Posted by Uti ajjah on November 16, 2012 · 1 Komentar
Caught your Love [Part 2]
(Investigation Started)
Author : Riikuclouds
Cast :
Kim JongWoon, Shin Miwoo (OC)
Lee Donghae, Cho Kyuhyun, Choi Younha (OC), Han Jiyoung (OC).
Genre : Mystery, Detective Story, Romance, Friendship
Rating : PG-17
Length : Chaptered
FF ini pernah dipost di blog pribadi author: riikuclouds.wordpress.com
Ps : ff ini hanya sekedar menuangkan isi otak author. Jadi mohon maaf aja kalo banyak gaje dan banyak typo, dan banyak anehnya. Yang penting, jangan copas seenaknya aja tanpa ijin yah. Oh iya. Jangan lupa tinggalkan komentar okeh readers cantik.. ^^
Di WP aku yang https://iaeveleandra.wordpress.com juga akan di post ff dengan cast kyu-rae.
Moga moga suka ya….
Happy Reading :D
Biarkan TYPO menikmati bagiannya...
______*****_______
Procecutor Office
Kyuhyun POV
Sebuah catatan kasus baru telah datang hari ini. Aku sedang memilah mana yang baiknya aku kerjakan dan yang akan dikerjakan teman-teman yang lain. Yah, namanya juga jaksa mandiri, kepala kejaksaan. Aku lebih tahu kasus mana yang pantas dikerjakan oleh teman-teman yang lain.
Sebuah map bertuliskan judul kasus “Pembunuhan dan Pemerkosaan Pekerja Malam” menarik perhatianku. Aku jadi teringat kata-kata Jiyoung yang menginginkan mendapatkan kasus pembunuhan lagi. Kurasa ini cukup tepat untuknya. Tanpa sadar aku tersenyum mengingat lagi kisah itu.
#flashback#
Police Office, Seoul.
Aku mengatarkan Jiyoung yang sudah siap dengan gugatannya ke kepala kepolisian Seoul. Kasus pembunuhan yang diatasinya ini berkaitan dengan seorang artis terkenal yang tewas karena dipaksa overdosis. Jiyoung minta kutemani karena ia sedikit takut dengan suasana kantor polisi. Maklum saja, ia baru kali ini mendapatkan kasus pembunuhan dan membuat ia terpaksa ke kantor polisi untuk menjelaskan perkara kepada pihak kepolisian.
Kami akan masuk ke ruangan kepala polisi Dae Goo. Jiyoung menarikku untuk ikut masuk. Tapi ketika kami masuk hal yang mengejutkan yang kami temui. Seorang namja muda yang keren sedang duduk di kursi itu. Mungkinkah itu kepala polisi Dae Goo? Kenapa masih muda? Aku kurang begitu jelas melihat wajahnya. Jiyoung yang tadinya sedikit takut tiba-tiba berubah menjadi semangat dan berani menghampiri kepala polisi tersebut.
“Annyeong. Aku Han Jiyoung, dari kejaksaan.”
“Oh, Kim Jongwoon imnida.”
Kim Jongwoon? Kim Jongwoon hyung?
“Jongwoon Hyung?” sapaku.
“Eh?” ia langsung berdiri dan mendekatiku.
“Namdongsaengku, Cho Kyuhyun??”
“Ne, Hyung. Ini Cho Kyuhyun.”
Ia langsung memelukku .
“Aigoo sudah lama tidak bertemu. Sudah hampir empat tahun. dan sekarang kau ternyata sudah menjadi jaksa, huh? Aigoo kau semakin tampan saja.” ujarnya sambil mengusap-usap pipiku.
“Gomawo hyung. Kau juga terlihat makin tampan dan keren. Aku saja hampir pangling tidak mengenalimu. Kau ternyata menjadi kepala kepolisian Seoul rupanya.”
“Ani. Aniyo. Bukan aku. Ini ruang kerja pamanku. Aha ha.”
“Jadi tuan bukan Kim Dae Goo, kepala kepolisian Seoul?” tanya Jiyoung.
“Ah, bukan. Kim Dae Goo itu pamanku. Aku hanya detektif kepolisian ini. Aku biasanya menangani kasus pencarian pelaku pembunuhan atau penggelapan uang saja. Aku di sini hanya menjaga ruangan paman selagi aku tidak ada tugas. Ehe he. Tapi kalau kalian ingin melaporkan dan mengajukan gugatan mengenai kasus pembunuhan dan penggelapan aku pasti tahu dan paham. Jadi, tidak apa-apa jika berbicara kepadaku”
“Kami memang ingin mengajukan gugatan terhadap tersangka pembunuhan.” Jawabku mantap.
“Oh? Aha ha. Kebetulan kalau begitu. Pas sekali.”
Ia tertawa dan berhasil menghilangkan matanya sejenak. Padahal kurasa tak ada yang lucu. Meskipun begitu ia benar-benar terlihat sangat tampan. Benar saja. Jiyoung yang ada di sini hanya termelongo seakan-akan terpesona dan tersihir oleh Jongwoon hyung.
—
Setelah lama berurusan di sini, akhirnya kami memutuskan kembali ke kantor kejaksaan. Sepanjang perjalanan, Jiyoung hanya terbengong dan sesekali tersenyum. Sampai akhirnya akan sampai kantor, ia berujar pelan.
“Kyuhyun oppa. Bisakah kau memberikan kasus pembunuhan dan penggelapan uang saja kepadaku?”
Aigoo..Jiyoung yang polos dan suci ini jatuh juga ke pesonanya Jongwoon Hyung? ya ampuunn..
“Aha ha. Aku mengerti. Baiklah.”
#flashback end#
Alhasil aku akan memberikan kasus ini pada Jiyoung. Berbahagialah kau Jiyoung. Dengan begini kau akan ada banyak alasan bertemu dengan Jongwoon oppa mu tercinta. Aha ha. Baiknya aku. Lebih tepatnya menikmati permainan dan hiburan baru. Jiyoung itu sangat lucu jika kugoda. Sedikit saja menyinggung tentang Jongwoon hyung, mukanya langsung memerah dan malu-malu. Seperti anak kecil yang diberikan es krim.
Seoul Apartement, 08.03 am KST
Jongwoon POV
Mana yeoja itu? Shin Miwoo. Sudah lewat tiga menit. Masih saja belum menampakkan wujudnya. Aisshhh. Untuk apa aku menunggu dia begini? Kenapa aku bodoh sekali bersikap sebaik itu padanya kemarin. Lihat akibatnya. Ia jadi sedikit besar kepala dan tak tahu diri lagi membuat aku menunggu begini. Orang yang biasanya bekerja sendiri sekarang harus menunggu seseorang hanya untuk melakukan investigasi mengenai korban? Jongwoon…kau sudah gila.
Sudah jam 08.10 am. Aku memutuskan menuju basement saja, tempat mobilku diparkirkan. Kemarin sore mobilku sudah selesai diperbaiki dengan cepat. Tentu saja cepat, karena aku membayarnya dengan mahal. Aku menekan tombol lift turun ke basement. Saat lift terbuka, ternyata di dalamnya ada Miwoo.
“Oh?” serunya yang sepertinya agak kaget denganku.
“Tidak usah keluar, kita langsung turun saja ke bawah.” Kataku mencegah ia keluar lift.
Beberapa detik berada di lift aku cukup terhenyak dengan penampilannya ini. Sekarang ia tampil feminim. Menggunakan gaun simpel dengan cardigan dan tas kecil yang dislempangkan ke tubuhnya. Gaunnya hanya sampai selutut. Menampakkan kaki jenjangnya yang cukup panjang untuk ukuran yeoja. Kali ini ia menggunakan wedges yang tidak terlalu tinggi. Rambutnya digerai dan meemakai bando kecil tapi tetap menampakkan poni miringnya. Make up tipis yang membuatnya terlihat lebih cantik.
Sesudah sampai di basement, kami pun berjalan menuju mobilku. Aku memberi aba-aba agar ia membuka pintu depan mobil dan masuk duduk di kursi penumpang depan. Ia pun menurut mengikuti aba-abaku. Aku pun langsung menarik pedal gas menjalankan mobilku.
“Mana data korban? Alamatnya?” tanyaku pada Miwoo.
“Sebentar..” ia marogoh tasnya dan mengambil map yang berisi beberapa berkas penyelidikan yang kuberikan kemarin.
Ia menjaga berkas itu dengan baik. Mengganti mapnya menjadi lebih kuat dan praktis. Dan menyusun semua hal penting tentang korban di secarik kertas dengan jelas. Ia lalu memperlihatkan kertas catatan alamat itu kepadaku.
“Daejeon ya.. baiklah..”
—
“Jongwoon..”
“Emm..”
“Aku sudah membaca resume interogasi yang dilakukan pada para saksi.”
“Lalu?” aku menanggapinya sedikit karena aku memang sedang konsentrasi menyetir.
“Kurasa korban bukan meminum racun sianida itu. Kemungkinan ia mau meminumnya sangat kecil. Jika memang saksi kedua menawarkan minuman, itu sangat kecil kemungkinannya yang ditawarkan adalah minuman berbotol sekecil itu. Kalau boleh, apa aku bisa melihat botol itu lagi?”
“Botol itu ada di kantor.”
“Aku juga ragu jika memang korban meminum racun itu atau ia mendapatkan dari orang lain dan meminumnya. Kalau ia meminum itu, kemungkinan itu adalah obat yang ia bawa. Sedangkan menurut pengakuan saksi, mereka tidak melihat korban mengeluarkan sesuatu daari tasnya selain passport. Lagipula, mana ada minuman berbotol sekecil itu.” Jelasku dan ia mendengar sambil mengangguk-angguk.
“Jadi itu bukan bukti kuat.” Tambahnya.
“Oh iya. Miwoo. Kau bilang kau seorang peneliti. Apakah bisa diperiksa apa korban memang menelan sianida? Apakah bisa dideteksi dari mayatnya? Teknologi DNA biasanya bisa mendeteksi sidik dengan uji DNA.”
“Uji DNA bisa di lakukan jika kita menemukan jejak pelaku di barang bukti dan kita sudah menduga tersangka yang mau diuji sebelumnya. Kalau hanya mendeteksi keberadaan sianida, bisa saja lewat darah korban atau urin. Kalau kau memang ingin melakukannya, aku bisa meminta tolong temanku dari divisi haemo atau renalis memeriksanya? Bagaimana?”
“Terserah kau.”
Kami pun kembali diam. Ia benar-benar serius dengan kegiatan ini. Padahal tidak ada hal yang menguntungkan untuknya selain kesenangan pribadinya melampiaskan imajinasinya tentang cerita detektif.
“Jongwoon..” Ia kembali membuka mulut.
“Emm..”
“Bagaimana jika pelakunya lebih dari satu orang?”
Aku langsung menengok ke arahnya yang sedang menatap ke depan.
“Awas!”
CKKIIITTTT
Miaawww..
Seekor kucing nyaris saja tertabrak olehku menyeringai ke arahku. Kalau ia bisa bicara, aku taruhan kalau yang dikatakan kucing itu umpatan, makian dan teriakan padaku yang meleng menyetir. Aku memutuskan untuk menghentikan mobil. Mendengarkan pendapatnya dulu.
“Maksudnya, kau berpikir lebih dari satu orang yang membunuh? Pembunuhan berencana begitu?”
“Ne. Suasana ramai dan gaduh itu menjadi hal yang menguntungkan beberapa pelaku kejahatan karena banyak orang pasti tidak menduga dan memperhatikan kalau terjadi pembunuhan di sana. Seperti kebanyakan kasus terorisme dimana pelaku mengambil kesempatan saat orang-orang lengah dan tidak sadar. Akhirnya mereka bisa melakukan aksinya sesuai rencana. Jika memang ahjusshi itu dibunuh dengan direncanakan sebelumnya, skenarionya misalnya membuat korban seakan-akan terkena serangan jantung mendadak akibat suatu hal yang mengagetkan, atau membuat korban seakan-akan keracunan minuman,,atau lainnya”
Dugaan Miwoo ini sedikit membuatku berpikir kemungkinan lain yang memang tidak aku perhatikan. Aku bersyukur gadis ini menyukai kisah detektif. Ia banyak belajar juga rupanya. Bersyukur juga karena ia ternyata pintar. Tapi permasalahannya, dia sepertinya tidak keberatan dengan kegiatan ini. Tidakkah ia pikir menjadi detektif itu berbahaya? Ada peraturan tidak tertulis bahwa detektif itu harus bekerja sendirian agar rahasia dan hipotesisnya aman. Semua juga salahku dengan baik hatinya mempersilahkan ia ikut. Nanti akan aku katakan agar ia mau mengerti untuk tidak terlibat lebih jauh. Aku memutuskan melanjutkan perjalanan.
—
“Yang mana rumah korban?”
“Rumah berpagar cokelat.”
“Aisshh. Kalau kita hanya di sini saja kita tidak akan mendapat apa-apa. Kenapa tidak langsung ke rumahnya saja.”
“Kau ini berisik sekali. Diam di sini dan lihatlah bagaimana aku mendapatkan informasi mengenai korban.”
Aku segera melepas blazer ku dan keluar dari mobil. Ada seorang ibu setengah baya yang sedang menyapu pekarangan rumahnya.
“Annyeonghaseo, ahjumma.”
“Annyeong.”
“Aku ke sini mencari rumah keluarga Choi. Katanya alamatnya di sini.”
Aku menyodorkan alamat korban di kertas itu.
“Rumah Choi? Benar ini alamatnya?”
“Ne, ahjumma. Itu yang kuperoleh.”
“Wah sepertinya kau salah. Rumah itu bukan rumah keluarga Choi. Tapi rumah keluarga lee.”
“Lee? Aigoo jadi aku sudah tertipu alamat palsu?” *author sing: kemana..kemana dimana..”*
“Iya. Mungkin kau sudah tertipu. Tidak ada yang bernama Choi di sini.”
“Lalu keluarga Lee ini sebenarnya siapa?”
“Ah,, aku juga tidak begitu tahu banyak tentang keluarga ini. Yang kutahu ia punya satu orang anak yang sekarang sudah berkewarganegaraan Amerika. Beberapa hari yang lalu kedua orang tuanya bertengkar hebat karena tuan Lee selingkuh. Sepertinya akan bercerai.”
“Bercerai? Pantas saja rumahnya terliat sepi ya.”
“Lalu sekarang mereka kemana bi?”
“Kalau itu aku kurang tahu nak. Dugaan warga katanya sudah pisah rumah. Mereka berdua memang jarang sekali keluar rumah. Semenjak anaknya menetap di Amerika mereka jarang sekali terlihat. Sesekali tuan Lee hanya ikut kami senam di kompleks ini.”
“Oh..begitu ya..”
“Kalau nyonya Lee nya bagaimana bi? Dia dimana sekarang? Masih tinggal di situ?”
“Tidak. Rumah ini sudah lama tidak menampakkan tanda-tanda kehidupan. Jadi tidak mungkin masih tinggal di situ. Dengar-dengar sih, tapi kau jangan bilang siapa-siapa ya. Kata nyonya sebelah, istrinya sudah jadi gila. Aku sih tidak tahu benar. Tapi bisa saja kan karena masalah pernikahan mereka, ia jadi begitu. Kalau benar sih, kasian sekali. Eh, tapi aku hanya mendengar darai orang loh. Kau jangan menyebar nyebar cerita ini sembarangan ya.”
Aku mengangguk-angguk pura-pura menurut. Mendengarkan ceotehannya. Ada untungnya juga berbicara dengan ahjumma gosip. Aku langsung berpamitan setelah sebelumnya membantu ahjumma membuangkan sampah ke tempat sampah besar di samping taman rumahnya.
—
Miwoo POV
Aisshh Jongwoon kenapa lama sekali bercakap-cakap dengan agasshi itu. Aku tak sabar menunggunya. Aku ingin keluar saja. tapi aku urungkan niat dan memutuskan menontonnya saja sambil terkekeh karena melihat ia yang membantu bibi itu membuangkan sampah. Tak lama ia kembali masuk ke mobil. Aku tak sabar ingin mendengar apa yang akan ia katakan.
“Inilah gunanya detektif dalam kepolisian. Polisi hanya menyelidiki semua yang terlibat dalam kasat mata. Jika korban tidak memiliki keluarga yang mencarinya, polisi tidak akan mau repot-repot mengorek informasi detail dari orang lain.”
“Maksudmu?”
“Ayo kita pergi. Sekarang kita cari tahu siapa istri sah korban ini. Kita ke kantor catatan sipil.”
“Eh?”
Jongwoon hanya tersenyum.
