?” tanya Rinsa lagi. Kali ini ia memakai bahasa tubuhnya sehingga Bendera bisa mengerti.
“Dulu saat aku masih kecil, sebuah petasan meletus didekat telingaku sehingga gendang telingaku pecah. Aku menjadi tuli. Aku tidak bisa mendengar suara apapun lagi. Bahkan aku sendiri lupa bagaimana suaraku dulu. Sejak saat itu aku hidup dalam kesunyian. Tapi, aku masih bisa membaca gerak mulut lawan bicaraku. Sehingga aku masih bisa memahami maksudnya walau terkadang aku masih salah.” Cerita Bendera panjang.
“Tapi kau berbeda, kau menggunakan bahasa tubuhmu. Sehingga aku bisa lebih memahami ucapanmu. Saat ditelepon tentu saja aku tidak bisa menjawab dengan benar. Aku tak tahu apa yang kamu bicarakan. Jadi aku mohon, tetaplah seperti ini. Aku tak ingin kehilangan kamu. Karena kamu satu-satunya temanku. Dan aku menyukaimu, sangat menyukaimu.” Lanjut Bendera. Perasaan Rinsa bercampur aduk antara kagum, kecewa, dan senang.

Kagum karena Bendera mampu dan bisa menjadi anak normal. Kecewa karena Bendera tidak mau mengatakan yang sebenarnya kepadanya. Dan senang karena cintanya terbalas. “Suaraku serak.... aku tidak punya teman..... hanya kamu temanku....... aku juga menyukaimu.....” pelan-pelan Rinsa mengatakannya sambil mengisyaratkan perkataannya agar Bendera mengerti. Sedetik kemudian Bendera tersenyum diikuti tawa riang darinya dan Rinsa.
“Jadi, kamu mau jadi pacarku?” tanya Bendera memastikan. Rinsa mengangguk sambil tertawa. Tak peduli apapun kekurangan kita dan teman kita. Suatu saat kekurangan itu akan menjadi kelebihan kita.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar