Sabtu, 31 Januari 2015

When The Heart Begins To Speak (BAB 2)

Author : I.A.Eve

Genre : Sad, hurt, school life

Di WP aku yang https://iaeveleandra.wordpress.com juga akan di post ff dengan cast kyu-rae.
Moga moga suka ya….

Happy Reading :D

Biarkan TYPO menikmati bagiannya...



______*****_______
Hidden Love


“..apa susahnya mengatakan ‘CINTA’ kepadaku?
Bukannya aku memaksa,
tapi katakan saja agar hatimu terasa damai
Semakin lama kau pendam,
maka akan semakin besar rasa sakit
yang kau rasakan
Katakan saja...
Aku hanya ingin mendengarnya
Karena ‘CINTA’ telah membuatku tak
bisa lepas darimmu
Meskipun kau memintaku untuk menjauh
dari jarak pandangmu sekalipun...”
œ


Sudah hampir sebulan Stevani menjadi mata-mata. Kemana pun Flyn pergi, dengan senang hati Stevani akan mengikutinya. Tapi seminggu terakhir, akhirnya Stevani menyadari sesuatu. Selama ini memang Stevani pandai bersembunyi saat sedang mengikuti Flyn, tapi apakah Flyn tidak merasa jika sedang diikuti? Sekalipun Flyn tidak pernah menengok kebelakang untuk memastikan dibelakangnya tidak ada siapa-siapa. Lama-kelamaan Stevani menjadi bosan dan memutuskan untuk berhenti mengikuti Flyn. Karena tujuannya mengikuti Flyn adalah demi mendapatkan informasi tentang kehidupannya dan keluarganya. Tapi sudah sebulan penuh terlewat dan Stevani tidak membawa hasil apa-apa.

Dengan langkah gontai, Stevani menghampiri Lissa yang tengah asik membaca novel di halaman kampus. Wajahnya yang sebelumnya terlihat sangat putus asa kini berubah menjadi sangat kesal. Sudah berkali-kali ia menghembuskan napasnya kasar tapi tetap saja Lissa tidak menyadari kehadirannya. Kali ini ia menarik napasnya panjang dan menghembuskannya dengan keras.

“Bisakah kau memberitahuku tentang Flyn? Apapun itu aku mau,” rengek Stevani yang terdengar sangat lucu bagi Lissa.

“Berusahalah kalau kau mau mengetahui seluk beluk tentang dirinya. Kau sudah memata-matainya, harusnya kau sudah mendapatkan informasi yang cukup banyak,” sahut Lissa tanpa mengalihkan pandangannya dari novel yang tengah dibacanya.         

“Baiklah kalau itu maumu. Justin Lee. Mahasiswa pindahan dari Korea yang sangat tampan dan juga berwibawa. Banyak sekali gadis di luar sana yang mengaguminya, ah bahkan mencintainya. Termasuk kau, Lissa. Benar, ‘bukan? Oh God! Sepertinya kau memang sudah melupakan masa lalumu, Lissa. Tidak kusangka, perasaanmu akan berubah secepat ini,” ujar Stevani seraya menggeleng-gelengkan kepalanya seolah ia tidak percaya dengan fakta yang ia ketahui.

“Sialan kau, Gabi!” umpat Lissa seraya menutup novelnya dengan gusar.

“Hahaha.... Jadi?”

“Flyn Williams, ia adalah putra tunggal hasil pernikahan Alex Frankley dan Anna Lin. Ia berasal dari keluarga miskin yang beruntung bisa meneruskan pendidikannya ke Royal College of Music karena sebuah beasiswa yang ia dapatkan. Kemampuan dan pengetahuannya mengenai musik tidak perlu diragukan lagi. Ia sangat cerdas dan pandai sekali memainkan alat musik. Dan ia disini hanya sendiri, aku juga tidak tahu dimana sebenarnya ia tinggal mengingat Kensington adalah kawasan elit sedangkan ia disini hanya mengandalkan beasiswanya. Yah, yang kutahu hanya sampai sebatas itu. Selebihnya aku tidak tahu.”

“Anna Lin? Pantas saja wajahnya memiliki garis wajah Asia yang membuatnya semakin tampan. Hah.. beruntungnya ia memiliki wajah setampan itu.”

“Hentikan kicauanmu itu, Nona Euforia! Aku muak mendengarnya,” sahut Lissa yang terlihat jengkel dengan sikap berlebihan Stevani hari ini.

“Tapi dilihat dari latar keluarganya yang kurang mampu, dimana ia tinggal sekarang? Kira-kira disekitar sini adakah sewa apartemen yang murah?”

“Kau bodoh atau apa? Kensington adalah kawasan elit yang hanya dikunjungi oleh orang-orang kaya saja. Sewa hotel sudah dapat dipastikan tidak ada yang murah, apalagi apartemen. Apa kau lupa dimana kau tinggal, hah? Sepertinya aku harus mengajakmu keliling Kensington agar kau mengingatnya.”

“Kalau begitu, ia tinggal dimana? Jangan-jangan–“

“Jangan bodoh, Gabi. Ia tidak mungkin tidur di teras toko. Mungkin ada sebuah motel yang harganya cukup terjangkau. Harusnya kau tahu dimana ia tinggal mengingat selama hampir sebulan kau terus mengikutinya.”

“Kau tahu sendiri kan, jalanan Kensington selalu ramai. Aku selalu saja kehilangan jejaknya ditengah-tengah pengintaianku. Jadilah aku tidak mendapat hasil sedikitpun.”

“Jadi apa yang kau lakukan selama sebulan ini hanya sia-sia?”

“Yeah. I’m just wasting my time with useless.”

***

“Hi. I’m Justin Lee, transfered from Korea. You can call me Justin. Nice to meet you,” ucap seorang pria yang kini sedang menunggu uluran tangan dari seseorang yang diajaknya bicara.

                “Flyn. Nice to meet you too,” sahutnya tanpa membalas uluran tangan yang sejak tadi sudah ada di hadapannya.

                Justin hanya tersenyum simpul, tidak menyangka bahwa orang yang diajaknya berkenalan itu sama sekali tidak memiliki ekspresi wajah dan juga berkepribadian buruk. Yang benar saja, sejak awal ia bicara tangannya sudah terulur tepat di depan wajah Flyn, tapi tanpa rasa bersalah Flyn hanya meliriknya sebentar lalu matanya kembali pada buku yang tengah dibacanya.

                “I hope we can be friends,” kata Justin sebelum memfokuskan dirinya pada pelajaran.

“Kau lihat? Betapa sombongnya ia. Sungguh menjengkelkan!” omel Lissa yang ternyata sejak awal masuk kelas sudah memperhatikan Justin.

“Who’s care?” bisik Stevani yang terdengar jelas di telinga Lissa.

“Awas saja kalau ia berani mengacuhkan Justin lagi. Akan ku pastikan ia akan pulang tanpa sepeda kesayangannya,” ucap Lissa seraya menatap tajam kearah Flyn.

Saat ini Stevani dan teman-temannya sedang berada di ruang musik dan sialnya Stevani sangat buruk dalam memainkan sebuah biola meskipun ia sudah mengikuti les biola.

“Baik anak-anak, di depan kalian sudah ada biola. Sebelum kita memainkannya, ku harap diantara kalian ada yang bisa menjelaskan sedikit tentang biola.”

“Biola adalah sebuah alat musik berdawai yang diperkirakan berasal dari budaya penunggang kuda di kawasan Asia Tengah, contohnya alat musik bangsa Mongolia, Morin Huur. Biola sendiri memiliki empat senar, yaitu G D A dan E yang disetel berbeda satu sama lain dengan interval sempurna kelima. Nada yang paling rendah adalah G. Diantara keluarga biola, yaitu dengan viola, cello, dan double bass atau kontra bass, biola memiliki nada yang tertinggi.”

“Beri applause yang meriah untuk Flyn! Sungguh betapa bahagianya aku jika memiliki mahasiswa secerdas dirimu,” seru Mr.Hery seraya melirik Lissa yang mendengus sebal karena ia merasa di hina oleh gurunya sendiri.

                “Flyn?” gumam Stevani yang ternyata terdengar sampai ke telinga sang pemilik nama. Flyn yang merasa terpanggil itu pun menoleh ke kanan dan mendapati Stevani tengah menatapnya tanpa berkedip.

“Kau memanggilku?” tanya Flyn yang kini wajahnya sudah terpampang jelas di depan wajah Stevani.

Kesadaran Stevani baru kembali setelah Flyn mengajaknya berbicara. Ia bingung harus menjawab ‘Ya’ atau ‘Tidak’. Jika ia menjawab ‘Ya’, apa yang harus ia katakan supaya ia bisa berbicara dengan Flyn lebih lama lagi? Sedangkan jika ia menjawab ‘Tidak’, itu artinya ia telah menyia-nyiakan kesempatan emas yang sudah ada di depan matanya.

“Uumm.. Ya. Bagaimana bisa kau tahu semuanya? Mulai dari para komposer sampai alat musiknya. Bukankah itu sulit?” Akhirnya Stevani memberanikan diri untuk menjawab ‘Ya’ yang berhasil membuat keringat dingin mengucur deras.

“Kalau kau mau belajar maka tidak ada hal yang sulit. Bukannya kau juga ahli dalam hal teori?” tanya Flyn yang dibalas anggukan kecil Stevani kemudian kembali ke posisi semula.

Meskipun ia menjawab tanpa ekspresi, tapi rasa bahagia yang sedang dirasakan Stevani seakan membuncah memenuhi seluruh rongga dadanya. Rasa bahagianya sudah mencapai level tertinggi hingga rasanya ingin sekali berteriak lantang, memberitahu pada dunia bahwa ia sangat bahagia.

***

“Maaf anak-anak, aku sedikit terlambat karena ada urusan yang harus ku selesaikan,” ucap seorang wanita yang baru saja memasuki kelas.

‘Mrs.Paul? Untuk apa ia kesini? Bukankah ia hanya mengajar hari Selasa dan Kamis? Jadi mengapa ia... Astaga!’

“Justin, hari apa sekarang?” tanya Stevani panik.

“Kamis. Memangnya kenapa? Kau lupa kalau hari ini ada test?”

“Demi Ratu Victoria! Mengapa kau tidak memberitahuku, Justin? Hah.. kacau! Semuanya kacau!” omel Stevani sambil mengacak-acak rambutnya gusar. Ia menunduk berusaha menyembunyikan wajahnya hingga keningnya membentur pelan meja yang ada di depannya.

“Mengapa harus ada test? Mengapa?” gumam Stevani yang membuat Justin semakin bingung dengan sikap anehnya.

“Baik anak-anak, sesuai janji hari ini kita akan melakukan test praktik. Dan alat musik yang akan kita mainkan adalah piano bukan biola seperti janji kita. Jadi, siapa diantara kalian yang berminat untuk menjadi yang pertama? Aku akan memberikan tambahan nilai bagi siapa saja yang maju pertama. Lagu yang kalian mainkan bebas, jadi kalian boleh memainkan semua lagu yang kalian bisa. Very simple, isn’t it?”

Stevani yang memang jago dalam bermain piano segera mengangkat tangannya tinggi-tinggi berharap ialah yang menjadi peserta pertama. Tapi sayangnya ia kalah cepat dengan pria yang duduk disampingnya. Dengan sebal, ia menurunkan tangannya lalu melipat tangannya di depan dada. Ia menatap kesal pada Justin yang kini sudah beranjak dari tempat duduknya.

“Oh, Justin Lee, mahasiswa pindahan dari Korea. Apa aku salah?” tanya Mrs.Paul yang berjalan mendekati Justin.

“Tidak, Mrs.Paul,” jawab Justin yang sudah duduk di depan Grand Piano yang akan ia mainkan.

“Baiklah, ku harap kau berhasil melalui test ini dengan baik. Kau bisa memulainya.”

Mendadak suasana kelas menjadi hening. Tidak ada satupun suara yang terdengar selain alunan musik yang Justin mainkan. Sangat indah. Itulah definisi yang dapat digambarkan. Justin memainkannya dengan sangat lembut sesuai dengan irama musiknya yang mellow. Melihat suasana romantis seperti ini membuat Stevani membayangkan jika yang berada disana adalah Flyn dan memainkan musik tersebut khusus untuk dirinya. Sedangkan Lissa tidak pernah berkedip semenjak jari-jari Justin mulai menekan tuts-tuts piano yang membuatnya diam terpaku.

“Wow! Beri tepuk tangan yang meriah untuk Justin!” sorak Mrs.Paul yang terlihat sangat puas dengan permainan Justin.

“Wohoo! Kau hebat, Justin! Sangat Hebat!” teriak Lissa sambil memberikan applause yang meriah saat Justin berjalan melewatinya.

“Kau menyukai Justin?” tanya sebuah suara bariton tepat berada ditelinga Lissa.

“A...apa maksudmu? Aku tidak mengerti,” jawab Lissa gugup karena tidak menyangka Flyn akan mengetahuinya.

“Kau tidak ada bedanya dengan temanmu yang bernama Gabi itu. Sama-sama pembohong,” sahut Flyn tanpa mempedulikan wajah Lissa yang sudah memerah.

“Apa pedulimu? Toh, itu semua tidak ada sangkut pautnya denganmu,” protes Lissa yang sama sekali tidak ditanggapi oleh pria yang kini kembali sibuk dengan bukunya.

Saat akan mengangkat tangannya, ia baru sadar akan ucapan Flyn yang memanggil Stevani dengan nama ‘Gabi’.

‘Ia memanggilnya... Gabi? Benarkah? Ah, mungkin telingaku sedang sedikit bermasalah. Mana mungkin orang asing berani memanggilnya ‘Gabi’? Hah, membuatku kaget saja.’

“Ya, kau, Nona Weber. Silahkan maju dan tunjukkan kemampuanmu memainkan tuts-tuts piano.”

“Gabi? Sialan kau Flyn!” umpat Lissa dalam hati.

Fur Elise. Itulah yang Stevani mainkan saat ini. Jari-jari kecilnya terlihat sangat lincah menekan tuts-tuts piano yang sudah tidak asing baginya karena ayahnya adalah seorang pianis ternama. Tempo Fur Elise yang terkesan sulit ternyata tidak mengganggu Stevani sama sekali. Ia tampak menikmati setiap nada yang ia mainkan. Fur Elise memang tergolong sulit bagi beberapa orang, termasuk Lissa. Tapi bagi Stevani semua yang berhubungan dengan piano bukanlah suatu masalah. Telinganya yang sangat peka terhadap setiap nada membuatnya mudah dalam memainkan piano. Hanya piano. Tidak termasuk alat musik lain. Dan parahnya, ia sama sekali tidak bisa menggunakan alat musik apapun selain piano.

Sudah tiga menit berlalu dan alunan musik Fur Elise berhenti. Tapi tidak seorang pun bersorak ataupun bertepuk tangan seperti saat Justin selesai membawakan musik instrumental.

‘Sebenarnya apa yang terjadi? Apa aku berbuat kesalahan? Apa permainanku barusan sangat buruk?’ pikir Stevani yang sudah merasa sangat canggung berada di depan dan dilihat seluruh pasang mata.

Dengan sedikit kecewa, akhirnya ia memutuskan untuk kembali menuju bangkunya. Tapi langkahnya segera di halangi oleh Mrs.Paul yang sudah berdiri di hadapannya.

“Mau kemana kau, Nona Weber?” tanyanya tajam membuat Stevani bergidik ngeri.

“A..aku akan kembali ke tempat dudukku, Mrs.Paul. Aku sudah selesai dan sepertinya aku gagal dalam test ini. Maaf,” jawab Stevani sambil menunduk. Ia tidak berani menatap Mrs.Paul yang saat ini tengah menatapnya tajam.

“Siapa yang mengatakanmu gagal, nona? Adakah diantara kalian ada yang mengatakan kalau ia gagal dalam test ini?” tanya Mrs.Paul pada seisi kelas.

Mereka yang sedari tadi diam hanya menggeleng pelan. Dan itu semakin membuat Stevani serba salah.

“Besok, empat hari setelah natal, akan ada festival di Kyoto Garden. Kita diminta untuk mengirimkan beberapa orang yang berbakat dalam bermusik. Dan orang pertama yang ku pilih adalah kau, Nona Weber. Kau harus menghadiri acara festival itu atau ayahmu akan ku beritahu soal  kemampuanmu dalam memainkan alat musik. Jadi kau tidak punya alasan untuk menolak, Nona Weber,” jelas Mrs.Paul diikuti tatapan tak percaya dari Stevani.

“Sungguh? Aku.. aku menghadiri acara besar itu? Kau pasti bercanda!”  ucap Stevani setengah tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Alasan apa yang membuatku harus berbohong, Nona Weber? Permainanmu tadi sangat hebat, sama seperti ayahmu. Jadi kupikir memilihmu untuk mengisi acara itu bukanlah sebuah kesalahan. Bagaimana menurutmu?”

“Oh God! Jadi kau serius? Haha.. aku sangat menginginkan hal itu, Mrs.Paul. Itu adalah mimpiku sejak kecil! Terimakasih Mrs.Paul. Aku berhutang padamu.”

“Sekarang kembalilah ke tempat dudukmu. Berikan kesempatan untuk Lissa yang sepertinya sudah tidak tahan untuk menunjukkan kemampuannya.”

Stevani mengangguk lalu berjalan menuju tempat duduknya dengan wajah cerianya. Ia sama sekali tidak menyangka akan mengisi acara yang selama ini menjadi impiannya. Bukankah itu hal bagus? Ia bisa menunjukkan pada ayahnya bahwa putri bungsunya tidak kalah dengan kedua kakaknya walaupun ia tahu hal itu tidak akan merubah apa-apa, termasuk rencana ‘terkutuk’ ayahnya.

***

Setelah kelas usai, Lissa segera mengejar Stevani yang sudah keluar kelas lebih dulu tanpa menunggunya. Lissa merasa harus bertemu dengan Stevani untuk menanyakan suatu hal yang dianggapnya sangat penting.

“Gabi! Tunggu aku!” teriak Lissa saa melihat Gabi tengah menuruni tangga.

“Bisakah kau menungguku? Aku hampir mati karena jantungku berdetak sangat cepat akibat berusaha mengejarmu. Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padamu, Gabi,” ucap Lissa terengah-engah.

“Apa yang kalian bicarakan tadi? Terlihat sangat mesra sekali!” sahut Stevani ketus.

“Kalian? Maksudmu Flyn? Astaga, Gabi! Kau cemburu? Jadi alasan mengapa kau tidak menungguku adalah karena kau marah? Astaga! Kau itu kekanak-kanakan sekali. Seharusnya yang cemburu itu aku bukan kau, Gabi. Hah.. ia tadi hanya bertanya apakah aku menyukai Justin dan itupun berakhir dengan kemarahanku karena mulutnya sama sekali tidak mempunyai sopan santun. Jadi apa kau masih cemburu?”

“Kau yakin dengan ucapanmu? Tidak berbohong?” tanya Stevani menyelidik yang membuat Lissa memutar bola matanya malas.

“Terserah kau percaya atau tidak, yang jelas aku bukan pembohong sepertimu, Nona Weber.”

“Baiklah. Lalu apa yang ingin kau tanyakan tadi?”

“Tentang mimpimu sejak kecil. Bukankah mimpimu adalah menjadi dokter? Tapi mengapa tadi kau mengatakan bermain piano di Kyoto Garden adalah mimpi kecilmu?”

“Kau itu selalu saja ingin tahu! Dulu saat aku masih kecil, aku sangat mengagumi ayah. Sampai-sampai aku bermimpi akan menjadi penerus ayah suatu saat nanti. Tapi seiring berjalannya waktu, ayah menjadi otoriter dan terus memaksaku untuk menjadi pianis sama sepertinya. Aku yang waktu itu sudah tertarik dengan dunia kedokteran mendadak menjadi benci dengan dunia musik saat mendengar keputusan sepihak ayah. Dan sejak itulah, aku sama sekali tidak tertarik dengan musik. Tapi semenjak kedatangan Flyn, tiba-tiba saja keinginanku untuk bermusik muncul kembali. Dan puncaknya adalah aku akan mengisi acara besar di festival Kyoto Garden! Hebat bukan?”

Lissa menghembuskan napas sebal karena ocehan Stevani yang terdengar seperti segerombolan lebah di telinganya. Terlebih ocehannya tadi hanya berujung pada seorang pria yang tidak disukainya, Flyn.

“Kau bisa sebahagia ini setelah kau marah dan cemburu padaku? Aku tidak peduli apa kau akan kembali bermusik atau apapun tentang Flyn, yang kupedulikan adalah jangan dekati Justin lagi. Apa kau mengerti?”

Stevani diam. Ia sama sekali tidak menggubris ucapan Lissa yang mungkin kalau ia mendengarnya akan berakhir dengan perdebatan. Sayangnya, hal itu tidak akan terjadi karena Stevani tengah memperhatikan sosok pria yang ingin ia jadikan teman barunya. Lebih tepatnya teman dekat.

“Lissa, mungkin aku akan sedikit lama. Kau pulanglah duluan. Bye!” ujarnya seraya berlari mendekati Flyn.

“Jadi sekarang kau lebih mementingkan Flyn daripada aku? Baiklah, aku akan menunggumu dan melihat hasil apa yang kau dapat dari aksi gilamu itu. Kalau saja si Autis itu sampai membuatmu menangis, lihat saja, aku tidak akan tinggal diam,” gumam Lissa saat melihat wajah Flyn yang selalu tanpa ekspresi dan sekaligus terlihat sangat memuakkan di mata Lissa.

“Flyn!” panggil sebuah suara yang selama ini selalu ia hindari.

“Hai. Uumm.. permainan pianomu tadi sangat hebat. Mungkin kau bisa menjadi komposer terkenal besok. Dan aku sudah tidak sabar menunggu waktu itu,” kata Stevani dengan menahan segala kegugupannya.

“Kau ingin pamer karena kau terpilih untuk mengisi acara itu, begitu? Kudengar ayahmu yang sangat kaya itu menanamkan sahamnya disini, jadi bisa saja itu tidak murni karena kehebatanmu bermain piano. Aku juga tidak butuh sanjunganmu. Apa aku pernah meminta pujianmu? Sekalipun tidak pernah! Dan aku tidak butuh saran apapun darimu! Apapun yang akan kulakukan sama sekali bukan urusanmu! Jangan pernah dekati aku lagi, karena aku sudah muak setiap hari harus melihatmu!”

Setelah mengucapkan beberapa kalimat yang sukses membuat shock Stevani, pria itu pergi tanpa berkata sepatah katapun. Sedangkan Stevani masih mematung di tempatnya dengan berurai air mata. Gadis itu terlalu sakit mendengar kata-kata Flyn yang lebih mirip seperti pisau tajam. Hatinya terlalu perih hingga ia tidak mampu berkata apapun. Semua harapannya selama ini sudah hancur hanya dalam waktu beberapa detik tanpa bisa ia cegah. Ia mengepalkan tangannya, berusaha mengumpulkan kekuatannya agar ia bisa menghentikan tangisnya. Tapi semua itu percuma karena semakin keras ia berusaha menghentikannya maka semakin keras isakan tangisnya.

Lissa yang berada tidak jauh dari Stevani, segera menghampirinya setelah melihat Flyn pergi. Dan saat Lissa mengetahui sahabatnya kini tengah menangis, emosinya tiba-tiba saja sudah berkobar seperti api yang terkena angin. Lissa sudah berjanji tidak akan tinggal diam jika mengetahuinya sahabatnya menangis akibat ulah manusia autis itu. Berhubung manusia autis itu sudah pergi, ia tidak bisa melakukan apa-apa terhadap pria itu. ‘Mungkin pembalasanku bisa menunggu sampai besok.’

Stevani yang sadar jika Lissa sudah ada di depannya segera berhambur ke dalam pelukannya dan melepaskan suara isakan tangis yang sedari tadi ia tahan. Lissa membelai lembut gadis itu, berusaha memberi ketenangan pada sahabatnya. Hatinya berdesir melihat sahabatnya yang sudah dianggapnya saudara itu menangis karena seseorang untuk kedua kalinya. Sebenarnya sudah sejak awal Lissa melarang Stevani untuk mendekati manusia autis itu, tapi Stevani tetap saja keras kepala. Meskipun Stevani memiliki paras yang sangat cantik tapi di mata Flyn ia tidak lebih dari seorang gadis biasa lainnya dan itu sama sekali tidak mengundang perhatian Flyn. Itulah yang Lissa pikirkan terhadap Stevani di mata Flyn.

Setelah cukup lama membiarkan Stevani menangis dalam pelukannya, akhirnya Stevani bisa menghentikan tangisnya meskipun isakan-isakan tangisnya masih terdengar sesekali dari bibir tipisnya.

“Sekarang kita pulang, Ny.Weber mungkin sudah menunggumu di rumah. Ayo,” ajak Lissa yang dibalas anggukan kecil Stevani.

“Ini semua salahku. Seharusnya dari awal aku melarangmu untuk berharap lebih padanya. Tapi aku salah, semuanya sudah terjadi. Mungkin kau harus bisa menerima ‘cintanya’ mulai dari sekarang sebelum masalah ini semakin rumit. Ini demi kebaikanmu, Gabi. Aku hanya tidak ingin melihatmu menangis atau hal buruk lainnya menimpamu.”

***

Pagi-pagi sekali, Lissa sudah bersiap-siap akan berangkat untuk suatu alasan. Ia tidak bisa tidur semalaman karena terus memikirkan pembalasan yang pantas untuk manusia autis itu. Hingga sebuah ide melintas di otaknya untuk membalas ucapan keji Flyn kemarin.

Lissa menepikan mobil Ferrarinya dan berjalan cepat menuju perpustakaan. Ia tahu, setiap pagi manusia autis itu selalu berada di perpustakaan demi mencari ketenangan tanpa ada seorangpun yang mengganggunya. Dengan kasar, Lissa membuka pintu perpustakaan dan mengedarkan pandangannya pada seluruh ruangan. Setelah beberapa detik ia mencari, akhirnya sorot matanya tertuju pada satu titik, tepat di ujung ruangan dekat dengan jendela.

Tanpa membuang banyak waktu, ia berjalan menghampiri seseorang yang sudah ia incar sejak kemarin. Lissa menghentikan langkahnya tepat di depan Flyn. Pria yang menyadari akan kehadiran orang lain, mendongak dan tersenyum miring saat mengetahui siapa yang ada dihadapannya.

“Mencari Justin?” Itulah kata pertama yang berhasil menaikkan emosi Lissa.

“Kau! Flyn Williams! Kau kira kau itu siapa? Hah?! Beraninya kau berkata tidak sopan dan membuat Gabi menangis! Asal kau tahu, hanya sebuah keberuntungan kau bisa meneruskan pendidikanmu disini. Hanya sebuah keberuntungan! Ingat itu! Jika tidak karena beasiswamu itu, kau bukan apa-apa dibanding Stevani yang merupakan putri keluarga Weber. Oh ya, satu lagi. Jangan pernah sekali-sekali kau mendekati Gabi dan membawa nama keluarga Weber di depan siapapun. Karena itu tidak pantas untuk kau ucapkan mengingat kau hanya orang kecil disini. Kuharap kau bisa mengerti ucapanku dan merubah sikapmu itu! Aku permisi!” Lissa melenggang pergi dengan perasaan lega. Ia sudah sangat puas bisa membalas ucapan Flyn yang tak kalah kejam dengan ucapannya tadi. Mungkin apa yang ia katakan barusan memang terlampau batas, tapi toh itu semuanya Flyn yang memancingnya untuk mengeluarkan umpatan-umpatan kejamnya.

Dan Flyn? Pria itu tercengang dengan apa yang ia dengar barusan. Ia sama sekali tidak menyangka gadis itu berani mengatainya hingga sekejam itu. Tangannya meremas lembaran buku tengah ia baca. Hinaan yang keluar dari mulut gadis itu benar-benar membuat Flyn mencapai puncak emosinya. Rasanya ingin segera meledak tapi ia masih ingat bahwa dirinya sedang ada di perpustakaan. Tidak mungkin baginya untuk berteriak di tempat yang melarangnya bersuara. Hanya orang bodohlah yang berbicara dengan sangat keras di perpustakaan hingga membuat semua yang ada di sana menatapnya heran, yaitu Lissa.

Pria itu lantas memasukkan buku-bukunya kedalam tasnya dan berlalu meninggalkan beberapa orang yang sedari tadi masih menatapnya. Pria itu terlalu kesal hingga ia tidak bisa mengendarai sepedanya dengan baik. Terbukti sudah beberapa kali ia hampir menabrak lampu jalan yang memang ada di sepanjang jalan Kensington. Dadanya bergemuruh sangat hebat. Terselip perasaan bersalah dihatinya yang entah mengapa muncul saat Lissa datang dan memarahinya habis-habisan. 

Dengan sangat tiba-tiba ia mengubah arah sepedanya yang kini melaju menuju Kensington Garden untuk menenangkan dirinya. Sesampainya di Kensington Garden, ia meninggalkan sepedanya di pinggir lapangan dan berjalan mencari tempat yang mungkin bisa membuatnya merasa tenang. Ia duduk dibawah pohong rindang dan menyandarkan punggungnya pada pohon besar itu. Sejak kepindahannya ke Kensington, ia selalu sendiri. Orang tuanya tidak bisa ikut karena memang masalah keuangan yang mendera keluarga Flyn. Sedangkan penduduk Kensington selalu membuang-buang uangnya hanya untuk bersenang-senang dan itu sukses membuatnya marah. Tidak bisakah mereka menyisihkan sebagian dari uangnya untuk orang yang tidak mampu? Seegois itukah orang-orang kaya? Masihkah diantara orang-orang kaya yang selalu membuang uangnya memiliki kepedulian terhadap orang lain?

Terlintas dalam pikirannya bahwa ada satu orang yang peduli padanya. Bahkan sangat peduli. Tapi itu sudah berakhir sejak kata-katanya menghancurkan semuanya. Stevani. Ia adalah satu-satunya orang yang peduli terhadap Flyn namun seakan tidak tahu terima kasih Flyn malah melukainya. Membuatnya menangis hanya dalam hitungan detik. Perasaan itu, perasaan bersalah yang ia rasakan tadi muncul kembali saat ia teringat Stevani. ‘Haruskah aku meminta maaf kepadanya? Tapi apa ia akan memaafkanku mengingat ucapanku yang sangat kejam waktu itu?’

Ia memijat keningnya yang terasa sangat pusing karena berbagai masalah yang berkecamuk dipikirannya. Ia telah berbuat kesalahan dan mungkin itu akan sulit ia perbaiki. Ia telah melanggar janjinya. Ia telah merusak rencana yang ia buat selama ini. Ia telah menghancurkannya. Dan mungkin ia harus merubah rencananya mulai dari sekarang dan melupakan apa yang selama ini ia inginkan. Ia menyerah. Bendera putih sudah terkibar jelas di tangannya. Ia sudah tidak bisa memungkiri perasaanya lagi seperti kemarin. Sekeras apapun ia mencobanya, ia tidak akan mampu mengelak dari kenyataan bahwa ia telah jatuh ke dalam perangkap gadis itu. Perasaan terkutuk itu kini telah menguasai dirinya tanpa bisa ia cegah lagi. Semua sudah terjadi seiring berjalannya sang waktu yang akan terus melangkah maju tanpa mau berhenti sekedar untuk memberikan sedikit waktu pada manusia yang ingin kembali mundur dan memperbaiki kesalahannya. Ini sudah menjadi takdir Tuhan dan tidak ada satupun yang bisa merubahnya. Hanya hari esoklah yang Ia berikan pada makhluk ciptaannya untuk memperbaiki kesalahan di masa lalunya. Tidakkah Tuhan sangatlah baik? Memberikan suatu pelajaran pada makhluknya yang ia ciptakan dengan begitu sempurna supaya tidak melakukan suatu hal yang buruk agar mereka tidak menyesal dikemudian hari. Itulah mengapa Tuhan tidak pernah memutar balikkan waktu sedetikpun. Ia menginginkan hambanya selalu melihat ke depan bukan menoleh kebelakang yang sampai kapan pun mereka tidak akan pernah bisa kembali mengulanginya. Sekalipun tidak akan pernah bisa.

***

“Hey, ada apa denganmu? Wajahmu terlihat bahagia sekali. Apa terjadi sesuatu diantara kalian?” tanya Stevani seraya menyenggol bahu Lissa.
               
                “Maksudmu?” Lissa bingung dengan maksud ucapan Stevani yang tidak bisa ia mengerti.

“Kau dan Justin. Apa terjadi sesuatu? Seperti kencan, mungkin?”

“What? Seandainya itu benar, maka aku akan berteriak lantang di atas menara sana. Tapi, apa kulakukan itu sekarang?”

“Lalu apa? “

“Mr.Hery sudah datang. Lebih baik fokuskan perhatianmu kedepan, jangan padaku. Good luck!”

“Good luck? Memangnya akan ada apa? Test? Tidak mungkin! Jika ada test teori pasti tanpa diminta pun ia akan menjawabnya dengan.... tunggu! Dimana ia? Tidak masuk? Tapi kenapa? Setahuku kemarin ia baik-baik saja. Apa ia sakit?” gumam Stevani saat melihat bangku yang biasa dihuni oleh Flyn kosong.

Seperti seorang detective yang sangat cerdas menghubungkan kasus  demi kasus, begitu pun dengan Stevani yang mulai mengaitkan hubungan antara Flyn yang mendadak hilang dengan Lissa yang terus-terusan menunjukkan senyumnya. Aneh memang jika melihat Lissa terus-terusan menunjukkan senyumnya padahal biasanya ia hanya tersenyum bila Stevani menggodanya. Tapi sekarang? Tanpa Stevani goda pun Lissa sudah dapat tersenyum dengan sendirinya. Ditambah lagi, Flyn yang selama ini selalu rajin mengikuti kelas mendadak menghilang.

“Sebelum kita memulai materi baru, aku ingin memberikan kuis untuk kalian yang berhadiah menggiurkan. Apa kalian tertarik? Kuis ini sangat mudah, aku yakin kalian semua pasti berebut untuk menjawabnya,” ucap Mr.Hery seraya menunjukkan sebuah amplop.

“Memangnya apa isi amplop itu, Mr.Hery?” tanya salah satu teman Stevani yang sepertinya sangat terobsesi untuk memenangkan kuis bodoh itu.

“Rahasia! Kalian akan mengetahuinya kalau kalian memenangkannya. Bagaimana?”

“Sudah bacakan saja kuisnya, tidak usah membuang waktu,” usul Stevani yang tiba-tiba semangatnya hilang begitu saja setelah mengetahui Flyn tidak masuk.

“Sebutkan minimal limabelas karya Beethoven yang kalian tahu serta sejarah singkat mengenai Beethoven. Jadi siapa yang ingin menjawabnya?” tanya Mr.Hery yang diikuti desahan pelan seisi kelas. Mudah? Apanya yang mudah? Mungkin bagi Mr.Hery itu memang mudah tapi untuk murid-murid itu sama sekali tidak mudah, meskipun ada satu yang mengetahuinya.

“Tidak ada yang bisa menjawabnya? Oh Tuhan, ini adalah pertanyaan mudah bagaimana bisa kalian sebagai calom musisi tidak mengetahuinya?”

“Berhubung Flyn tidak ada, maka aku memintamu untuk menjawabnya, Nona Weber. Aku tahu kau hanya malas, tapi sebenarnya kau mengetahuinya, bukan?” tunjuk Mr.Hery pada Stevani. Ya, hanya gadis itu yang mengetahuinya. Bukankah ia memang lebih suka teori daripada praktek?

“Baiklah. Ludwig van Beethoven adalah putra dari Johann van Beethoven yang bekerja sebagai penyanyi tenor dan ibunya Maria Magdalena Keverich. Beethoven dibaptis pada tanggal 17 Desember 1770 di Bonn, Jerman dan meninggal pada tanggal 26 Maret 1827. Ia dipandang sebagai salah satu komponis yang terbesar dan merupakan tokoh penting dalam masa peralihan antara Zaman Klasik dan Zaman Romantik. Semasa muda, ia adalah pianis yang berbakat, populer di antara orang-orang penting dan kaya di Wina, Austria, tempat ia tinggal. Namun, pada tahun 1801 ia mulai menjadi tuli. Ketuliannya semakin parah dan pada 1817 ia menjadi tuli sepenuhnya. Meskipun ia tuli, tapi Beethoven tetap menciptakan musik hingga ratusan. Dulu ayahnya memaksa Beethoven untuk latihan piano berjam-jam karena menginginkan anaknya menjadi ‘anak ajaib’ seperti Mozart. Beethoven mengadakan konser pertamanya pada tanggal 26 Maret 1778 tapi kepandaiannya tidak setara dengan Mozart pada usia yang sama. Dan hasil karya-karyanya yang paling terkenal adalah simfoni kelima dan simfoni kesembilan, dan juga lagu piano Fur Elise. Karya lainnya adalah Sonata in C Minor ‘Pathetique’, Op. 13, Piano Concerto in Eb Major, Op. 37, Violin Sonata Op. 47, Piano Sonata in C Major ‘Waldstein’, Op. 53, Piano Sonata in F Major, Op. 54, Piano Sonata in F Minor ‘Appasionata’, Op. 57, Symphony No.6 in F Major, Op. 68, Concerto Piano No.4, Fantasien, Op. 80, Piano Concerto No.5 in B Flat Major ‘Emperor’, Op. 73, String Quartet in E Flat Major, Op. 74, Piano Sonata in Eb ‘Les adieux’, Op. 81a, Symphony No.7 in A Major, Op. 92.”

“Bravo! Beri tepuk tangan yang meriah untuk Stevani! Ini, aku berikan hadiahnya. Selamat bersenang-senang!” ucap Mr.Hery seraya menyerahkan amplop pada Stevani.

“Apa isinya? Cepat buka! Aku sangat penasaran,” ujar Lissa tepat di telinga Stevani.

“Moron! Bisakah tidak berteriak di telinga orang lain?!” bentak Stevani sambil menutup telinganya dengan tangan kirinya.

“Hehe.. maaf. Aku hanya terlalu semangat saja. Jadi apa isi amplop itu? Voucher?”

“Well, isinya adalah undangan. Lebih tepatnya adalah undangan untuk mengikuti festival di Kyoto Garden. Aku sudah mendapat undangan resmi dari Mrs.Paul, jadi aku tidak membutuhkan ini. Kau mau Lissa?”

“Kau bercanda, Gabi. Aku belum terbiasa tampil di depan umum jadi aku tidak bisa. Tapi, aku akan menontonmu besok, tenang saja.”

“Baiklah kalau begitu, aku akan menyimpannya. Siapa tahu aku membutuhkannya nanti. Ya sudah, aku ingin ke kantin. Kau mau ikut?”

“Tentu saja. Cacing-cacing di perutku sudah mulai memberontak sejak tadi.”

***

Kantin Royal College of Music sangatlah luas dengan nuansa elegan. Bagaimana tidak? Hampir seluruh penghuninya adalah orang-orang dari kalangan atas. Ditambah para investor yang dengan baik hati mau menanamkan sahamnya disini. Ada tiga investor yang berasal dari kalangan elit, yaitu Tn.Weber, Tn.Robinson, dan Ny.Schullter. Mereka adalah keluarga besar yang sangat disegani dimanapun mereka berada. Nama Weber di dunia musik sudah tidak asing lagi. Tn.Weber dan Ny.Weber sudah mengunjungi hampir seluruh negara yang ada di belahan dunia. Sedangkan keluarga Robinson adalah pemilik perusahaan sepatu Robinson. Perusahaannya sudah menyebar di setiap kota, bahkan negara. Dan keluarga Schullter adalah keluarga super model internasional. Bakatnya dalam berpose di depan kamera sudah tidak diragukan lagi.

Ketiga keluarga besar itu sudah berteman dekat sejak kecil hingga pengkhianatan Ny.Schullter merusak segalanya. Ia berusaha mengadu domba Tn.Weber dan Tn.Robinson agar mereka tidak saling percaya satu sama lain yang pada akhirnya sahamnya akan di berikan kepada Ny.Schullter, satu-satunya orang yang dipercaya. Permusuhan antara keluarga Weber dan keluarga Robinson berlangsung sekitar dua belas tahun hingga mereka menyadari bahwa keluarga Schullterlah dalang di balik masalah ini. Semenjak itu, keluarga Weber dan keluarga Robinson memutuskan untuk kembali menjalin hubungan baik yang memicu munculnya ‘rencana’ terkutuk bagi Stevani. Berawal dari situlah, Stevani sangat membenci keluarga Schullter, karena ulahnya telah mengakibatkan Stevani terlibat dalam masalah kedua keluarga besar itu.

“Kau sedang memikirkan rencana bodoh ayahmu itu?” tanya Lissa yang menyadarkan lamunan Stevani.

“Jadi kau bisa menebaknya?”

“Bukan menebak, tapi terlihat jelas dari steak mu yang sudah terpotong-potong hingga terlihat hancur. Ini sudah hampir natal, apa ayahmu tidak bisa memberi kebahagiaan sedikit saja kepadamu? Apa artinya natal kalau ayahmu saja tidak peduli terhadap anaknya?”

“Mungkin inilah yang dianggap ayah terbaik. Memperbaiki sebuah hubungan yang dulunya sangat dekat adalah hal penting baginya. Lebih penting dari putrinya sendiri. Impianku untuk menjadi dokter tidak akan pernah dapat ku raih selama ayah masih menganggap musik adalah yang bagian dari hidup. Dan masalah hati? Ayah sama sekali tidak peduli. Selama aku terlihat sehat, anggota tubuhku masih lengkap, selama itulah ayah menganggapku baik-baik saja. Dan soal Flyn, apa ada hubungannya denganmu? Kau bahagia dihari Flyn tidak masuk,” ujar Stevani yang sukses membuat Lissa tersedak.

“Hm, Gabi, apa yang kau bicarakan? Kita sedang membicarakan rencana ayahmu, kau tahu itu?”

“Dan aku sedang membicarakan Flyn. Apa itu mengganggumu?” sahut Stevani memojokkan Lissa.

“Kau tahu kan, aku membencinya, jadi–“

“Justru kau membencinya, makanya aku bertanya padamu. Jadi benar kalau tidak masuknya Flyn ada hubungannya denganmu?”

“Kau konyol, Gabi! Konyol sekali! Sudahlah, aku mau ke toilet dulu. Kau lanjutkan saja makanmu,” ucap Lissa seraya berjalan menjauhi Stevani. Ia benar-benar takut kalau Stevani sampai mengetahui kebenarannya. Harusnya ia berpikir ulang sebelum ia mengatakannya. Tapi semua sudah terlambat, sekeras apapun ia mencoba, kata-kata kejamnya tidak akan bisa ia tarik kembali.

***

Sudah seminggu berlalu, semenjak Flyn tidak muncul lagi di kelas. Sedangkan hubungan antara Lissa dan Stevani semakin renggang. Sebenarnya bukan ini yang Stevani inginkan, tapi sejak Stevani bertanya pada Lissa soal Flyn, ia menjadi menjauhi Stevani seolah apa yang Stevani pikirkan benar.

Saat jam istirahat, Stevani memilih perpustakaan sebagai tempat untuk menenangkan diri. Selain itu, ia merindukan Flyn. Sangat merindukannya. ‘Apa yang terjadi pada pria itu hingga ia tidak masuk?’ Itulah yang mengganggu pikiran Stevani akhir-akhir ini. Dan hanya tempat inilah yang bisa membuat Stevani merasa dekat dengan Flyn. Ia duduk di kursi yang biasa Flyn tempat. Pemandangan yang bisa dilihat juga tidak buruk. Dari situ, Stevani bisa melihat bangku taman yang biasa Stevani dan Lissa pakai untuk bersantai.

Gadis cantik itu tersenyum getir saat peristiwa itu kembali berputar di otaknya. Meskipun Flyn sudah jelas-jelas mengacuhkannya tapi gadis itu sama sekali tidak bisa membencinya sedikitpun. Biasanya, jika ada yang membicarakan ayahnya, ia tidak akan sungkan memarahinya habis-habisan meskipun ia sendiri juga membenci ayahnya. Sedangkan saat Flyn mengatakannya, ia hanya diam. Malah ia sempat membetulkan ucapan Flyn mengenai ayahnya. Apakah ia benar-benar mencintai Flyn? Tapi bagaimana jika cintanya terhadap Flyn adalah sebuah kesalahan? Untuk kesekian kalinya, Stevani menghembuskan nafasnya gusar. Ia ingin sekali terbebas dari masalah ini atau setidaknya mengurangi beban yang ia bawa selama ini. Biasanya ia akan mengatakannya pada Lissa, namun sekarang sahabatnya kini telah menjauh dari jangkauannya. Dengan siapa ia akan mengeluarkan keluh kesahnya? Rasanya sangat menyakitkan bila harus menanggung semuanya seorang diri.

Tiba-tiba saja, tanpa persetujuan Stevani, seorang gadis sudah duduk di depannya. Stevani mengernyit heran, tidak biasa gadis itu ada di dekatnya. Tapi sekarang tanpa ia minta, gadis itu sudah duduk di depannya dan menunjukkan wajah sumringahnya. Ada apa ini?

“Kau, ada perlu apa denganku?” tanya Stevani datar. Tidak ada emosi yang terpancar dari nada maupun wajah Stevani. Ia memang termasuk orang yang mudah menyembunyikan emosinya. Tapi, entah mengapa, bila berhadapan dengan Liona, Stevani tidak bisa menyembunyikan emosinya sama sekali. Apakah itu gunanya saudara? Dapat mengerti apa yang sedang dirasakan saudaranya tanpa berbicara. Cukup dengan melihat manik matanya, itu sudah menjawab semuanya.

“Aku ingin mengatakan sebuah kebenaran padamu. Mengenai Lissa, sahabatmu,” kata gadis itu lembut.

Stevani menaikkan alis kanannya tanda ia tak mengerti apa maksud pembicaraan ini.

“Apa yang ingin kau bicarakan?”

“Sahabatmu, Lissa, sudah berbohong padamu. Kecurigaanmu selama ini adalah benar. Flyn menghilang disaat Lissa memarahinya, lebih tepatnya menghina. Ia menghina Flyn tentang latar keluarganya dan ketidak pantasannya berada disini. Menurutku ucapan Lissa waktu itu tidak bisa dimaafkan hingga membuat Flyn merasa dipermalukan sampai-sampai ia tidak masuk selama seminggu. Dan mungkin–“

“Untuk apa kau memberitahuku? Apa tujuanmu sebenarnya?” tanya Stevani yang sukses membuat Clara tersentak kaget. Gadis itu sama sekali tidak menyangka jika Stevani bisa menebak bahwa ada rencana dibalik sikap baiknya.

“Ti..tidak ada. Aku hanya ingin memberitahumu, itu saja. Aku tidak memiliki tujuan apapun selain itu,” jawab Clara dengan menahan kegugupannya.

“Kau ingin membohongi orang yang hobi berbohong, hm?” ucap Stevani seraya bangkit dari kursi coklat itu lalu berjalan meninggalkan Clara yang masih membeku. Baru beberapa langkah, Stevani berhenti tepat di belakang Clara.

“Ah, aku hampir saja lupa. Sebelumnya, terimakasih kau sudah mau menceritakannya padaku, Clara atau mungkin perlu ku panggil fans girl Justin?”

Senyum tipis berhasil Stevani ciptakan setelah ia menyadari bahwa rencana Clara sebenarnya adalah untuk merusak nama baik Lissa sehingga Justin tidak akan mendekatinya. Sungguh cara yang amat licik!

Namun senyum itu harus hilang saat ucapan Clara kembali terngiang di telinganya. Hinaan itu tidak seharusnya keluar dari bibir siapapun. Ia menyesalkan perbuatan bodoh Lissa yang berujung pada permusuhan. Tanpa pikir panjang, Stevani segera menarik pergelangan tangan Lissa yang kebetulan ia juga ada di perpustakaan dan berjalan menjauh dari keramaian. Ia ingin menanyakan langsung pada Lissa, karena ia takut kalau saja Clara hanya mengadu domba mereka berdua, seperti yang di lakukan keluarga Schullter pada keluarganya.

“Gabi! Lepaskan! Apa-apaan kau menarikku seperti ini?” seru Lissa saat Stevani menariknya keluar perpustaan. Stevani terus saja menarik Lissa seolah telinganya tidak mendengar teriakan Lissa yang merasa sakit pada pergelangan tangannya. Akhirnya Stevani melepaskan cengkaramannya saat sampai di taman belakang.

“Apa yang kau lakukan pada Flyn? Apa benar kau menghinanya?”

Jantung Lissa nyaris berhenti berdetak saat pertanyaan yang mengerikan itu akhirnya meluncur dari bibir Stevani. Ia tidak tahu jawaban apa yang paling tepat agar sahabatnya itu tidak marah. Bibirnya terkatup rapat seperti ada lem yang merekatkannya.

“Sepertinya memang benar berita itu. Aku kecewa padamu, Lissa. Aku tidak menyangka kau akan sebodoh ini! Flyn sudah membenciku, dan berkat ucapan bodohmu itu mungkin ia akan semakin membenciku! Apa kau tidak pernah berpikir apa dampak dari ucapanmu itu, Lissa?! Apa kau tahu? Aku merindukannya. Sangat merindukannya, Lissa. Bagaimana bisa kau setega itu padaku?! Mungkin lebih baik kita tidak usah berbicara dulu untuk beberapa hari ke depan. Dan kuharap kau tidak akan mengulanginya lagi. Sekarang masuklah, sebentar lagi kelas akan dimulai,” ucap Stevani yang kini sudah meninggalkan Lissa tanpa menghiraukan sahabatnya yang tengah menangis dalam diam.

***

Saat ini, gadis itu sengaja tidak mengikuti kelas dan lebih memilih berjalan-jalan menyusuri koridor-koridor gedung untuk sekedar menghilangkan segala penat yang menyanderanya akhir-akhir ini. Sayup-sayup Stevani mendengar dentingan piano dari salah satu ruang. Stevani segera menghampiri asal suara itu dan tak ingin kehilangan jejaknya untuk kedua kalinya. Pelan-pelan Stevani membuka pintu dan mengintip siapa yang ada di dalam. Tanpa ia duga, ternyata orang yang tengah memainkan Grand Piano itu adalah pria yang ia rindukan akhir-akhir ini. Setelah cukup lama ia berdiri di ambang pintu, akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam lalu menyandarkan tubuhnya di dinding putih tak jauh dari pintu. Ia memejamkan matanya, menikmati setiap denting piano yang dimainkan dengan penuh perasaan. Rangkaian nada itu seakan mampu membuat segala resah di hatinya hilang begitu saja.

“Berkeliaran di saat kelas sudah di mulai?” ucapnya seraya menghentikan permainan pianonya. Satu kalimat itu sukses mengejutkan Stevani yang kini sudah membuka lebar matanya. Ia membernarkan posisi berdirinya lalu berjalan satu langkah ke depan.

“Kau juga. Mengapa kau tiba-tiba menghilang? Seminggu, bukanlah waktu yang singkat. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Apa kau tahu itu?!” bentak Stevani dengan suara yang bergetar karena berusaha menahan air matanya yang tiba-tiba mendesak                                          ingin keluar.

“Apa itu termasuk urusanmu? Sudah kubilang, ’bukan? Urusi saja urusanmu, tidak usah repot-repot mengkhawatirkanku. Selama kau baik-baik saja, aku juga akan baik-baik saja.” Seakan baru sadar apa yang telah diucapkannya adalah sebuah kesalahan, ia segera bangkit dan berjalan menghampiri Setevani, mensejajarkan tubuh mereka.

“Tadi aku sempat bertemu dengan sahabatmu dan ia mengakui kesalahnnya. Apa kau tahu apa yang aku lakukan? Aku sudah memaafkannya. Jadi kupikir tidak baik bermusuhan terlalu lama mengingat kalian adalah teman sejak kecil. Jaga dirimu baik-baik. Aku pergi.” Flyn lalu melangkah pergi meninggalkan Stevani yang mati-matian menahan isak tangisnya.

Selangkah demi selangkah Stevani mendekati Grand Piano yang sebelumnya dimainkan oleh Flyn. Ia duduk di bangku panjang itu dan mulai menekan tuts-tuts piano yang sudah tak asing lagi baginya. Dengan keahlian jari-jarinya, ia bisa menghasilkan sebuah alunan musik yang sangat ia rindukan. Amazing Grace. Entah mengapa ia masih mengingat peristiwa di Holland Park musim semi lalu. Disaat ia membutuhkan ketenangan dengan sendirinya ia akan merindukan Mr.Flute-nya. Ia berharap Mr.Flute ada disampingnya dan menyenandungkan Amazing Grace dari flute yang ia gunakan sebelumnya.

Pintu yang terbuka ternyata membuat suara alunan indah nan merdu itu pun dapat ditangkap oleh gendang telinga Flyn yang sukses menghentikan langkahnya. Flyn sengaja menghentikan langkahnya demi mendengar alunan musik yang terdengar sangat sempurna tanpa ada kesalahan nada sedikitpun. Selain ketepatan nada yang sempurna, sebenarnya pria itu juga menyimpan perasaan rindu pada lagu itu. Dan tanpa mereka sadari, saat ini mereka berdua tengah merasakan hal yang sama. Perasaan yang mereka pendam selama ini menguap begitu saja hingga keduanya merasa rapuh karena perasaannya sendiri.

“Bukan hanya kau saja yang merasakannya, Gabi. Aku juga merasakannya. Sakit. Itulah yang kurasakan selama ini. Apa kau tahu itu?” gumam pria itu lirih. Setetes air mata terjatuh bebas dari pelupuk mata kirinya. Mungkin ia berdosa karena sudah melanggar janji yang ia buat sendiri. Tapi apakah mencintai seseorang dalam hidupnya adalah hal yang dosa?


8888

Senin, 26 Januari 2015

When The Heart Begins To Speak (BAB 1)


Author : I.A.Eve

Genre : Sad, hurt, school life

Di WP aku yang https://iaeveleandra.wordpress.com juga akan di post ff dengan cast kyu-rae.
Moga moga suka ya….

Happy Reading :D

Biarkan TYPO menikmati bagiannya...



                                                               ______*****_______ 


– Ketika hati menyuarakan segala rasa yang bersemanyam di dalamnya –
.....


When I Met You

“...aku masih ingat dan tak akan pernah lupa saat
pertama kali aku bertemu dengamu...
Kenangan itu hampir setiap hari berputar
menghantui pikiranku
Membuatku terus mengingat tentangmu yang
selalu berhasil membuat dadaku
 bergemuruh dengan hebatnya...
Mengagumi setiap inchi garis wajah
yang tergambar dengan sangat sempurna
Dan saat itulah untuk pertama kalinya
aku merasakan jatuh cinta...”

******
œ

Sore itu, Holland Park–taman teromantis di London–terlihat sangat ramai oleh pengunjung. Mereka selalu saja berdatangan seolah tak ada habisnya hingga membuat taman ini terlihat sesak. Tempat ini memang menjadi salah satu tempat yang sangat diminati oleh wisatawan mengingat suasana yang disajikan sangatlah indah dan sunyi apalagi saat ini adalah musim semi. Bunga-bunga bermekaran, menambah kesan romantis di dalamnya. Tentu saja, kebanyakan dari mereka yang mengunjung tempat seperti ini adalah sepasang kekasih. Mereka sengaja meluangkan waktu untuk pergi berdua, sekedar untuk menikmati nuansa romantis yang mendominasi taman itu. Namun sayang, pemandangan indah Holland Park menjadi sangat memuakkan di mata seorang gadis yang tengah duduk di bangku panjang taman itu.

Tanpa sengaja ekor matanya melihat sepasang kekasih tengah bermesraan di depan matanya. Hal seperti itulah yang membuat mata gadis itu terasa panas dan dada kirinya mendadak terasa sakit. Iri? Mustahil! Gadis itu merasa sakit bukan karena iri, melainkan karena suatu hal yang mungkin bila dibiarkan terlalu lama akan membunuhnya. Sedetik kemudian, buliran air terjatuh dari sudut matanya yang cantik. Gadis itu menangis dalam diam tanpa ada seseorang disampingnya sekedar untuk menghapus air matanya. Ia sengaja pergi ke taman ini tanpa mengajak siapapun ikut bersamanya, termasuk para pelayan rumahnya yang sudah sangat khawatir dengan perubahan sikapnya akhir-akhir ini.

“Kau ingin minum, nona?” tanya seorang pria seraya menyodorkan berbagai macam jenis minuman.

Stevani menghapus bekas air matanya dan mendongak ke atas untuk sekedar melihat penjual minuman yang tengah berdiri di hadapannya.

“Tidak, terimakasih,” jawab Stevani sopan.

Penjual minuman itu pun berlalu meninggalkan Stevani hingga punggung pria itu tidak terlihat lagi olehnya.

Gabriella Stevani Weber, ia adalah putri bungsu keluarga Weber dari tiga bersaudara. Banyak gadis yang sangat iri dengan posisinya sebagai putri keluarga Weber yang terkenal sebagai keluarga berdarah seni yang terpandang. Ayahnya, John Frederick Weber, adalah seorang pianis terkenal. Berita tentang kehebatannya memainkan tuts-tuts piano sudah tersebar hampir seluruh dunia. Sedangkan ibunya, Vanessa Claudia Weber, adalah seorang penyanyi sopran yang terkenal di London. Dua kakak Stevani, Ricky dan Liona saat ini tengah bergelut di dunia hiburan sebagai aktor dan aktris. Dan Stevani? Recananya ia akan meneruskan pendidikannya ke Royal College of Music di Kensington Selatan musim ini.

Gadis itu kemudian menunduk lemah, mencoba mengusir kegelisahannya yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Tak lama kemudian, Stevani tampak menggeleng sekali, kemudian menghembuskan napasnya kesal. Ia tidak habis pikir, mengapa ia bisa terlahir ditengah-tengah keluarga seniman seperti saat ini. Karena sejujurnya, Stevani sangatlah buruk dalam bermusik. Ia lebih suka mempelajarinya dalam bentuk teori bukan praktik. Selama ini ia hanya menurut dengan apa yang sudah direncanakan orangtuanya. Mengikuti les piano, biola, menyanyi, dan masih banyak lagi, hingga ia sendiri merasa bosan dengan rutinitasnya setiap pulang sekolah. Dan sampai sekarang, ia masih saja heran dengan kasak-kusuk disekitarnya yang sangat menginginkan posisinya sebagai putri keluarga Weber. Bagaimana bisa orang-orang disekitarnya sangat iri dengan kondisinya saat ini? Apakah mereka ingin merasakan bagaimana rasanya tertekan meskipun di dalam keluarganya sendiri? Oh Ayolah, jika saja Stevani memiliki keberanian untuk mengatakan bahwa ‘ia sangat buruk dalam bermusik’ pasti semua ini tidak akan pernah terjadi. Tapi semua sudah terlambat, ia sudah dianggap mahir dalam bermusik. Akan sulit jika Stevani tiba-tiba mengatakan hal yang sebenarnya, dan menghentikan segala rencana konyol ayahnya.

Gadis itu masih terisak, membiarkan tetesan air matanya membanjiri kedua telapak tangan yang ia tangkupkan di wajahnya. Namun, dengan cepat ia bisa menghentikan isakan tangisnya ketika sebuah alunan musik berhasil menggetarkan tulang-tulang pendengarannya. Selama ini, ia belum pernah mendengar alunan musik seindah itu meskipun ayahnya adalah seorang komposer. Dengan tergesa, Stevani menyeka air matanya dan beranjak menuju arah suara berasal. Ia mulai berlari setelah cukup lama ia tak kunjung menemukan tempat suara itu berasal. Terbesit kekecewaan di hatinya seiring menghilangnya suara alunan musik yang sedari tadi ia cari. Ia sendiri juga tidak tahu mengapa, tapi rasanya ia ingin sekali bertemu dan melihat siapa yang menyenandungkan ‘Amazing Grace’ dengan alunan merdu flute. Wajah yang sebelumnya sempat terlihat bahagia kini kembali sendu. Stevani mendongak, menatap titik-titik bintang dilangit yang sudah mulai gelap. Dalam hatinya ia berdoa, semoga masih ada kesempatan baginya untuk hidup sesuai pilihannya sendiri. Gadis itu juga berharap, semoga orangtuanya mau mengerti dan mendengarkan apa yang menjadi keinginannya walaupun ia sendiri sudah membuang mimpi yang ia idam-idamkan sejak kecil.

Dengan gontai, ia berbalik dan mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Holland Park. Entah ada apa di belakang sana, yang jelas Stevani merasa enggan untuk meninggalkan tempat itu. Ia menghentikan langkahnya dan melihat kebelakang sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Holland Park. Senyum tipis berhasil tergambar di wajahnya setelah ia mengucap janji di hati kecilnya. Gadis itu kemudian berbalik, lalu melangkahkan kakinya sebelum para pelayan menjemputnya. Dan tanpa Stevani sadari, sepasang mata tengah mengamatinya dari balik pohon besar. Mata itu seakan tidak ingin lepas dari sosok gadis yang begitu cantik dan anggun di matanya. Baginya gadis itu bukan manusia melainkan malaikat yang di datangkan oleh Tuhan untuknya. Dan dengan melihat senyum gadis itu, ia semakin yakin bahwa hatinya sudah ikut bersamanya. Dalam hati ia bersyukur atas kebahagiaan yang tengah ia rasakan saat ini, karena pada akhirnya ia tahu bahwa gadis itulah yang telah berhasil memiliki hatinya.

“Kita akan segera bertemu, Gabi,” gumamnya pelan seraya mengembangkan senyum yang menghiasi wajahnya.

***

“Jadi, Stevani, kau akan meneruskan kuliahmu dimana? Ku harap kau sudah membuat keputusan yang tepat,” ucap sebuah suara bass yang sangat Stevani kenal, yaitu seorang pria yang menjadi kepala keluarganya, Tn.Weber.

Saat ini keluarga Weber sedang makan malam di ruang tengah. Ricky dan Liona yang tengah asik menceritakan kegiatannya selama seminggu ini seketika bungkam mendengar ayahnya mulai angkat bicara. Mereka sangat menghormati ayahnya, apapun titahnya pasti akan mereka patuhi. Begitu pula dengan Stevani, si bungsu yang selalu merasa tertekan bila berada di tengah-tengah keluarga besarnya. Ricky dan Liona yang sebelumnya terlihat santai menikmati makan malamnya kini harus menahan napasnya karena ayah mereka mulai membahas soal Stevani. Ny.Weber juga merasakan hal yang sama dengan Ricky dan Liona. Sedangkan Stevani dengan santainya memotong steak dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Sepertinya Stevani benar-benar sudah muak dengan semua rencana ayahnya yang menurut prediksinya akan menghancurkan hidupnya kelak.

“Nona Weber?! Apa kau mendengarkanku?” kata Tn.Weber dengan nada yang sudah naik beberapa oktaf.

Suasana semakin tegang ketika Tn.Weber memanggil Stevani dengan sebutan ‘nona’. Itu artinya emosi Tn.Weber mulai tersulut karena ia merasa diabaikan oleh putri bungsunya. Stevani yang mendengar nada bicara ayahnya mulai naik beberapa oktaf hanya bisa menghela napasnya pelan. Stevani benar-benar lelah dengan apa yang ada di keluarga Weber. Ingin sekali ia mengatakannya, tapi disisi lain ia tidak ingin membuat ibunya merasa kecewa oleh sikapnya. Dengan pelan, Stevani meletakkan garpu dan pisau kecil di samping piringnya. Ia berusaha tersenyum supaya ibunya merasa bahwa dirinya baik-baik saja.

“Aku mendengarnya, Tn.Weber. Bagaimana mungkin aku tidak mendengarnya sedangkan aku duduk tepat disebelahmu?” sahut Stevani seraya menunjukkan senyum masamnya.

“Panggil aku ‘Ayah’! Apa kau malu menjadi anakku? Hah?!” bentak Tn.Weber yang sudah tidak bisa meredam emosi yang sedaritadi ia tahan.

“Untuk apa aku malu memiliki ayah seorang komposer terkenal di seluruh jagad raya ini? Aku bangga karena kau adalah ayahku, Tn.Weber, ah maksudku ‘Ayah’,” jawab Stevani dengan penekanan kata saat mengucapkan ‘Ayah’.

Detak jantung Ny.Weber, Ricky dan Liona sudah tidak bisa mereka kendalikan lagi. Sangat cepat bahkan terlalu cepat hingga mereka hanya bisa mendengarkan suara detak jantungnya sendiri. Mereka bertiga sudah sangat khawatir saat Tn.Weber mulai mengajak bicara Stevani dan membahas masalah sekolahnya. Itulah mengapa akhir-akhir ini mereka bertiga selalu mengalihkan perhatian Tn.Weber agar tidak memperhatikan Stevani. Tapi apa boleh buat, hal yang selama ini mereka takutkan akhirnya terjadi di depan mereka.

Tn.Weber yang sudah mencapai titik puncak emosinya akhirnya pergi meninggalkan meja makan. Ia terlalu emosi hingga lidahnya tidak bisa ia gunakan sama sekali. Hal itulah yang Stevani sukai dari ayahnya, saat sedang marah Tn.Weber tidak akan mengumbar kata-kata yang mungkin bisa berwujud sumpah serapah, tetapi Tn.Weber lebih memilih diam dan tidak berbicara sama sekali sebelum Stevani mengakui kesalahannya.

Tanpa Stevani inginkan, setetes air mata telah berhasil meluncur melewati pipi putihnya. Stevani merasa bersalah dengan sikapnya yang membuat ayahnya sangat marah, namun disisi lain ia juga merasa muak dengan semua sikap ayahnya. Keadaan yang sangat rumit, ‘bukan? Tapi itulah yang selalu Stevani rasakan hingga sekarang. Saat hendak meninggalkan meja makan, pergelangan tangan Stevani sudah di genggam oleh Liona, sang kakak yang selalu memberikannya sebuah perhatian. Stevani menatap Liona bingung, namun Liona hanya tersenyum meyakinkan pada adiknya bahwa semua akan baik-baik saja. Gadis itu lalu menarik tangan Stevani dan membawa sang adik menuju balkon kamarnya yang ada di lantai tiga. Seperti orang yang baru saja sembuh dari amnesia, Stevani baru ingat bahwa pemandangan malam yang terlihat dari balkon sangatlah indah. Akhir-akhir ini Stevani memang terlalu banyak masalah sampai-sampai ia melupakan tempat favoritnya. Kamar Liona adalah tempat favorit Stevani, karena disana ia bisa meluapkan segala masalahnya dengan menikmati semilir angin dan pemandangan yang sangat elok. Sedangkan kamar Stevani sendiri membelakangi pemandangan yang akhirnya ia hanya bisa melihat air mancur di halamannya setiap ia berdiri di balkon.

“Katakan padaku, sebenarnya apa yang terjadi padamu, Gabi?”

Gabi adalah nama kecil sekaligus nama kesayangan yang selalu digunakan keluarga Weber dan teman dekatnya saat memanggilnya, kecuali ayahnya, Tn.Weber. Ia selalu memanggilnya ‘Stevani’. Pernah sekali ia memanggilnya ‘Gabi’ saat Stevani terpeleset dan akhirnya tercebur ke dalam kolam. Hanya sekali dan Stevani masih mengingatnya sampai sekarang.

“Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu. Aku hanya merasa bingung, itu saja,” sahut Stevani lirih. Jujur saat saat ini ia benar-benar rapuh, sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk dirinya. Ia menatap lurus kedepan, menerawang entah kemana. Bagi Stevani, hidupnya saat ini tidak lebih dari boneka mainan yang bisa dipermainkan sesuka hati. Sama sekali tidak memiliki kebebasan dalam memilih. Itulah yang sangat ia sesalkan terhadap ayahnya. Ia ingin sekali diberi kebebasan dalam memilih jalan hidupnya. Ia ingin mengepakkan sayap-sayap kecilnya dan terbang setinggi mungkin. Tapi itu semua hanya mimpi, sekarang yang ada hanyalah rencana yang sudah diatur oleh ayahnya.

“Kau mencoba membohongiku, adik kecil? Hah, percuma saja kau berbohong. Meskipun bibirmu bisa membohongiku, tapi ingatlah sorotan matamu tidak akan pernah bisa membohongi kakakmu ini. Cobalah untuk menerima keputusan Ayah, Gabi. Hanya itu satu-satunya jalan agar kau terbebas dari semua masalah ini. Kau tidak akan pernah bisa pergi meninggalkan keluarga ini, apalagi melepaskan hubungan antara kau dan Ayah. Kita adalah satu. Sekeras apapun kau mencoba menghapusnya, kau tidak akan pernah lepas dari nama Weber. Karena kita adalah keluarga, Gabi. Jangan sekali-kali kau mencoba untuk menghindar atau menganggap Ayah hanyalah mimpi buruk karena itu akan membuatmu merasa menyesal tanpa kita ketahui kapan waktu itu akan tiba. Kau boleh marah tapi jangan sampai terbesit rasa benci ataupun dendan dalam hatimu. Karena jika hal itu sampai terjadi, kau tidak lebih dari seorang pembunuh. Ingatlah, kau bisa hidup tanpa memikirkan uangmu yang mulai menipis atau persediaan makananmu yang mulai habis itu semua karena Ayah. Meskipun ibu juga bekerja, tapi itu juga tak lepas dari nama Ayah. Bersyukurlah dengan kehidupanmu saat ini, langkahkan kakimu pada jalan yang ada dihadapanmu. Aku yakin, Ayah melakukan ini semua karena ia menyayangimu, Gabi. Ayah tidak akan mencelakai putri bungsunya, ‘bukan? Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu, meskipun cara Ayah menyampaikannya padamu salah. Sekarang, renungkanlah perkataanku tadi. Semua yang kukata–“

“Ayah hanya mementingkan dirinya sendiri, Liona! Sekalipun Ayah tidak pernah mau mendengarkan apa yang aku inginkan. Sekalipun tidak pernah, Liona! Ayah... ayah sama sekali tidak memperhatikanku, menyayangiku, apalagi mencintaiku! Ia hanya mementingkan derajatnya dan selalu melihat orang lain dengan sebelah mata tanpa memikirkan perasaan orang lain. Ia hanya ingin nama besarnya menguasai seluruh dunia dan dengan begitu ia akan menaklukan dunia yang sudah berada dalam genggamannya, termasuk aku. Aku hanyalah boneka mainannya yang tidak akan pernah ia lihat sedikitpun. Baiklah, aku memang sangat buruk dalam bermusik, tapi apakah itu salah? Aku juga tidak memiliki suara sebagus ibu, apa itu salah? Salahkan Tuhan yang menciptakanku dengan begitu buruknya, Liona!”

PLAKK! Tamparan Liona tepat mengenai pipi kiri Stevani yang sudah basah akibat air matanya. Ia sangat marah mendengar ucapan adiknya yang dengan mudah mencerca Tn.Weber, ayahnya sendiri.

“Jaga ucapanmu, Gabi! Sudah berkali-kali kukatakan, jangan pernah berkata buruk pada Ayah, apalagi Tuhan! Tahu apa kau tentang takdir Tuhan?! Sesuci itukah dirimu hingga berani-beraninya kau menghina Tuhan? Tanpa Tuhan, kau tidak akan bisa merasakan dunia, Gabi! Dan Ayah, apakah selama ini Ayah pernah mengeluarkan sumpah serapahnya padamu? Pikirkan! Sekalipun Ayah tidak pernah mengataimu dengan berbagai macam hal buruk. Sedangkan kau? Mengatakan Ayah adalah seorang yang haus akan kekuasaan dan nama besar, begitu?! Dimana letak rasa terimakasihmu, Gabi? Apa kau merasa sudah bisa membalas jasa Ayah hingga kau berhak menghinanya? Bahkan membuat Ayah merasa bangga pun belum kau lakukan, Gabi. Minta maaflah sebelum Ayah benar-benar membuangmu!” ucap Liona seraya pergi meninggalkan adiknya yang masih memegangi pipi kirinya karena tamparan yang ia berikan tadi.

                Lagi-lagi Stevani hanya menangis dalam diam. Sesekali terdengar isakan kecil keluar dari bibirnya. Sungguh, Stevani benar-benar merasa kecil saat ini. Ia memang bukan apa-apa dibandingkan dengan kakaknya yang sudah berhasil menjadi artis sekaligus membuat Ayahnya bangga. Tapi, inilah Stevani, ia hanya gadis biasa tanpa memiliki talenta apapun. Hanya kecerdasan otaknya yang bisa ia andalkan bukan suara ataupun keahlian jari-jari tangannya memainkan alat musik. Terkecuali piano. Gadis itu sangat mahir bermain piano karena diam-diam, ia dulu sempat mengagumi Ayahnya yang merupakan pianis hebat dimatanya. Ia belajar sekeras mungkin agar kelak ia bisa membuat bangga Ayahnya. Namun, seiring berjalannya waktu, keinginan itu mendadak musnah dari impiannya. Tidak ada lagi keinginan untuk terus bermusik, apalagi membuat Ayahnya bangga. Semua angannya sudah terkubur oleh waktu yang terus berjalan maju, tanpa mau kembali kebelakang untuk sekedar membenahi kesalahannya.

***
               
Tak terasa sudah hampir enam bulan sejak perisitwa di meja makan yang berujung pada kemarahan sang ayah berlalu. Saat ini Stevani sudah resmi menjadi mahasiswa di Royal College of Music. Ia tidak sendiri disini, karena sahabat karibnya, Sarah Elissa, juga ikut meneruskan pendidikannya di Royal College of Music. Sarah Elissa adalah anak pengusaha yang saat ini sedang berada di puncak kesuksesannya. Tak khayal jika ia dekat dengan keluarga Weber, karena memang keluarga Weber selalu melihat derajat orang yang dekat dengannya. Selama enam bulan inilah, Stevani selalu mengeluhkan rencana yang dibuat ayahnya. Tn.Weber yang terkenal dengan sifat perfeksionis-nya, akhirnya mengalah dan mengajak bicara Stevani lebih dulu karena ia ingin sekali putri bungsunya segera menjalankan rencana yang sudah ia buat setahun yang lalu. Tapi bukan Stevani jika ia dengan mudah mau menerima rencana ayahnya. Sampai sekarang pun Stevani masih menolak rencana itu meskipun ibu dan kakak-kakaknya selalu memaksanya.

Ny.Weber sudah berkali-kali membujuk Stevani untuk menerima tawaran ayahnya, tapi NIHIL! Stevani sama sekali tidak terpengaruh dengan iming-iming yang dijanjikan oleh kedua orang tuanya. Sama sekali tidak. Ia masih berjuang mempertahankan jalan hidupnya tanpa campur tangan keluarganya meskipun ia agak sedikit kesulitan dengan pelajarannya saat ini. Karena biasanya, ia akan bertanya pada Liona atau Ricky. Tapi sekarang? Ia hanya bungkam saat dirumah, seolah-olah tengah bermain drama dimana dirinya memerankan tokoh seorang gadis bisu yang sebatangkara. Sebenarnya ia ingin sekali memperbaiki hubungannya dengan keluarganya, tapi setiap kali ia bersikap manis di depan keluarganya, kedua kakaknya ataupun Ny.Weber pasti akan membahas masalah yang sama, yaitu menerima tawaran ayahnya yang baginya tak lebih dari sebuah kutukan.

“Hey, siapa pria itu? Mahasiswa barukah?” ucap Hayle, salah satu teman Stevani yang mengarahkan jari telunjuknya ke depan.

Spontan Stevani melihat kedepan yang ternyata menunjuk seorang pria yang berada di belakang Mr.Hery. ‘Mahasiswa baru?’ tanya Stevani dalam hati.

 “Pagi anak-anak..” sapa seorang pria yang sudah terlihat agak tua saat memasuki kelas.

“Pagi Mr.Hery..” sahut seisi kelas dengan semangat, khususnya bagi para gadis yang arah matanya sudah tertuju pada satu titik.

“Hari ini adalah hari spesial karena kita kedatangan mahasiswa baru. Flyn, silahkan memperkenalkan dirimu.”

“Namaku Flyn Williams. Kalian bisa memanggilku Flyn. Senang bisa bertemu dengan kalian.”

“Baiklah, Flyn kau bisa duduk di samping Stevani,” suruh Mr.Hery tanpa mengetahui akibat jika pria itu berada dekat dengan Stevani.

Pria yang bernama Flyn itu berjalan melewati Stevani dan duduk tepat di sebelah kanan Stevani. Jarak antara tempat duduk Stevani dan Flyn sangatlah dekat. Mungkin hanya sekitar enam puluh sentimeter. Dan dalam jarak sedekat itu, Stevani dapat melihat wajah dingin Flyn dengan sangat jelas. Gadis itu menatap Flyn dari atas ujung rambut sampai ujung kaki. Postur tubuh tinggi dan berkulit putih, rambutnya yang pendek dan sedikit berwarna coklat menambah nilai plus pada penampilannya. Stevani membulatkan matanya sempurna saat dirinya menyadari kalau garis wajah yang sangat tampan itu ternyata akibat dari percampuran Asia-Eropa. Tidak ada kekurangan sedikitpun yang terlihat olehnya. Benar-benar sebuah ciptaan Tuhan yang sangat sempurna.

Dan saat itulah, untuk pertama kalinya Stevani dapat mendengarkan suara detak jantungnya yang berpacu dengan sangat cepat. Keringat dingin membanjiri tubuhnya yang sudah terasa sangat kaku. ‘Apakah aku akan mati? Mengapa detak jantungku cepat sekali? Bahkan aku bisa mendengarnya tanpa alat bantu apapun. Sebenarnya apa yang terjadi padaku? ‘

“Gabi! Kau kenapa?” tanya Lissa seraya mengibas-ngibaskan tangannya tepat di depan wajah Stevani. Lissa merasa khawatir dengan sikap Stevani saat ini yang tidak seperti biasanya.

“Gabi!” Kali ini Lissa tidak hanya mengibas-ngibaskan tangannya, tapi ia juga menggoyang-goyangkan tubuh Stevani.

“Lissa, apa aku akan mati?” tanya Stevani dengan suara sedikit serak.

“Kau ini bicara apa, bodoh! Sebenarnya kau itu kenapa? Jangan membuatku khawatir seperti ini, Gabi. Katakan apa yang kau rasakan saat ini.”

“Aku...aku bisa mendengarkan suara detak jantungku yang berdetak dengan sangat cepat. Dan seluruh tubuhku terasa sangat kaku juga terasa dingin. Sebenarnya aku kenapa, Lissa? Aku belum mau mati, ku mohon,” rengek Stevani dengan menunjukkan ekspresi childish-nya.

Setelah beberapa detik mencerna kalimat yang ia dengar dari Stevani, akhirnya Lissa bisa bernafas lega. Seakan semua kekhawatiran dan kegelisahan hilang begitu saja. Sedetik kemudian senyum ‘evil’ telah terukir diwajahnya.

“Jadi kau tertarik dengan pria yang bernama Flyn itu, Gabi? OH MY GOD! Ternyata Gabi kecilku sekarang sudah beranjak dewasa!” ejek Lissa yang bisa menebak bahwa teman masa kecilnya itu kini tengah dilanda asmara.

“Hentikan omong kosongmu itu, Lissa! Itu semua tidak ada hubungannya dengan Flyn!”

“Yah, kuharap memang begitu, Gabi. Jangan sampai kau jatuh cinta pada orang lain selain ‘dirinya’. Kau tahu itu kan? Karena jika kau sampai jatuh cinta pada Flyn dan bukan ‘pria itu’ maka tamatlah riwayatmu,” ucap Lissa yang berusaha mengingatkan Stevani.

“Who’s care?” bisik Stevani yang terdengar jelas di telinga Lissa. Gadis itu sama sekali tidak tertarik untuk mendengarkan ceramah sahabatnya yang ada di sebelah kirinya. Ia hanya terfokus dengan mahasiswa baru yang berhasil menyita semua perhatiannya.

“Hai. Kenalkan, aku Stevani. Senang bisa bertemu denganmu,” ucap Stevani yang hanya dibalas dengan pandangan sekilas dari Flyn. Stevani mematung ditempatnya, tidak menyangka akan mendapat respon yang sebelumnya belum pernah ia dapat. Gadis itu masih terbengong dengan mulut terbuka, hampir seperti orang idiot. Ia sempat menggelengkan kepalanya sebelum kembali ke posisi semula. Sesekali, Stevani melirik ke arah Flyn lalu tersenyum tipis. ‘Inikah cinta?’

“Baik, seperti biasanya kita akan memulai pelajaran hari ini dengan musik klasik. Flyn, bisakah kau menjelaskan siapa itu Mozart?” kata Mr.Hery berharap Flyn bisa menjawabnya.

Pria yang bernama Flyn itu lantas berdiri dan mulai menjelaskan segala hal tentang Mozart.

“Johannes Chrysostomus Wolfgangus Gottlieb Mozart atau lebih kita kenal Wolfgang Amadeus Mozart, yang dikenal memiliki kemampuan tata letak atau mengenal nada dengan tepat tanpa bantuan alat, lahir di Salzburg, 27 Januari 1756 dan meninggal di Wina, Austria, 5 Desember 1791 pada umur tigapuluh lima tahun. Ia mendapat julukan ‘Anak Ajaib’ karena pada umur empat tahun ia sudah bisa memainkan harpsichord dan melakukan improvisasi pada karya-karya musik pendahulunya. Ia bahkan menulis komposisinya yang pertama saat berumur lima tahun. Karya-karyanya antara lain adalah Violin, Sonata, dan beberapa Minuet. Ayahnya, Leopold, yang mengetahui bakat luar biasa yang ada pada kedua anaknya, Mozart dan Nannerl, akhirnya mengambil cuti panjang dari jabatannya untuk mempromosikan anaknya kepada raja-raja. Di Wina, Mozart bermain piano di depan Ratu Maria Theresia. Akhirnya Mozart sekeluarga untuk pergi dan berkarier di Paris. Mozart yang ditemani oleh ibunya berangkat pada bulan September 1777. Sebelum sampai di Paris mereka singgah dan menetap selama beberapa waktu di Munchen dan Mannheim. Di Mannheim, Mozart berteman dengan komponis Cannabich dan Holzbauer. Alasan utama Mozart menetap lebih lama di Mannheim adalah karena ia jatuh cinta kepada Aloysia Weber, seorang penyanyi sopran berusia enambelas tahun. Meski kecewa karena cintanya ditolak Aloysia, Mozart tetap meneruskan perjalanannya ke Paris. Di Paris, Mozart mulai bekerja dengan memberi les-les privat dan menciptakan lagu-lagu yang sesuai dengan selera orang Perancis. Di Paris, kemampuan bermusik Mozart tidak begitu diperhatikan dan akhirnya Mozart memutuskan untuk kembali ke Salzburg. Mozart pulang ke Salzburg dan ia langsung mendapat jabatan sebagai organis disana. Tugasnya antara lain bermain organ di katedral, istana, dan kapel istana, menggubah lagu pesanan dan mengajar paduan suara anak-anak. Karya-karya pentingnya masa ini termasuk K.364, Simfonia Concertante in Eb, Simfoni no.32-34, beberapa Concerto serenade, divertimento, musik gerejawi yang termasuk K.317, Missa Coronation dan K.339, Vesparae. Pada tanggal 4 Agustus 1782, Mozart menikahi putri ketiga keluarga Weber, Constanze Weber, di katedral St.Stefanus. Dari enam anaknya, hanya dua yang hidup. Pada tanggal 5 Desember 1971, Mozart menghembuskan napas terakhir pada jam satu pagi. Sampai sekarang sudah ada sekitar tujuhratus karya musik yang ia buat semasa hidupnya.  ”

“Beri tepuk tangan untuk Flyn!” sorak Mr.Hery yang kagum dengan penjelasan Flyn yang sangat jelas.

“Kau dengar tidak? Mozart menikahi putri ‘ketiga’ keluarga Weber dan memiliki enam anak. Seandainya Flyn menjadi Mozart, apa kau mau menerimanya, Nona Weber?” ejek Lissa pada Stevani yang sedari tadi hanya diam memperhatikan Flyn dalam jarak yang sangat dekat.

“Menurutku ia bukan Mozart, tapi seseorang yang mungkin lebih dari Mozart,” jawab Stevani tanpa mengalihkan pandangannya dari Flyn.

“Sepertinya semakin hari semakin rumit saja masalahnya. Ku harap kau akan baik-baik saja, Gabi. Karena sebentar lagi mungkin akan terjadi sesuatu yang sama sekali tidak kau inginkan. Kalau perkiraanku benar, ‘ia’ akan datang tidak lama lagi.”

“Selama masih ada waktu, aku akan berusaha sebaik mungkin, Lissa. Bukan hanya kau saja yang merasa takut. Aku juga sama denganmu. Semakin aku memikirkan masalah itu, segala perasaan takut menyergapku dan membuatku tidak bisa melangkahkan kakiku. Itulah mengapa sampai aku tidak terlalu memikirkannya. Biarlah semua terjadi mengikuti arus waktu yang terus membawa kita sesuai keinginannya. Semoga saja waktu memberiku sedikit kesempatan untukku bernapas bebas ditengah kerumitan masalah ini,” jelas Stevani sambil menerawang jauh ke depan. Entah mengapa, ia merasa ketakutan yang selama ini ia coba lawan kembali menyergapnya, menelannya dalam-dalam saat Lissa kembali mengingatkannya dengan masalah rumit itu.

‘Apakah Tuhan menganggapku pantas untuk menghadapi ujiannya?’

***

“Selamat sore, Ny.Weber.” Seorang gadis dengan syal kuning di lehernya berdiri di depan pintu besar berwarna coklat, menyapa seorang wanita yang masih terlihat cantik meskipun waktu sudah menggerogoti umurnya. Wanita itu tersenyum halus pada seorang gadis yang ia percayai untuk menjaga putri bungsungya. Wanita merasa beruntung bisa menemukan seorang teman yang baik untuk selalu berada di dekat putrinya, melindunginya dari hal-hal buruk yang mungkin akan menimpa putrinya.

“Ah, Lissa. Kau datang mencari Gabi? Kebetulan ia sedang membuang waktu luangnya dengan melamun di taman belakang. Kau langsung saja menemuinya dan ajak ia masuk karena angin diluar sangatlah dingin.”

“Baik. Saya permisi dulu,” ucap Lissa lembut. Jujur saja, mendengar penjelasan Ny.Weber bahwa Stevani sedang melamun di taman belakang membuat dirinya merasa khawatir. Ia tahu, sangat tahu bahwa sahabatnya kini tengah tenggelam dalam masalahnya itu. Ingin sekali ia membantu Stevani tapi apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada yang bisa menentang keputusan Tn.Weber kecuali Stevani sendiri yang menentangnya. Lissa tidak bisa membayangkan betapa beratnya menjadi putri keluarga besar yang namanya sudah dikenal hampir seluruh dunia. Lissa memang kaya, tetapi setidaknya nama keluarganya tidak setenar keluarga Weber. Menjaga nama baik keluarga, itulah hal tersulit yang harus Stevani lakukan. Setiap kali mengingat Stevani, Lissa pasti akan merasa sedih karena Stevani sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri. Meskipun ia merasa sedih, tetapi di depan Stevani ia selalu menunjukkan sikap periangnya karena dengan begitu Stevani akan merasa bahagia walaupun tidak mengurangi beban yang Stevani tanggung. Yah, setidaknya Lissa sudah mencoba membantu Stevani. Bukankah begitu lebih baik?

“Sedang memikirkan mahasiswa baru itu?” tanya Lissa yang sukses membuat Stevani hampir terjatuh dari duduknya karena saking kagetnya.

“Bisakah kau memberitahuku dulu kalau kau akan datang? Selalu saja datang semaumu sendiri!” omel Stevani pada Lissa yang kini tengah menertawakan ekspresi kaget Stevani.

“Maaf, maaf. Tadi aku sudah menelepon rumahmu, tapi tidak ada yang mengangkatnya. Jadilah aku disini sekarang.”

“Memangnya kau ada perlu apa datang kesini?”

“Astaga! Kau tidak suka aku kesini? Yasudah, aku pulang saja,” sahut Lissa yang berpura-pura akan meninggalkan Stevani.

“Tidak! Aku kan hanya bertanya, tidak bermaksud mengusirmu,” ucap Stevani seraya menarik lengan Lissa supaya kembali duduk.

“Tunggu! Apa itu kau yang menulisnya, Gabi?” tanya Lissa yang kini tengah mengamati susunan empat huruf yang terangkai di bawah kaki Stevani. Tanah tanpa rumput itu Stevani jadikan sebagai media lukisannya. Melukis sebuah nama yang akhir-akhir memenuhi otak Stevani dan tertata rapi di dalamnya.

“Hapus saja kalau kau tidak suka. Aku tidak keberatan. Lagipula aku hanya melatih jari-jariku untuk bergerak.” Gadis itu mencoba mengelak. Ia tidak ingin ada yang mengetahui perasaannya, termasuk Lissa. Ia ingin menjaga perasaannya seorang diri. Itupun kalau ia sanggup melakukannya.

“Nona Weber, kau tidak perlu berbohong padaku seperti ini. Mengapa kau suka sekali berbohong, hah? Memangnya apa yang kau dapat dari hasil berbohongmu selama ini? Ingatlah, masalah ini timbul akibat dari hobi berbohongmu itu. Apa kau masih akan mempertahankannya? Berhentilah berbohong dan perbaikilah mulai dari sekarang. Berbohong tidak akan menyelesaikan masalah, sampai kapan pun kau berbohong, itu tidak akan memudahkanmu, malah akan menyulitkanmu seperti sekarang,” ucap Lissa yang diiringi tatapan tidak suka dari Stevani. Teman masa kecil Stevani itu terlalu memahami sifatnya hingga kadang ia sendiri merasa jengkel karena ia tidak bisa mengelak jika berhadapan dengannya.

“Tahu apa kau tentang diriku? Kau tidak tahu apa-apa, jadi lebih baik kau diam. Tidak perlu mencampuri urusanku terlalu jauh. Hidupku, hanya aku yang menentukan bukan siapa pun. Pulanglah kalau kau sudah selesai dengan bicaramu. Aku sedang tidak ingin diganggu,” sahut Stevani yang terdengar sangat marah. Ia memang tidak suka mendengar orang lain mengatur hidupnya, seakan mereka tahu apa yang akan terjadi padanya. Sekalipun itu adalah sahabat karibnya, ia tidak akan bisa menerimanya. Ia benci dengan semua kalimat-kalimat yang menurutnya hanya memojokkannya, bukan memberinya jalan keluar.

Lissa yang sadar akan kesalahannya hanya mampu diam, tak berani menatap sahabatnya yang kini tengah memandangnya sengit. Stevani yang juga sadar akan kata-katanya yang kasar, segera meraih tangan Lissa dan menariknya kedalam pelukannya. Tangis Stevani pecah seketika. Lissa yang sedari menahan emosinya akhirnya pertahannya runtuh ketika mendengar suara tangisan Stevani yang terdenagr sangat memilukan.

“Sepertinya aku mencintai pria itu, Lissa. Apa yang harus kulakukan? Aku takut jika ayah sampai mengetahuinya. Aku takut ayah akan semakin mempersempit ruang gerakku. Aku takut, sangat takut. Haruskah aku mengatakan yang sejujurnya? Aku sudah memikirkan ini berhari-hari, dan aku juga sudah berusaha untuk menerima ‘kehadirannya’ dalam hidupku. Tapi aku sama sekali tidak bisa, Lissa. Aku tidak bisa menganggapnya lebih seperti yang ayah minta. Lagipula, masih banyak gadis lain diluar sana yang lebih dariku. Lantas, mengapa ayah harus memilihku? Apalagi kalau bukan untuk urusannya sendiri? Apa aku sama sekali tidak berharga dimata ayah?”

“Itu akan sulit, Gabi. Masalah itu tidak akan selesai dengan mudah hanya dengan pengakuanmu. Tapi, bukankah kau masih memiliki Flyn untuk kau pertahankan? Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan ayahmu lakukan seandainya kau mengatakan hal yang sebenarnya, apalagi jika ayahmu tahu kau menolaknya demi Flyn. Tetaplah bertahan sampai semuanya terlihat jelas di mata ayahmu, Gabi. Aku yakin, orang itu akan segera tiba dan semuanya akan berakhir seiring berjalannya waktu,” ujar Lissa dengan suara serak akibat menahan suara isak tangisnya.

Suasa mengharukan yang sedang terjadi saat ini ternyata disaksikan oleh sepasang mata yang tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Liona merasa hatinya sakit saat mendengar adiknya akan menyerah. Meskipun ia kerap menyuruh Stevani untuk menerima tawaran ayahnya, tapi hati kecilnya selalu menangis, tidak rela jika adiknya yang harus menjadi batu loncatan hanya untuk kepentingan bisnis semata. Kini bukan hanya Lissa dan Stevani yang menangis, Liona yang melihat mereka dari jauh ternyata juga juga ikut menangis dalam diam. Ia berubah pikiran, ia tidak akan memaksa adiknya lagi untuk menerima tawaran konyol ayahnya. Biarlah Stevani yang memilihnya, karena semua keputusan ada ditangan Stevani, bukan Liona.

“Kau menangis, Gabi. Bukankah kau pernah berjanji tidak akan menangis lagi?” tanya Lissa seraya menghapus sisa-sisa air mata Stevani yang mulai mengering.

“Kau juga menangis. Jadi untuk apa aku menepati janji kalau saja juga menangis?” sahut Stevani yang kini menunjukkan senyum tipisnya. Meskipun ia tengah berada dalam masalah yang rumit, namun gadis itu bersyukur masih memiliki seorang teman yang mau menemaninya. Mendengar segala keluh kesahnya yang mungkin bagi sebagian orang hal itu dianggap berlebihan. Tapi, dengan sabar Lissa mau mendengarkan Gabi dan memahaminya tanpa pernah mengeluh sedikitpun. Sebuah jalinan persahabatan yang erat hingga Stevani takut jalinan erat itu akan terputus oleh suatu hal yang biasanya disebut dengan... cinta.

“Kau memang ahli dalam berdebat ternyata. Tak kusangka gadis anggun sepertimu suka sekali mengajak orang berdebat.” Stevani tertawa, menertawakan temannya yang suka menilai orang sesuka hatinya. Gadis itu kemudian menatap heran pergelangan tangan kiri Lissa yang menggegam tangannya. Dahi Stevani berkerut, tampak mengingat-ingat sesuatu.

“Kau kenapa?” tanya Lissa yang melihat perubahan sikap Stevani. Gadis itu lantas mengikuti arah mata Stevani yang ternyata tengah menatap heran gelang yang ia pakai. Ia menghelas napas pendek, lalu tersenyum kecil. “Cantik, ‘bukan? Apa kau juga menginginkannya?”

“Darimana kau mendapatkan benda itu? Setahuku, corak warna seperti itu bukan berasal dari Kensington. Apa kau membelinya saat kau berlibur keluar negeri?” Stevani masih menatap gelang itu dengan teliti. Ia merasa pernah melihatnya, tapi dimana?

“Sudahlah, tidak terlalu dipikirkan. Lebih baik kita masuk, disini sangat dingin. Ibumu juga sudah menunggu didalam. Ayo,” ajak Lissa sambil menarik pergelangan tangan kiri Stevani dengan tangan kanannya. Ia tidak ingin Stevani terus melihat gelang yang ia pakai. Ia takut jika Stevani menyadari sesuatu yang ia sembunyikan selama ini.

***

Sepulang dari kampus, mereka berdua tidak langsung pulang ke rumah. Lissa dan Stevani memutuskan untuk pergi ke Holland Park. Bagi Lissa mungkin hanya sebagai refreshing, tapi tidak untuk Stevani. Sebenarnya ada maksud lain saat ia mengajak Lissa ke Holland Park, yaitu untuk bertemu dengan seseorang yang memainkan flute beberapa bulan lalu. Lissa melangkah pelan menikmati pemandangan yang ada didepannya. Pohon-pohon besar yang sebelumnya terlihat sangat cantik kini terllihat sedikit gersang karena memang saat ini sedang musim gugur. Meskipun ia sudah berkali-kali melihat pemandangan seperti tapi sepertinya Lissa tidak akan pernah bosan untuk selalu mengamati warna-warni daun yang mulai mengering.

Dan Stevani? Sejak awal ia menginjakkan kakinya di Holland Park, ia mulai mengamati seluruh isi tempat itu demi menemukan seseorang yang ia sebut sebagai ‘Mr.Flute’. Ia sibuk mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut Holland Park. Ia berjalan dengan sangat pelan agar tidak ada yang terlewat dari pengamatannya.

Tiba-tiba saja langkah Lissa terhenti dan sukses membuat Stevani mau tidak mau menabrak punggungnya karena memang ia masih berjalan di belakang Lissa.

“Mengapa kau berhenti tiba-tiba seperti ini? Menyebalkan!” gerutu Stevani seraya membenarkan syal yang melingkar dilehernya.

“Apa kau tahu apa yang mengganggu pikiranku saat ini?” tanya Lissa tanpa menoleh kebelakang. Matanya masih menatap sebuah ranting pohon yang dipenuhi oleh salju.

“A..apa?”

“Sepulang dari kuliah, biasanya kau akan diam dirumah tanpa mau keluar. Sedangkan sekarang? Kau memaksaku untuk pergi kesini. Sebenarnya apa yang kau rencanakan?” ucap Lissa seraya memutar badannya hingga sekarang ia berhadapan dengan Stevani.

“Oh Tuhan! Bisakah kau tidak berpandangan buruk terhadapku? Aku hanya ingin jalan-jalan saja, tidak boleh?”

Senyum tipis terlihat jelas di wajah Lissa yang sepertinya tengah menertawakan kebodohan sahabatnya itu.

“Jadi kau masih hobi berbohong, huh? Silahkan saja, tapi aku tidak akan ikut campur jika masalahmu bertambah besar. Aku bosan, kau tahu itu kan? Aku bosan dengan segala masalah rumitmu yang kau buat sendiri, meskipun bukan seratus persen kesalahanmu tapi setidaknya kau memiliki lima puluh persen dalam memperkeruh masalah ini. Belajarlah untuk terbuka, Gabi. Masalah tidak akan selesai kalau terus menyimpannya sendiri. Kalau aku boleh jujur, sebenarnya aku lelah jika setiap saat harus menasehatimu berulang kali seperti ini. Gunakanlah otak cerdasmu dengan baik, dengan begitu kau bisa mencari jalan keluarnya. Dan satu lagi, jangan mencoba untuk berbohong. Jadi sekarang, katakan padaku, apa rencanamu mengajakku ke tempat ini?”

“Apa?”

“Terserahlah, kalau kau tidak mau cerita aku pulang saja. Kakiku suda terasa pegal karenamu.”

“Mr.Flute...”

“Hm?” Reflek Lissa memutar badannya dan menatap Stevani bingung. ‘Mr.Flute? Siapa?’

“Aku ingin bertemu dengannya. Sekali saja, aku hanya ingin melihatnya.”

“Okay, aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Sekarang jelaskan padaku, siapa itu Mr.Flute?”

“Kira-kira enam bulan yang lalu, saat musim semi aku pergi ke tempat ini sendiri. Aku mendengar alunan indah ‘Amazing Grace’ yang berasal dari alat musik flute. Saat itu juga aku mencari arah suara berasal, tapi aku sama sekali tidak bisa menemukannya. Kau tahu? Bagiku alunan merdu flute itu adalah hal yang paling terindah yang pernah ku dengar. Tapi sampai sekarang aku tidak pernah mendengarnya lagi meskipun aku sering datang ke tempat ini sekedar untuk mendengarnya sekali lagi. Aku merindukannya, Lissa.”

“Jadi kesimpulannya, kau belum pernah bertemu dengannya?”

“Begitulah..”

“Tapi mengapa kau yakin bahwa ia adalah seorang pria? Mr.Flute?”

“Hatiku berkata bahwa ia adalah seorang pria. Sebenarnya aku juga tidak tahu ia seorang gadis atau pria, tapi entah mengapa dengan mudah aku mempercayai kata hatiku. Dan jika benar ia adalah seorang pria, maka aku akan sangat bahagia,” ucap Stevani dengan wajah gembira.

“Dan jika orang yang kau anggap Mr.Flute itu adalah seorang gadis?”

“Maka aku akan menjadikannya sebagai temanku. Menggeser posisimu mungkin,” ucap Stevani yang sengaja membuat ‘jealous’ Lissa.

“Kalau begitu aku berharap ia adalah seorang pria!” sahut Lissa yang membuat Stevani tertawa terpingkal-pingkal.

“Berhenti menertawakanku, Gabi! Tidak ada yang lucu disini. Dasar kau–“

Ucapan Lissa terhenti ketika ia melihat ada seseorang yang sejak awal ia datang ke Holland Park sudah memperhatikannya dari balik pohon. Lissa tidak yakin siapa orang itu, tapi ia merasa kenal dengan postur tubuhnya.

“Heh, kau kenapa? Melihat hantu?”

“Bodoh! Mana ada hantu di tempat seperti ini. Yang ada hanyalah segerombolan bandit yang membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Dan kau akan menjadi mangsa mereka kalau kita tak cepat sampai dirumah. Kau mau menjadi korban para preman itu, Nona Gabi?”

“Ti..tidak! Aku benci para bandit yang mengusik orang lain! Ya sudah, kita pulang sekarang. Aku juga sudah lelah terlalu lama mengelilingi tempat ini.”

Sekali lagi, Lissa menoleh kebelakang untuk memastikan siapa yang mengintip mereka tadi dan benar saja tebakannya benar. Orang yang sedari tadi memperhatikan mereka dua adalah orang yang ia kenal. Sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah lengkungan indah mengingat jalan hidup Stevani yang menyimpan begitu banyak kejutan.

‘Percayalah padaku, semua akan menjadi mudah saat kau mau menerima kenyataan dan bertekad untuk meraih mimpi meskipun tembok besar menghalangimu. Aku akan selalu membantumu selama yang kau mau. Dan selama itulah aku akan terus memperhatikanmu dalam meraih mimpi. Percayalah padaku, Gabi.’

***

Pagi ini, seorang gadis bermarga Weber itu bangun sangat pagi. Lebih pagi dari biasanya sampai-sampai para pelayan rumahnya dibuat takjub oleh tingkah laku putri majikannya yang membantu pekerjaan mereka di dapur. Gadis itu tengah menikmati waktunya berada di depan kompor dengan sebuah panci diatasnya. Ia mengaduk-aduk isi panci yang sudah Nancy beri beberapa sayuran. Sesekali ia mengambil sendok, mengambil sedikit kuahnya, dan kemudian memasukkan ke dalam mulutnya. Memberikan beberapa rasa pada indera pengecapnya. Walaupun ia jarang sekali memasak, namun ia sangat mengerti bagaimana cara membuat masakan menjadi sangat enak. Dengan cinta. Itulah yang ia katakan ketika Nancy menanyakan bagaimana bisa putri bungsu Weber itu membuat rasa masakannya menjadi sangat lezat.

Tak lama kemudian, gadis itu menganggukkan kepalanya, lantas menaburkan sedikit garam pada masakan itu. Kembali ia mengaduk-aduk masakan itu tanpa mengatakan sepatah katapun. Nancy hanya bungkam, tidak berani mengganggu mood Stevani yang tampak lebih ceria dari biasanya. Wanita paruh baya itu bahagia melihat putri bungsu majikann kembali seperti semula. Meskipun ia tidak memiliki hubungan darah dengan Stevani, namun ia dapat merasakan kedamaian tersendiri dihatinya saat melihat seulas senyum tercipta menghisasi wajah cantiknya. Matanya bergerak-gerak, mengamati setiap gerakan Stevani yang terlihat begitu tenang.

“Sudah selesai. Hah, ternyata rasanya melelahkan juga berada di dapur terlalu lama. Oh ya, aku ingin sup milikku nanti kau tambah dengan potongan sosis di dalamnya. Apa kau mengerti, Nancy?” tanya Stevani seraya melepas apron putih yang menutupi di bagian depan tubuhnya. “Nancy?” Stevani memanggil Nancy sekali lagi, mecoba menyadarkan lamunan wanita paruh baya itu. Gadis itu menaikkan alis kanannya, tidak percaya dengan kecerobohan Nancy yang melamun saat berada di dalam dapur. ‘Bagaimana bisa ia melamun ditengah keramian seperti ini? Apa semalam ia kurang tidur?’

Gadis itu lantas berjalan menghampiri Nancy yang berdiri tak jauh darinya. Tanpa sengaja ekor matanya melihat sebuah loyang berisi bongkahan es yang berhasil memunculkan ide gilanya seperti sebuah lampu terang tengah melayang diatas kepalanya. Kemudian ia mengambil sebongkah es yang berukuran cukup besar lalu menempelkannya tepat di pipi kanan Nancy. Wanita paruh baya itu terlonjak kaget, berteriak cukup keras sambil memegangi pipi kanannya. Tawa gadis usil itu meledak, memenuhi ruangan yang berisi penuh dengan makanan. Ia sangat senang bisa mengerjai para pelayannya seperti ini. Sebuah hiburan tersendiri bagi Stevani bisa mellihat wajah-wajah terkejut para pelayannya. Hal itulah yang disukai para pelayan rumahnya. Meskipun terkadang Stevani terlihat sangat dingin dan tidak peduli, namun pada dasarnya gadis itu sangatlah hobi menjahili semua orang yang ada disekitarnya. Dan yang paling sering menjadi sasaran untuk menyalurkan hasrat keusilannya adalah Nancy dan Alice. Dua orang itu sudah seperti mainan untuk Stevani ketika ia dilanda bosan yang teramat sangat. Dan hanya pada ibu dan anak itulah Stevani bisa merasakan bagaimana hangatnya berada ditengah-tengah keluarga normal seperti pada umumnya. Tidak seperti keluarganya yang hanya sibuk memikirkan urusan masing-masing tanpa mau meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol, membicarakan berbagai pengalaman yang mereka dapat selama menekuni dunia seni.

“Hahaha... lihatlah wajah terkejutmu itu, Nancy! Kau terlihat seperti bayi! Hahaha...” Semua pelayan yang ada di dalam ruangan itu, sontak mengalihkan perhatiannya pada sosok Nancy yang masih memegangi pipi kanannya. “Ya sudah, aku mau menyiapkan diriku sebelum berangkat. Jangan lupa, berikan potongan sosis di dalam supku. Alice, bisakah kau membantu ibumu menyiapkan sarapan?” Alice mengangguk sekali kemudian berjalan mendekati lemari perabot dan mengambil beberapa mangkuk kecil.

Gadis usil tadi segera beranjak dari tempatnya, meninggalkan para pelayannya yang sibuk mengurus sarapan keluarganya, dan menghilang dibalik pintu dapur. Namun, ia kembali masuk kedalam lalu memeluk tubuh Nancy dari belakang. Mencium pipinya kemudian membisikkan tiga kata ditelinga kirinya yang mampu membuat wanita paruh baya itu menarik kedua sudut bibirnya ke atas, membentuk sebuah seyuman yang indah. Setelah itu, Stevani benar-benar meninggalkan dapur dan menaiki tangga menuju lantai dua dengan riang. Tampak segar dan bahagia.

“Aku sangat menyayangimu,” gumam Nancy pelan, mengulangi kata-kata Stevani yang masih berdengung jelas ditelinganya. “Tetaplah seperti itu, Nyonya Muda,” batin Nancy yang kini sudah mulai menuangkan sup hasil buatan Stevani ke dalam mangkuk-mangkuk kecil itu.

***

Bangunan besar nan kokoh yang disebut dengan gedung itu terlihat sangat sepi. Biasanya, suasana disekitarnya akan menjadi ramai ketika jarum jam sudah menunjukkan angka tujuh. Tapi ini masih terlalu pagi. Sangat pagi. Jarum jam masih belum beranjak dari angka enam sejak Stevani berangkat. Gadis itu lantas mengangkat kedua tangannya ke atas, merentangkannya sejauh mungkin. Merenggakan kedua tangannya dan menghirup udara segar sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya perlahan. Ia sangat menyukai udara bersih di pagi hari. Belum ada polusi dan debu yang bercampur didalamnya. Masih begitu alami dan menyegarkan. Gadis itu melanjutkan langkahnya menuju suatu tempat yang bisa melatih jari-jarinya untuk bergerak di pagi hari ini. Ia berjalan cukup pelan sambil memejamkan kedua matanya sepanjang koridor, seolah ia menghafal betul tata letak ruang yang ada di dalam gedung itu. Setelah cukup lama ia berjalan lurus, beberapa detik kemudian ia membelokkan arah kakinya ke kanan, masih dengan mata terpejam. Terlihat seulas senyum di wajahnya putihnya. Tampak begitu tenang dan mempesona. Dapat membius siapa saja yang melihat paras bidadari itu. Auranya memancar begitu pekat hingga setiap gadis yang melihatnya merasa iri. Terlalu sempurna. Itulah definisi yang bisa diberikan untuk menggambarkan sosok gadis bermarga Weber itu.

Tak lama kemudian, langkah kakinya terhenti seketika saat hitungannya dirasa cukup. Pelan-pelan, ia membuka kedua matanya yang sejak tadi terpejam. Tangan kanannya terulur, memegang gagang pintu bercat coklat yang ada di hadapannya, kemudian memutarnya ke kanan. Pintu itu terbuka dan menampakkan sebuah ruang yang berisi beberapa alat musik di dalamnya. Tirai coklat yang sudah terbuka membuat sinar keemasan itu menembus masuk melalui jendela sehingga alat-alat musik itu terlihat bersinar. Pencahayaan yang begitu cantik dan menarik. Gadis itu mematung di tempatnya sambil memandang takjub sebuah pemandangan yang tersaji di depan matanya sampai-sampai ia hampir lupa bagaimana caranya berkedip. Ini adalah pertama kalinya ia berangkat sepagi ini dan mendatangi tempat yang jarang ia lewati. Bola mata hitamnya bergerak-gerak, menelusuri setiap sudut ruangan cantik itu. Dekorasi yang didominasi dengan warna coklat itu semakin menambah kesan elegan di dalamnya. Gadis itu masih bergeming di ambang pintu sampai sebuah suara dentingan piano memaksanya untuk melangkah maju, memasuki ruangan yang penuh dengan berbagai alat musik. Kepalanya menoleh ke kanan, mendapati sebuah Grand Piano dengan sepasang sepatu di bawahnya. Ia mengerutkan keningnya heran, tidak menyangka akan ada seseorang disini.

Gadis itu lantas berjalan cukup pelan mendekati Grand Piano, tidak ingin mengganggu seseorang yang tengah duduk manis menikmati setiap dentingan tuts-tuts piano yang ia ciptakan. Ia sedikit melebarkan matanya agar ia bisa melihat siapa yang ada di balik Grand Piano itu. Namun, siapa sangka kalau orang yang tengah asyik memainkan tuts-tuts piano itu adalah mahasiswa baru di kampusnya. Gadis itu tercekat, menahan napasnya cukup lama. Dengan cepat, ia segera membalikkan badannya sambil menapakkan telapak kakinya dengan sangat pelan. Berusaha menghindar dari sosok yang mampu membuat detak jantungnya menjadi tak beraturan. Dengan sangat pelan, ia berjalan berjingkat seperti pencuri yang menyusup ke dalam rumah untuk mencuri. Gadis itu bertingkah cukup konyol yang tanpa ia sadari sepasang mata tengah menatapnya heran. Menyaksikan tingkah konyolnya yang membuat orang itu hampir meledakkan tawanya. Tanpa orang itu inginkan, sudut bibir kirinya terangkat ke atas, membentuk sebuah senyuman miring yang sangat menawan. Sorot matanya yang tajam terus memperhatikan tingkah Stevani yang terlihat begitu menarik di matanya. Sinar matanya menatap gadis itu hangat, seperti matahari yang selalu menatap bumi dengan segala kehangatan yang dimilikinya. Dadanya terasa sedikit berbeda dari biasanya. Terasa sangat aneh dengan debaran jantung yang semakin lama semakin cepat. Ia sendiri tidak tahu mengapa, tapi perasaan itu selalu mengusiknya dan akan berhenti hanya jika kedua bola matanya menangkap sosok bayangan gadis itu. Orang itu melipat kedua tangannya di depan dadanya dan memiringkan kepalanya ke kiri, berusaha melihat gadis itu dengan lebih jelas. Tinggal beberapa langkah lagi, gadis itu akan segera sampai ditempat tujuannya. Yaitu sebuah pintu untuk ia berlari keluar sejauh mungkin, menghindari seorang pria yang akan membuatnya mati karena kehilangan detak jantungnya. Namun, belum sempat ia menapakkan kaki kirinya ke lantai, jantungnya kembali berpacu sangat kencang ketika suara bariton itu berhasil menggetarkan gendang telinganya. “Mungkin sebentar lagi aku akan mati,” pikir Stevani yang masih bertahan dengan posisinya saat ini.

“Kau mau kemana? Masuk tanpa permisi dan keluar tanpa izin. Seperti pencuri saja,” ucap sebuah suara bariton yang sukses menghentikan langkah gadis itu. Ia kembali tersenyum saat mendapati ekspresi Stevani yang terlihat sangat panik. Ia merasa sangat senang bisa melihat ekspresi lucu itu tercetak jelas di wajah cantik Stevani. Terasa begitu menenangkan.

“A-aku... aku ti-tidak sengaja lewat sini. Jadi, aku masuk saja dan ternyata kau ada disini. Maaf sudah mengganggumu. Aku permisi,” pamitnya lalu bergegas berjalan melewati pintu dan menutupnya kembali. Gadis itu langsung menyandarkan tubuhnya di pintu, tangan kanannya memegangi dada kirinya yang terasa sangat sesak. Napasnya tersengal-sengal, seperti habis berlari sejauh dua ratus meter. Ia menghirup oksigen sebanyak yang ia bisa, kemudian menghembuskannya perlahan, berusaha menstabilkan detak jantungnya yang bekerja terlalu cepat.

Sedangkan seorang pria yang masih duduk di bangku panjang itu hanya diam menyaksikan kepergian Stevani. Sorot matanya yang semula tampak bersinar, kini mulai meredup seperti sinar matahari senja yang menyembunyikan cahayanya. Dilema. Itulah yang sedang ia rasakan. Tujuannya meneruskan pendidikannya ke tempat ini adalah untuk kesuksesannya kelak, bukan untuk mencari cinta yang mungkin akan menghambat atau bahkan menghancurkan mimpinya. Tapi, bukankah cinta memang selalu seperti itu? Datang semaunya dan membuat kacau perasaan seseorang tanpa ampun. Meskipun pria itu berusaha menghindari setiap gadis disekelilingnya, namun apa daya pesona yang dimiliki gadis itu begitu memikat sehingga membuatnya sedikit goyah dan tidak fokus dengan apa yang sedang ia kejar saat ini.

‘Bisakah aku mengabaikannya? Bisakah? Tapi mengapa hatiku terasa seperti tersayat saat sosoknya hilang dari jarak pandangku? Mungkinkah aku sudah terjatuh ke dalam sebuah perangkap dengan berbagai macam tipu daya didalamnya yang disebut.. cinta?’

****
To Be Continued....

Hahaha akhirnya berhasil juga di post. gimana? pada mau dilanjutin gak? kalo iya, komen yang banyak yaaaa :D jangan pelit komen pokoknya. See You Next Time! Bye Bye ~~

œ