—
Jiyoung POV
Aigoo ini kesempatanku. Kyuhyun oppa benar-benar memenuhi permintaanku memberikan kasus pembunuhan padaku. Dengan cepat aku mengerjakan berkas ini dan membuat daftar pertanyaan yang mungkin akan aku ajukan nanti pada saksi, maupun pada kepolisian. Semangat! Kataku dalam hati sampai mengangkat tangan kananku tinggi-tinggi.
“Jiyoung-a. kau boleh bersemangat, tapi tetap kendalikan dirimu di depanku.”
Kyuhyun oppa menegurku. Kami memang satu ruangan karena aku menjadi bawahan Kyuhyun oppa. Ia duduk di set mejanya di depan mejaku. Jadi tentu saja ia melihat ekspresiku tadi yang mungkin menjijikan baginya.
“Ah, he he.”
Aku hanya menyengir menanggapinya.
“Oppa, menurutmu pelaku harus diapakan ya?”
“Pelakunya? Digantung saja di Taman Babillonia.”
Aku mengerucutkan bibirku.
“Oppa, pendapatmu tidak membantu.”
“Ha ha. Jiyoung-a. kenapa tidak kau tanya saja pada Jongwoon hyungmu itu.”
“Aishh.. oppa! Apa yang kau katakan. Jangan membuatku malu. Menuntut dan menentukan hukuman kan tugas jaksa, bukan detektif. Bisa malu aku kalau seperti itu masih ditanyakan.”
“Jiyoung-a. Kau tidak perlu berpura-pura. Memang itu kan yang kau mau? Kalau kau memang suka pada hyung, aku akan membantumu dekat dengannya.”
“Jinja? Janji loh oppa?”
“Ne..”
“Oppa, Gomawo.” Aku tersenyum dan menampakkan wajah manisku.
“Jadi apa rencanamu sekarang?”
“Eh? Rencana?”
“Aishh. Kau ini. Kalau ingin mendekati lawan jenis ya harus pakai rencana supaya berhasil. Kau mau mendapatkan Jongwoon hyung tidak?”
“Lalu apa yang sebaiknya aku lakukan?”
“Temui saja dia terus. Semakin sering bertemu akan semakin bisa mengenal. Tak kenal maka tak sayang.”
“Mmm..” aku mengangguk pelan.
“Oppa bisa membantuku?” aku pun bertanya lagi. Ia hanya menghela nafas dan tidak menjawab apapun.
—
Register Office, 11:21 am
Miwoo POV
Aku hanya mengikuti kemana langkah Jongwoon. Ia berjalan nampaknya ke salah satu meja petugas yang bertuliskan “pernikahan”. Orang-orang yang mengantri giliran atau sekedar menunggu selesainya surat mereka, melihat ke arah kami berdua yang berjalan ke meja petugas pernikahan itu. Mungkin mereka mengira kamilah yang akan mendaftarkan pernikahan?
“Permisi,, aku ingin bertanya mengenai catatan pernikahan untuk seseorang bernama Lee Namji ada? Boleh aku lihat?” Jongwoon bertanya pada petugas sipil di depan ini.
“Kapan tahun pernikahannya?” Tanya noona tersebut sambil mengetik.
“Ah, maaf noona aku kurang tahu.”
“Kalau begitu sulit untuk menemukannya. Kami juga tidak dapat memberiahukan mengenai data seseorang sembarangan.”
Kulihat Jongwoon mangambil sesuatu dari dompetnya dan menyerahkan kepada noona tersebut. Itu kartu namanya.
“Kalau begitu aku minta bantuanmu noona untuk menemukan catatan pernikahan tuan Lee Namji.”
Noona tersebut terlihat sedikit kaget dan sepertinya mengerti maksud Jongwoon. Dia pun mengangguk dan mengatakan pada kami untuk menunggu di kursi tunggu. Baru saja aku ingin bertanya, Jongwoon mengangkat telepon yang sepertinya penting dan meninggalkan aku. Tidak bicara sama sekali padaku. Aku jadi bingung.
—
Jongwoon POV
Ponselku bergetar dan kulihat panggilan dari paman. Aku segera meninggalkan kursi ruang tunggu.
“Yeobseo.”
“Jongwoon-a.”
“Ne. ada apa paman?”
“Bisa kau ke rumah sakit sekarang? di tubuh korban ditemukan bekas suntikan di bahunya. Bekasnya membengkak. Diduga suntikkan itu terjadi secara paksa sehingga bisa membengkak.”
Aku cukup terkejut dengan kabar ini. Aku hanya diam dan berguman tanda mendengarkan apa yang dikatakan paman. Berarti benar bahwa korban dibunuh. Dan caranya dengan menyuntikkan racun yang ada di botol itu. Botol itu pasti memiliki penutup karet atau jenis yang mudah ditusukkan jarum. Aku mengerti sekarang. Aku sudah bisa menduga siapa pelakunya kalau begitu. Artinya aku harus menemukan buktinya lagi di TKP.
“Kau sekarang ada dimana?” paman bertanya.
“Aku di kantor catatan kepolisian.” Jawabku
.“Jongwon-a. Ini surat catatan pernikahannya. Sudah.” Miwoo mengagetkanku.
“Suara siapa itu? Miwoo? Surat pernikahan? Kau di.. Ya Tuhan Jongwoon-a! kalian mendaftarkan pernikahan kalian tanpa memberitahuku!”
“De?” Aku sedikit teriak karena kaget.
“Jangan bilang kau belum memberitahu orang tuamu, Jongwoon-a.”
“Aish paman, aku tidak mendaftarkan pernikahan.”
“Lalu apa yang kudengar tadi?”
Miwoo berdiri menghampiriku dan menyembulkan mukanya di wajahku sekarang. kurasa ia mengisyaratkan pertanyaan padaku siapa yang ku telpon. Ah, ribet sekali. Kuputuskan membiarkannya dulu.
“Aku sedang mencari nama alamat istri korban. Ada baiknya aku mendapatkan informasi di sini.”
“Lalu kenapa kau mengajak Miwoo dalam penyelidikanmu? Kau tahu kan apa yang seharusnya kau lakukan. Membawa orang lain bersama-sama dalam penyelidikan selain kepolisian sangat berbahaya. Meskipun kau percaya pada pacarmu tapi tetap saja tidak boleh begitu, Jongwoon-a.”
“Iya. Aku mengerti. Aku akan menyuruhnya pulang nanti.”
“Tentu saja. Jangan seperti itu lagi Jongwoon-a. Meskipun aku mengerti gejolak cintamu saat ini, berat jika tidak bisa bertemu dengan pacarmu sebentar saja, tapi bukan berarti kau bawa dia kemana-mana.”
“Aish. Apa sih yang paman katakan? Ah, sudahlah paman. Aku tidak mau berdebat. Kau sudah salah paham sejak kemarin. Aku pasti akan ke rumah sakit. Kuhubungi lagi nanti.”
Tuut. Aku menutup telepon sebelum paman selesai bicara.
“Dari paman.” Jawabku kemudian pada Miwoo.
Aku harus melihat mayat korban sekarang. Suntik paksa itu kemungkinan cara yang dilakukan pelaku untuk membunuh korban. Sekarang penting bagiku untuk mencari penguatan motif dibalik pembunuhan ini. Tapi masalahnya sekarang Miwoo harus kuminta pulang. Tepatnya aku harus memaksa ia pulang karena aku yakin dia pasti akan memaksa tetap ikut meskipun kujelaskan alasannya.
“Ayolah cepat kita pergi.” Kataku pada Miwoo.
—
Miwoo POV
Semua yang kami cari sudah kami dapatkan di berkas yang telah diberikan petugas catatan sipil tadi. Sekarang kami berdua duduk di mobil Jongwoon. Ia sedang membaca satu persatu berkas dan catatan tentang korban yang diperoleh dari kepolisian, forensik, dan catatan sipil. Semua ia baca satu persatu dan memberikan juga satu persatu kepadaku yang sudah ia baca. Sudah hampir sepuluh menit lebih ia begitu. Tidak bicara sama sekali padaku. Isyarat mata atau menoleh apapun tidak. Aku jadi seperti angin yang dibiarkan begitu saja. Akhirnya ia membuka mulutnya mulai bersuara.
“Aku mengerti.”
Aku hanya mengeritkan dahiku. Apa yang ia lakukan sedaritadi membuat aku bingung. Tak bisakah dia jelaskan padaku. Dia melakukan semua tanpa bicara padaku.
“Tapi aku tidak mengerti.” Kataku mencoba meminta penjelasan kepadanya.
“Yasudah jangan coba mengerti.” Jawabnya santai.
“Yak! Aku kan juga ingin mengerti. Aku bingung dengan semua yang tertulis di sini. bagaimana aku bisa menganalisis kasus ini?”
“Menganalisis kasus? Ya ampun.. Nona Shin Miwoo, aku tidak pernah memintamu ikut-ikutan kan?”
“Tapi kemarin kau bilang datang saja ikut kau?”
“Iya aku bilang ikut saja. Tapi tidak bilang untuk menganalilis kasus juga kan?”
“Oh..oh.. lalu kenapa kau biarkan aku ikut? Kau membuat aku berharap. Menyebalkan sekali.”
Aku mendengus kesal. Orang ini kembali menjadi menyebalkan. Ah..aku sendiri tidak mengerti kenapa aku malah membuang-buang waktu di sini kalau memang awalnya dia memang tidak berniat melibatkanku menyelidiki dan menganalisa kasus. Aku salah mengira sikapnya kemarin. Kesal. Harusnya aku meneruskan penelitianku yang tertunda di Lab. Uh.. sekarang ia malah cuek-cuek saja dan menelepon seseorang yang kelihatannya penting. Aku jadi berniat untuk pulang saja. menjadi detektif itu tidak menyenangkan. Aneh. Baru aku ingin membuka pintu mobil ia langsung menahanku.
“Mau kemana?”
“Pulang!” jawabku ketus.
“Ya. Hati-hati ya!”
Mwo? Cuma itu yang ia bilang? Ishh. Aku jadi seperti orang bego yang mengikuti dia dan daritadi aku juga terus berbicara mengenai kasus ini padanya. Tidakkah ia lihat aku antusias seperti ini. Aku kesal sekali. Aku lalu membuka pintu mobil dan menutupnya kesal. Berjalan terus menuju halte terdekat dan meninggalkan Jongwoon yang masih di mobilnya. Masih sibuk dengan urusannya dengan mencoret-coret kertas catatan yang dipegangnya.
Jongwoon POV
Aku melihat-lihat kembali semua berkas ini. Interogasi saksi, data korban, dan semuanya. Membacanya semua satu-persatu dan memberikannya pada Miwoo. Untuk saat ini aku memang sengaja tidak mempedulikannya.
“Aku mengerti.” Kataku lirih.
“Tapi aku tidak mengerti.” Sahutnya.
Aku menoleh padanya dan kulihat wajahnya meminta penjelasanku.
“Yasudah jangan coba mengerti.” Jawabku santai. Aku sengaja supaya ia kesal.
“Yak! Aku kan juga ingin mengerti. Aku bingung dengan semua yang tertulis di sini. bagaimana aku bisa menganalisis kasus ini?”
“Menganalisis kasus? Ya ampun.. Nona Shin Miwoo, aku tidak pernah memintamu ikut-ikutan kan?”
“Tapi kemarin kau bilang datang saja ikut kau?”
“Iya aku bilang ikut saja. Tapi tidak bilang untuk menganalilis kasus juga kan?”
“Oh..oh.. lalu kenapa kau biarkan aku ikut? Kau membuat aku berharap. Menyebalkan sekali.”
Dia mendengus kesal. Biar sajalah. Aku memang harus bersikap begini agar ia mau pergi dengan sukarela. Ponselku bergetar kembali. Nomor yang tidak ada dalam phonebook-ku. Aku jawab saja sekarang.
“Yeobseo.”
Belum jelas aku mendengar siapa yang menelepon. Miwoo terlihat akan beranjak dari duduknya. Aku menahannya dengan memegang tangannya.
“Mau kemana?” tanyaku.
“Pulang!” jawabku ketus.
Bagus. Berhasil.
“Ya. Hati-hati ya!” jawabku dengan senyum.
Dia lalu membuka pintu mobil dan menutupnya kesal. Aku kemudian melanjutkan menjawab teleponku sambil terus mengamatinya menjauh.
“Yeobseo.”
“Ah, De. Yeobseo.”
“Yeobseo, Jongwoon oppa?”
“De. Nugu?”
“Jiyoung. Han Jiyoung imnida.”
“Oh, Jiyoung-a. mianhe tadi aku sedang berbicara dengan seseorang. Ada apa?”
“Em,,aku,, emm” aku menunggunya berkata sesuatu. Tapi tak kunjung ia katakan. Ia hanya bersuara ragu-ragu.
“Gwencana, Jiyoung-a. katakan saja. ada apa?”
“Oppa. Aku sudah menentukan tuntutan untuk kasus pembunuhan dan pemerkosaan pekerja malam nona X oppa. Kau bilang jika ada kasus seperti ini bisa meminta bantuanmu. Aku butuh bantuanmu oppa. Aku sulit menjerumuskan terdakwa kalau hanya dengan bukti yang tercatat di kasus ini. ”
“Oh, iya aku ingat kasus itu. Boleh. Memang itu juga yang menjadi pencarian polisi. Sebenarnya kami telah menemukan bukti baru kemarin.”
“Jinja? Wah, kalau begitu bolehkah kau bagi informasinya? Mianhe aku merepotkan.”
“Ani. Ani. Tidak merepotkan kok.”
“Kalau begitu, bisakah kita bertemu sekarang?”
“Sekarang?”
“Iya. Tidak bisa ya?”
“Ah, bisa kok. Bisa. Tapi aku harus mengambil dulu ke kantor. Sore saja ya. Dimana?”
“Di Seoul café saja. Oppa tahu kan?”
“Ne. kalau begitu sampai jumpa ya.”
“Ne. gomawo oppa. Anyeong.”
Aku menutup teleponnya dan langsung menyimpan nomor Jiyoung. Baguslah. Dia kan seorang jaksa. Mungkin saja ia punya informasi lain yang memperkuat dugaanku. Aku sudah tahu motif pembunuhan ini, bagaimana pelaku melakukannya. Yang kurang meyakinkan adalah siapa pelakunya. Aku segera memutar setir untuk ke rumah sakit. Seperti yang paman bilang tadi untuk menemuinya dan melihat mayat korban. Tapi selain itu ada hal penting yang harus ku cari di rumah sakit juga. Yaitu menemui istri korban di poli psikis atau kejiwaan.
—
At Seoul Hospital, 12:43 am
Aku menuju kamar yang dikatakan suster. Kamar pasien bernama Lee Seoyoon, istri dari korban pembunuhan, Lee Namji. Aku bertanya kepada petugas yang ada dimana kamarnya dan menanyakan yang mana Lee Seoyoon tersebut. Apa yang kulihat ternyata mengejutkanku. Istri korban sangat menyedihkan, badan yang kurus dan sudah tidak waras lagi alias gila. Lebih mengagetkan lagi, seorang namja yang bersamanya, dan aku mengenalnya, yaitu saksi kelima, namja yang diketahui sebagai pegawai Bank. Namja itu sedang duduk di samping pasien yang terlihat sedang memain-mainkan nampan rumah sakit. Apa yang kulihat sesuai dugaanku. Nama namja itu adalah Lee Hyunki dan itu adalah nama dari anak korban Lee Namji. Namja itu kaget melihat aku yang masuk ke kamar pasien ini.
“Tu..tuan Detektif?”
“Jadi, benar dugaanku. Kau memang punya hubungan dengan korban. Menyedihkan bahwa kau mengakui tidak mengenal ayahmu sendiri.”
“Apa yang kau katakan sama sekali tidak pantas tuan Detektif. Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
“Aku sudah tahu. Yang aku belum tahu apa hubunganmu dengan sopir bus itu? Apa dia pria yang membuat keluargamu..”
Belum sempat aku melanjutkan, ia meraih kerah bajuku dan bersiap memukulku atau mungkin membunuhku juga?
“Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini. Berhentilah menatapku seakan aku bersalah. Huh! Tuan detektif, meskipun kau tahu semuanya. Kau tetap tidak dapat menuntutku atau memaksa polisi menangkapku. Kau belum punya bukti.”
Aku melepas tangannya dari kerah bajuku dan berjalan menuju pasien.
“Kau tidak usah khawatir Lee-shii. Aku akan mengurus eommamu nanti.” kataku pada namja itu sambil duduk di samping Lee ahjumma. Lee ahjumma hanya menatap aku heran dan tertawa-tawa sendiri.
“Kau tidak akan bisa menemukan buktinya, tuan Detektif.”
-TBC-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar