Author : I.A.Eve
Di WP aku yang https://iaeveleandra.wordpress.com juga akan di post ff dengan cast kyu-rae.
Moga moga suka ya….
Happy Reading :D
Biarkan TYPO menikmati bagiannya...
Genre : Sad, hurt, school life
Di WP aku yang https://iaeveleandra.wordpress.com juga akan di post ff dengan cast kyu-rae.
Moga moga suka ya….
Happy Reading :D
Biarkan TYPO menikmati bagiannya...
______*****_______
Hidden Love
“..apa susahnya mengatakan ‘CINTA’
kepadaku?
Bukannya aku memaksa,
tapi katakan saja agar hatimu terasa
damai
Semakin lama kau pendam,
maka akan semakin besar rasa sakit
yang kau rasakan
Katakan saja...
Aku hanya ingin mendengarnya
Karena ‘CINTA’ telah membuatku tak
bisa lepas darimmu
Meskipun kau memintaku untuk menjauh
dari jarak pandangmu sekalipun...”
Sudah hampir sebulan Stevani menjadi mata-mata. Kemana pun Flyn pergi,
dengan senang hati Stevani akan mengikutinya. Tapi seminggu terakhir, akhirnya
Stevani menyadari sesuatu. Selama ini memang Stevani pandai bersembunyi saat
sedang mengikuti Flyn, tapi apakah Flyn tidak merasa jika sedang diikuti?
Sekalipun Flyn tidak pernah menengok kebelakang untuk memastikan dibelakangnya
tidak ada siapa-siapa. Lama-kelamaan Stevani menjadi bosan dan memutuskan untuk
berhenti mengikuti Flyn. Karena tujuannya mengikuti Flyn adalah demi
mendapatkan informasi tentang kehidupannya dan keluarganya. Tapi sudah sebulan
penuh terlewat dan Stevani tidak membawa hasil apa-apa.
Dengan langkah gontai, Stevani menghampiri Lissa yang tengah asik membaca
novel di halaman kampus. Wajahnya yang sebelumnya terlihat sangat putus asa
kini berubah menjadi sangat kesal. Sudah berkali-kali ia menghembuskan napasnya
kasar tapi tetap saja Lissa tidak menyadari kehadirannya. Kali ini ia menarik
napasnya panjang dan menghembuskannya dengan keras.
“Bisakah kau memberitahuku tentang Flyn? Apapun itu aku mau,” rengek
Stevani yang terdengar sangat lucu bagi Lissa.
“Berusahalah kalau kau mau mengetahui seluk beluk tentang dirinya. Kau
sudah memata-matainya, harusnya kau sudah mendapatkan informasi yang cukup
banyak,” sahut Lissa tanpa mengalihkan pandangannya dari novel yang tengah
dibacanya.
“Baiklah kalau itu maumu. Justin Lee. Mahasiswa pindahan dari Korea yang
sangat tampan dan juga berwibawa. Banyak sekali gadis di luar sana yang
mengaguminya, ah bahkan mencintainya. Termasuk kau, Lissa. Benar, ‘bukan? Oh
God! Sepertinya kau memang sudah melupakan masa lalumu, Lissa. Tidak kusangka, perasaanmu
akan berubah secepat ini,” ujar Stevani seraya menggeleng-gelengkan kepalanya
seolah ia tidak percaya dengan fakta yang ia ketahui.
“Sialan kau, Gabi!” umpat Lissa seraya menutup novelnya dengan gusar.
“Hahaha.... Jadi?”
“Flyn Williams, ia adalah putra tunggal hasil pernikahan Alex Frankley
dan Anna Lin. Ia berasal dari keluarga miskin yang beruntung bisa meneruskan
pendidikannya ke Royal College of Music karena sebuah beasiswa yang ia
dapatkan. Kemampuan dan pengetahuannya mengenai musik tidak perlu diragukan
lagi. Ia sangat cerdas dan pandai sekali memainkan alat musik. Dan ia disini
hanya sendiri, aku juga tidak tahu dimana sebenarnya ia tinggal mengingat
Kensington adalah kawasan elit sedangkan ia disini hanya mengandalkan
beasiswanya. Yah, yang kutahu hanya sampai sebatas itu. Selebihnya aku tidak
tahu.”
“Anna Lin? Pantas saja wajahnya memiliki garis wajah Asia yang membuatnya
semakin tampan. Hah.. beruntungnya ia memiliki wajah setampan itu.”
“Hentikan kicauanmu itu, Nona Euforia! Aku muak mendengarnya,” sahut
Lissa yang terlihat jengkel dengan sikap berlebihan Stevani hari ini.
“Tapi dilihat dari latar keluarganya yang kurang mampu, dimana ia tinggal
sekarang? Kira-kira disekitar sini adakah sewa apartemen yang murah?”
“Kau bodoh atau apa? Kensington adalah kawasan elit yang hanya dikunjungi
oleh orang-orang kaya saja. Sewa hotel sudah dapat dipastikan tidak ada yang
murah, apalagi apartemen. Apa kau lupa dimana kau tinggal, hah? Sepertinya aku
harus mengajakmu keliling Kensington agar kau mengingatnya.”
“Kalau begitu, ia tinggal dimana? Jangan-jangan–“
“Jangan bodoh, Gabi. Ia tidak mungkin tidur di teras toko. Mungkin ada
sebuah motel yang harganya cukup terjangkau. Harusnya kau tahu dimana ia
tinggal mengingat selama hampir sebulan kau terus mengikutinya.”
“Kau tahu sendiri kan, jalanan Kensington selalu ramai. Aku selalu saja
kehilangan jejaknya ditengah-tengah pengintaianku. Jadilah aku tidak mendapat
hasil sedikitpun.”
“Jadi apa yang kau lakukan selama sebulan ini hanya sia-sia?”
“Yeah. I’m just wasting my time with useless.”
***
“Hi. I’m Justin Lee, transfered from Korea. You can call me Justin. Nice
to meet you,” ucap seorang pria yang kini sedang menunggu uluran tangan dari
seseorang yang diajaknya bicara.
“Flyn. Nice to meet you too,”
sahutnya tanpa membalas uluran tangan yang sejak tadi sudah ada di hadapannya.
Justin hanya tersenyum simpul,
tidak menyangka bahwa orang yang diajaknya berkenalan itu sama sekali tidak
memiliki ekspresi wajah dan juga berkepribadian buruk. Yang benar saja, sejak
awal ia bicara tangannya sudah terulur tepat di depan wajah Flyn, tapi tanpa
rasa bersalah Flyn hanya meliriknya sebentar lalu matanya kembali pada buku
yang tengah dibacanya.
“I hope we can be friends,” kata
Justin sebelum memfokuskan dirinya pada pelajaran.
“Kau lihat? Betapa sombongnya ia. Sungguh menjengkelkan!” omel Lissa yang
ternyata sejak awal masuk kelas sudah memperhatikan Justin.
“Who’s care?” bisik Stevani yang terdengar jelas di telinga Lissa.
“Awas saja kalau ia berani mengacuhkan Justin lagi. Akan ku pastikan ia
akan pulang tanpa sepeda kesayangannya,” ucap Lissa seraya menatap tajam kearah
Flyn.
Saat ini Stevani dan teman-temannya sedang berada di ruang musik dan
sialnya Stevani sangat buruk dalam memainkan sebuah biola meskipun ia sudah mengikuti
les biola.
“Baik anak-anak, di depan kalian sudah ada biola. Sebelum kita
memainkannya, ku harap diantara kalian ada yang bisa menjelaskan sedikit
tentang biola.”
“Biola adalah sebuah alat musik berdawai yang diperkirakan berasal dari
budaya penunggang kuda di kawasan Asia Tengah, contohnya alat musik bangsa
Mongolia, Morin Huur. Biola sendiri memiliki empat senar, yaitu G D A dan E
yang disetel berbeda satu sama lain dengan interval sempurna kelima. Nada yang
paling rendah adalah G. Diantara keluarga biola, yaitu dengan viola, cello, dan
double bass atau kontra bass, biola memiliki nada yang tertinggi.”
“Beri applause
yang meriah untuk Flyn! Sungguh betapa bahagianya aku jika memiliki mahasiswa
secerdas dirimu,” seru Mr.Hery seraya melirik Lissa yang mendengus sebal karena
ia merasa di hina oleh gurunya sendiri.
“Flyn?”
gumam Stevani yang ternyata terdengar sampai ke telinga sang pemilik nama. Flyn
yang merasa terpanggil itu pun menoleh ke kanan dan mendapati Stevani tengah
menatapnya tanpa berkedip.
“Kau memanggilku?” tanya Flyn yang kini wajahnya sudah terpampang jelas
di depan wajah Stevani.
Kesadaran Stevani baru kembali setelah Flyn mengajaknya berbicara. Ia
bingung harus menjawab ‘Ya’ atau ‘Tidak’. Jika ia menjawab ‘Ya’, apa yang harus
ia katakan supaya ia bisa berbicara dengan Flyn lebih lama lagi? Sedangkan jika
ia menjawab ‘Tidak’, itu artinya ia telah menyia-nyiakan kesempatan emas yang
sudah ada di depan matanya.
“Uumm.. Ya. Bagaimana bisa kau tahu semuanya? Mulai dari para komposer
sampai alat musiknya. Bukankah itu sulit?” Akhirnya Stevani memberanikan diri
untuk menjawab ‘Ya’ yang berhasil membuat keringat dingin mengucur deras.
“Kalau kau mau belajar maka tidak ada hal yang sulit. Bukannya kau juga
ahli dalam hal teori?” tanya Flyn yang dibalas anggukan kecil Stevani kemudian kembali
ke posisi semula.
Meskipun ia menjawab tanpa ekspresi, tapi rasa bahagia yang sedang
dirasakan Stevani seakan membuncah memenuhi seluruh rongga dadanya. Rasa
bahagianya sudah mencapai level tertinggi hingga rasanya ingin sekali berteriak
lantang, memberitahu pada dunia bahwa ia sangat bahagia.
***
“Maaf anak-anak, aku sedikit terlambat karena ada
urusan yang harus ku selesaikan,” ucap seorang wanita yang baru saja memasuki
kelas.
‘Mrs.Paul? Untuk apa ia kesini? Bukankah ia hanya
mengajar hari Selasa dan Kamis? Jadi mengapa ia... Astaga!’
“Justin, hari apa sekarang?” tanya Stevani panik.
“Kamis. Memangnya kenapa? Kau lupa kalau hari ini ada
test?”
“Demi Ratu Victoria! Mengapa kau tidak memberitahuku,
Justin? Hah.. kacau! Semuanya kacau!” omel Stevani sambil mengacak-acak
rambutnya gusar. Ia menunduk berusaha menyembunyikan wajahnya hingga keningnya
membentur pelan meja yang ada di depannya.
“Mengapa harus ada test? Mengapa?” gumam Stevani yang
membuat Justin semakin bingung dengan sikap anehnya.
“Baik anak-anak, sesuai janji hari ini kita akan
melakukan test praktik. Dan alat musik yang akan kita mainkan adalah piano
bukan biola seperti janji kita. Jadi, siapa diantara kalian yang berminat untuk
menjadi yang pertama? Aku akan memberikan tambahan nilai bagi siapa saja yang
maju pertama. Lagu yang kalian mainkan bebas, jadi kalian boleh memainkan semua
lagu yang kalian bisa. Very simple, isn’t it?”
Stevani yang memang jago dalam bermain piano segera
mengangkat tangannya tinggi-tinggi berharap ialah yang menjadi peserta pertama.
Tapi sayangnya ia kalah cepat dengan pria yang duduk disampingnya. Dengan
sebal, ia menurunkan tangannya lalu melipat tangannya di depan dada. Ia menatap
kesal pada Justin yang kini sudah beranjak dari tempat duduknya.
“Oh, Justin Lee, mahasiswa pindahan dari Korea. Apa aku
salah?” tanya Mrs.Paul yang berjalan mendekati Justin.
“Tidak, Mrs.Paul,” jawab Justin yang sudah duduk di
depan Grand Piano yang akan ia mainkan.
“Baiklah, ku harap kau berhasil melalui test ini dengan baik. Kau bisa
memulainya.”
Mendadak suasana kelas menjadi hening. Tidak ada
satupun suara yang terdengar selain alunan musik yang Justin mainkan. Sangat
indah. Itulah definisi yang dapat digambarkan. Justin memainkannya dengan
sangat lembut sesuai dengan irama musiknya yang mellow. Melihat suasana
romantis seperti ini membuat Stevani membayangkan jika yang berada disana
adalah Flyn dan memainkan musik tersebut khusus untuk dirinya. Sedangkan Lissa
tidak pernah berkedip semenjak jari-jari Justin mulai menekan tuts-tuts piano
yang membuatnya diam terpaku.
“Wow! Beri tepuk tangan yang meriah untuk Justin!”
sorak Mrs.Paul yang terlihat sangat puas dengan permainan Justin.
“Wohoo! Kau hebat, Justin! Sangat Hebat!” teriak Lissa sambil
memberikan applause yang meriah saat Justin berjalan melewatinya.
“Kau menyukai Justin?” tanya sebuah suara bariton tepat
berada ditelinga Lissa.
“A...apa maksudmu? Aku tidak mengerti,” jawab Lissa
gugup karena tidak menyangka Flyn akan mengetahuinya.
“Kau tidak ada bedanya dengan temanmu yang bernama Gabi
itu. Sama-sama pembohong,” sahut Flyn tanpa mempedulikan wajah Lissa yang sudah
memerah.
“Apa pedulimu? Toh, itu semua tidak ada sangkut pautnya
denganmu,” protes Lissa yang sama sekali tidak ditanggapi oleh pria yang kini
kembali sibuk dengan bukunya.
Saat akan mengangkat tangannya, ia baru sadar akan
ucapan Flyn yang memanggil Stevani dengan nama ‘Gabi’.
‘Ia memanggilnya... Gabi? Benarkah? Ah, mungkin
telingaku sedang sedikit bermasalah. Mana mungkin orang asing berani
memanggilnya ‘Gabi’? Hah, membuatku kaget saja.’
“Ya, kau, Nona Weber. Silahkan maju dan tunjukkan
kemampuanmu memainkan tuts-tuts piano.”
“Gabi? Sialan kau Flyn!” umpat Lissa dalam hati.
Fur Elise. Itulah yang Stevani mainkan saat ini.
Jari-jari kecilnya terlihat sangat lincah menekan tuts-tuts piano yang sudah
tidak asing baginya karena ayahnya adalah seorang pianis ternama. Tempo Fur
Elise yang terkesan sulit ternyata tidak mengganggu Stevani sama sekali. Ia
tampak menikmati setiap nada yang ia mainkan. Fur Elise memang tergolong sulit
bagi beberapa orang, termasuk Lissa. Tapi bagi Stevani semua yang berhubungan
dengan piano bukanlah suatu masalah. Telinganya yang sangat peka terhadap
setiap nada membuatnya mudah dalam memainkan piano. Hanya piano. Tidak termasuk
alat musik lain. Dan parahnya, ia sama sekali tidak bisa menggunakan alat musik
apapun selain piano.
Sudah tiga menit berlalu dan alunan musik Fur Elise
berhenti. Tapi tidak seorang pun bersorak ataupun bertepuk tangan seperti saat
Justin selesai membawakan musik instrumental.
‘Sebenarnya apa yang terjadi? Apa aku berbuat
kesalahan? Apa permainanku barusan sangat buruk?’ pikir Stevani yang sudah
merasa sangat canggung berada di depan dan dilihat seluruh pasang mata.
Dengan sedikit kecewa, akhirnya ia memutuskan untuk
kembali menuju bangkunya. Tapi langkahnya segera di halangi oleh Mrs.Paul yang
sudah berdiri di hadapannya.
“Mau kemana kau, Nona Weber?” tanyanya tajam membuat
Stevani bergidik ngeri.
“A..aku akan kembali ke tempat dudukku, Mrs.Paul. Aku
sudah selesai dan sepertinya aku gagal dalam test ini. Maaf,” jawab Stevani
sambil menunduk. Ia tidak berani menatap Mrs.Paul yang saat ini tengah
menatapnya tajam.
“Siapa yang mengatakanmu gagal, nona? Adakah diantara
kalian ada yang mengatakan kalau ia gagal dalam test ini?” tanya Mrs.Paul pada
seisi kelas.
Mereka yang sedari tadi diam hanya menggeleng pelan.
Dan itu semakin membuat Stevani serba salah.
“Besok, empat hari setelah natal, akan ada festival di
Kyoto Garden. Kita diminta untuk mengirimkan beberapa orang yang berbakat dalam
bermusik. Dan orang pertama yang ku pilih adalah kau, Nona Weber. Kau harus
menghadiri acara festival itu atau ayahmu akan ku beritahu soal kemampuanmu dalam memainkan alat musik. Jadi
kau tidak punya alasan untuk menolak, Nona Weber,” jelas Mrs.Paul diikuti
tatapan tak percaya dari Stevani.
“Sungguh? Aku.. aku menghadiri acara besar itu? Kau
pasti bercanda!” ucap Stevani setengah
tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Alasan apa yang membuatku harus berbohong, Nona Weber?
Permainanmu tadi sangat hebat, sama seperti ayahmu. Jadi kupikir memilihmu
untuk mengisi acara itu bukanlah sebuah kesalahan. Bagaimana menurutmu?”
“Oh God! Jadi kau serius? Haha.. aku sangat
menginginkan hal itu, Mrs.Paul. Itu adalah mimpiku sejak kecil! Terimakasih
Mrs.Paul. Aku berhutang padamu.”
“Sekarang kembalilah ke tempat dudukmu. Berikan
kesempatan untuk Lissa yang sepertinya sudah tidak tahan untuk menunjukkan
kemampuannya.”
Stevani mengangguk lalu berjalan menuju tempat duduknya
dengan wajah cerianya. Ia sama sekali tidak menyangka akan mengisi acara yang
selama ini menjadi impiannya. Bukankah itu hal bagus? Ia bisa menunjukkan pada
ayahnya bahwa putri bungsunya tidak kalah dengan kedua kakaknya walaupun ia
tahu hal itu tidak akan merubah apa-apa, termasuk rencana ‘terkutuk’ ayahnya.
***
Setelah kelas usai, Lissa segera mengejar Stevani yang sudah keluar kelas
lebih dulu tanpa menunggunya. Lissa merasa harus bertemu dengan Stevani untuk
menanyakan suatu hal yang dianggapnya sangat penting.
“Gabi! Tunggu aku!” teriak Lissa saa melihat Gabi tengah menuruni tangga.
“Bisakah kau menungguku? Aku hampir mati karena jantungku berdetak sangat
cepat akibat berusaha mengejarmu. Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padamu,
Gabi,” ucap Lissa terengah-engah.
“Apa yang kalian bicarakan tadi? Terlihat sangat mesra sekali!” sahut
Stevani ketus.
“Kalian? Maksudmu Flyn? Astaga, Gabi! Kau cemburu? Jadi alasan mengapa
kau tidak menungguku adalah karena kau marah? Astaga! Kau itu kekanak-kanakan
sekali. Seharusnya yang cemburu itu aku bukan kau, Gabi. Hah.. ia tadi hanya
bertanya apakah aku menyukai Justin dan itupun berakhir dengan kemarahanku
karena mulutnya sama sekali tidak mempunyai sopan santun. Jadi apa kau masih
cemburu?”
“Kau yakin dengan ucapanmu? Tidak berbohong?” tanya Stevani menyelidik
yang membuat Lissa memutar bola matanya malas.
“Terserah kau percaya atau tidak, yang jelas aku bukan pembohong
sepertimu, Nona Weber.”
“Baiklah. Lalu apa yang ingin kau tanyakan tadi?”
“Tentang mimpimu sejak kecil. Bukankah mimpimu adalah menjadi dokter?
Tapi mengapa tadi kau mengatakan bermain piano di Kyoto Garden adalah mimpi
kecilmu?”
“Kau itu selalu saja ingin tahu! Dulu saat aku masih kecil, aku sangat
mengagumi ayah. Sampai-sampai aku bermimpi akan menjadi penerus ayah suatu saat
nanti. Tapi seiring berjalannya waktu, ayah menjadi otoriter dan terus
memaksaku untuk menjadi pianis sama sepertinya. Aku yang waktu itu sudah
tertarik dengan dunia kedokteran mendadak menjadi benci dengan dunia musik saat
mendengar keputusan sepihak ayah. Dan sejak itulah, aku sama sekali tidak
tertarik dengan musik. Tapi semenjak kedatangan Flyn, tiba-tiba saja
keinginanku untuk bermusik muncul kembali. Dan puncaknya adalah aku akan
mengisi acara besar di festival Kyoto Garden! Hebat bukan?”
Lissa menghembuskan napas sebal karena ocehan Stevani yang terdengar
seperti segerombolan lebah di telinganya. Terlebih ocehannya tadi hanya
berujung pada seorang pria yang tidak disukainya, Flyn.
“Kau bisa sebahagia ini setelah kau marah dan cemburu padaku? Aku tidak
peduli apa kau akan kembali bermusik atau apapun tentang Flyn, yang kupedulikan
adalah jangan dekati Justin lagi. Apa kau mengerti?”
Stevani diam. Ia sama sekali tidak menggubris ucapan Lissa yang mungkin
kalau ia mendengarnya akan berakhir dengan perdebatan. Sayangnya, hal itu tidak
akan terjadi karena Stevani tengah memperhatikan sosok pria yang ingin ia
jadikan teman barunya. Lebih tepatnya teman dekat.
“Lissa, mungkin aku akan sedikit lama. Kau pulanglah duluan. Bye!” ujarnya
seraya berlari mendekati Flyn.
“Jadi sekarang kau lebih mementingkan Flyn daripada aku? Baiklah, aku
akan menunggumu dan melihat hasil apa yang kau dapat dari aksi gilamu itu.
Kalau saja si Autis itu sampai membuatmu menangis, lihat saja, aku tidak akan
tinggal diam,” gumam Lissa saat melihat wajah Flyn yang selalu tanpa ekspresi
dan sekaligus terlihat sangat memuakkan di mata Lissa.
“Flyn!” panggil sebuah suara yang selama ini selalu ia hindari.
“Hai. Uumm.. permainan pianomu tadi sangat hebat. Mungkin kau bisa
menjadi komposer terkenal besok. Dan aku sudah tidak sabar menunggu waktu itu,”
kata Stevani dengan menahan segala kegugupannya.
“Kau ingin pamer karena kau terpilih untuk mengisi acara itu, begitu?
Kudengar ayahmu yang sangat kaya itu menanamkan sahamnya disini, jadi bisa saja
itu tidak murni karena kehebatanmu bermain piano. Aku juga tidak butuh
sanjunganmu. Apa aku pernah meminta pujianmu? Sekalipun tidak pernah! Dan aku
tidak butuh saran apapun darimu! Apapun yang akan kulakukan sama sekali bukan
urusanmu! Jangan pernah dekati aku lagi, karena aku sudah muak setiap hari
harus melihatmu!”
Setelah mengucapkan beberapa kalimat yang sukses membuat shock Stevani, pria itu pergi tanpa
berkata sepatah katapun. Sedangkan Stevani masih mematung di tempatnya dengan
berurai air mata. Gadis itu terlalu sakit mendengar kata-kata Flyn yang lebih
mirip seperti pisau tajam. Hatinya terlalu perih hingga ia tidak mampu berkata
apapun. Semua harapannya selama ini sudah hancur hanya dalam waktu beberapa detik
tanpa bisa ia cegah. Ia mengepalkan tangannya, berusaha mengumpulkan
kekuatannya agar ia bisa menghentikan tangisnya. Tapi semua itu percuma karena
semakin keras ia berusaha menghentikannya maka semakin keras isakan tangisnya.
Lissa yang berada tidak jauh dari Stevani, segera menghampirinya setelah
melihat Flyn pergi. Dan saat Lissa mengetahui sahabatnya kini tengah menangis,
emosinya tiba-tiba saja sudah berkobar seperti api yang terkena angin. Lissa
sudah berjanji tidak akan tinggal diam jika mengetahuinya sahabatnya menangis
akibat ulah manusia autis itu. Berhubung manusia autis itu sudah pergi, ia
tidak bisa melakukan apa-apa terhadap pria itu. ‘Mungkin pembalasanku bisa
menunggu sampai besok.’
Stevani yang sadar jika Lissa sudah ada di depannya segera berhambur ke
dalam pelukannya dan melepaskan suara isakan tangis yang sedari tadi ia tahan.
Lissa membelai lembut gadis itu, berusaha memberi ketenangan pada sahabatnya.
Hatinya berdesir melihat sahabatnya yang sudah dianggapnya saudara itu menangis
karena seseorang untuk kedua kalinya. Sebenarnya sudah sejak awal Lissa
melarang Stevani untuk mendekati manusia autis itu, tapi Stevani tetap saja
keras kepala. Meskipun Stevani memiliki paras yang sangat cantik tapi di mata
Flyn ia tidak lebih dari seorang gadis biasa lainnya dan itu sama sekali tidak
mengundang perhatian Flyn. Itulah yang Lissa pikirkan terhadap Stevani di mata
Flyn.
Setelah cukup lama membiarkan Stevani menangis dalam pelukannya, akhirnya
Stevani bisa menghentikan tangisnya meskipun isakan-isakan tangisnya masih
terdengar sesekali dari bibir tipisnya.
“Sekarang kita pulang, Ny.Weber mungkin sudah menunggumu di rumah. Ayo,”
ajak Lissa yang dibalas anggukan kecil Stevani.
“Ini semua salahku. Seharusnya dari awal aku melarangmu untuk berharap
lebih padanya. Tapi aku salah, semuanya sudah terjadi. Mungkin kau harus bisa
menerima ‘cintanya’ mulai dari sekarang sebelum masalah ini semakin rumit. Ini
demi kebaikanmu, Gabi. Aku hanya tidak ingin melihatmu menangis atau hal buruk
lainnya menimpamu.”
***
Pagi-pagi sekali, Lissa sudah bersiap-siap akan
berangkat untuk suatu alasan. Ia tidak bisa tidur semalaman karena terus
memikirkan pembalasan yang pantas untuk manusia autis itu. Hingga sebuah ide
melintas di otaknya untuk membalas ucapan keji Flyn kemarin.
Lissa menepikan mobil Ferrarinya dan berjalan cepat
menuju perpustakaan. Ia tahu, setiap pagi manusia autis itu selalu berada di
perpustakaan demi mencari ketenangan tanpa ada seorangpun yang mengganggunya.
Dengan kasar, Lissa membuka pintu perpustakaan dan mengedarkan pandangannya
pada seluruh ruangan. Setelah beberapa detik ia mencari, akhirnya sorot matanya
tertuju pada satu titik, tepat di ujung ruangan dekat dengan jendela.
Tanpa membuang banyak waktu, ia berjalan menghampiri
seseorang yang sudah ia incar sejak kemarin. Lissa menghentikan langkahnya
tepat di depan Flyn. Pria yang menyadari akan kehadiran orang lain, mendongak
dan tersenyum miring saat mengetahui siapa yang ada dihadapannya.
“Mencari Justin?” Itulah kata pertama yang berhasil
menaikkan emosi Lissa.
“Kau! Flyn Williams! Kau kira kau itu siapa? Hah?!
Beraninya kau berkata tidak sopan dan membuat Gabi menangis! Asal kau tahu,
hanya sebuah keberuntungan kau bisa meneruskan pendidikanmu disini. Hanya
sebuah keberuntungan! Ingat itu! Jika tidak karena beasiswamu itu, kau bukan
apa-apa dibanding Stevani yang merupakan putri keluarga Weber. Oh ya, satu
lagi. Jangan pernah sekali-sekali kau mendekati Gabi dan membawa nama keluarga
Weber di depan siapapun. Karena itu tidak pantas untuk kau ucapkan mengingat
kau hanya orang kecil disini. Kuharap kau bisa mengerti ucapanku dan merubah
sikapmu itu! Aku permisi!” Lissa melenggang pergi dengan perasaan lega. Ia
sudah sangat puas bisa membalas ucapan Flyn yang tak kalah kejam dengan ucapannya
tadi. Mungkin apa yang ia katakan barusan memang terlampau batas, tapi toh itu
semuanya Flyn yang memancingnya untuk mengeluarkan umpatan-umpatan kejamnya.
Dan Flyn? Pria itu tercengang dengan apa yang ia
dengar barusan. Ia sama sekali tidak menyangka gadis itu berani mengatainya
hingga sekejam itu. Tangannya meremas lembaran buku tengah ia baca. Hinaan yang
keluar dari mulut gadis itu benar-benar membuat Flyn mencapai puncak emosinya.
Rasanya ingin segera meledak tapi ia masih ingat bahwa dirinya sedang ada di
perpustakaan. Tidak mungkin baginya untuk berteriak di tempat yang melarangnya
bersuara. Hanya orang bodohlah yang berbicara dengan sangat keras di
perpustakaan hingga membuat semua yang ada di sana menatapnya heran, yaitu
Lissa.
Pria itu lantas memasukkan buku-bukunya kedalam tasnya
dan berlalu meninggalkan beberapa orang yang sedari tadi masih menatapnya. Pria
itu terlalu kesal hingga ia tidak bisa mengendarai sepedanya dengan baik.
Terbukti sudah beberapa kali ia hampir menabrak lampu jalan yang memang ada di
sepanjang jalan Kensington. Dadanya bergemuruh sangat hebat. Terselip perasaan
bersalah dihatinya yang entah mengapa muncul saat Lissa datang dan memarahinya
habis-habisan.
Dengan sangat tiba-tiba ia mengubah arah sepedanya
yang kini melaju menuju Kensington Garden untuk menenangkan dirinya.
Sesampainya di Kensington Garden, ia meninggalkan sepedanya di pinggir lapangan
dan berjalan mencari tempat yang mungkin bisa membuatnya merasa tenang. Ia
duduk dibawah pohong rindang dan menyandarkan punggungnya pada pohon besar itu.
Sejak kepindahannya ke Kensington, ia selalu sendiri. Orang tuanya tidak bisa
ikut karena memang masalah keuangan yang mendera keluarga Flyn. Sedangkan
penduduk Kensington selalu membuang-buang uangnya hanya untuk bersenang-senang
dan itu sukses membuatnya marah. Tidak bisakah mereka menyisihkan sebagian dari
uangnya untuk orang yang tidak mampu? Seegois itukah orang-orang kaya? Masihkah
diantara orang-orang kaya yang selalu membuang uangnya memiliki kepedulian
terhadap orang lain?
Terlintas dalam pikirannya bahwa ada satu orang yang
peduli padanya. Bahkan sangat peduli. Tapi itu sudah berakhir sejak
kata-katanya menghancurkan semuanya. Stevani. Ia adalah satu-satunya orang yang
peduli terhadap Flyn namun seakan tidak tahu terima kasih Flyn malah
melukainya. Membuatnya menangis hanya dalam hitungan detik. Perasaan itu,
perasaan bersalah yang ia rasakan tadi muncul kembali saat ia teringat Stevani.
‘Haruskah aku meminta maaf kepadanya? Tapi apa ia akan memaafkanku mengingat
ucapanku yang sangat kejam waktu itu?’
Ia memijat keningnya yang terasa sangat pusing karena
berbagai masalah yang berkecamuk dipikirannya. Ia telah berbuat kesalahan dan
mungkin itu akan sulit ia perbaiki. Ia telah melanggar janjinya. Ia telah
merusak rencana yang ia buat selama ini. Ia telah menghancurkannya. Dan mungkin
ia harus merubah rencananya mulai dari sekarang dan melupakan apa yang selama
ini ia inginkan. Ia menyerah. Bendera putih sudah terkibar jelas di tangannya.
Ia sudah tidak bisa memungkiri perasaanya lagi seperti kemarin. Sekeras apapun
ia mencobanya, ia tidak akan mampu mengelak dari kenyataan bahwa ia telah jatuh
ke dalam perangkap gadis itu. Perasaan terkutuk itu kini telah menguasai dirinya
tanpa bisa ia cegah lagi. Semua sudah terjadi seiring berjalannya sang waktu
yang akan terus melangkah maju tanpa mau berhenti sekedar untuk memberikan
sedikit waktu pada manusia yang ingin kembali mundur dan memperbaiki
kesalahannya. Ini sudah menjadi takdir Tuhan dan tidak ada satupun yang bisa
merubahnya. Hanya hari esoklah yang Ia berikan pada makhluk ciptaannya untuk memperbaiki
kesalahan di masa lalunya. Tidakkah Tuhan sangatlah baik? Memberikan suatu
pelajaran pada makhluknya yang ia ciptakan dengan begitu sempurna supaya tidak
melakukan suatu hal yang buruk agar mereka tidak menyesal dikemudian hari. Itulah
mengapa Tuhan tidak pernah memutar balikkan waktu sedetikpun. Ia menginginkan hambanya
selalu melihat ke depan bukan menoleh kebelakang yang sampai kapan pun mereka tidak
akan pernah bisa kembali mengulanginya. Sekalipun tidak akan pernah bisa.
***
“Hey, ada apa denganmu? Wajahmu terlihat bahagia
sekali. Apa terjadi sesuatu diantara kalian?” tanya Stevani seraya menyenggol
bahu Lissa.
“Maksudmu?” Lissa bingung dengan
maksud ucapan Stevani yang tidak bisa ia mengerti.
“Kau dan Justin. Apa terjadi sesuatu? Seperti kencan,
mungkin?”
“What? Seandainya itu benar, maka aku akan berteriak
lantang di atas menara sana. Tapi, apa kulakukan itu sekarang?”
“Lalu apa? “
“Mr.Hery sudah datang. Lebih baik fokuskan perhatianmu
kedepan, jangan padaku. Good luck!”
“Good luck? Memangnya akan ada apa? Test? Tidak
mungkin! Jika ada test teori pasti tanpa diminta pun ia akan menjawabnya
dengan.... tunggu! Dimana ia? Tidak masuk? Tapi kenapa? Setahuku kemarin ia
baik-baik saja. Apa ia sakit?” gumam Stevani saat melihat bangku yang biasa dihuni
oleh Flyn kosong.
Seperti seorang detective yang sangat cerdas
menghubungkan kasus demi kasus, begitu
pun dengan Stevani yang mulai mengaitkan hubungan antara Flyn yang mendadak
hilang dengan Lissa yang terus-terusan menunjukkan senyumnya. Aneh memang jika
melihat Lissa terus-terusan menunjukkan senyumnya padahal biasanya ia hanya
tersenyum bila Stevani menggodanya. Tapi sekarang? Tanpa Stevani goda pun Lissa
sudah dapat tersenyum dengan sendirinya. Ditambah lagi, Flyn yang selama ini
selalu rajin mengikuti kelas mendadak menghilang.
“Sebelum kita memulai materi baru, aku ingin memberikan
kuis untuk kalian yang berhadiah menggiurkan. Apa kalian tertarik? Kuis ini
sangat mudah, aku yakin kalian semua pasti berebut untuk menjawabnya,” ucap
Mr.Hery seraya menunjukkan sebuah amplop.
“Memangnya apa isi amplop itu, Mr.Hery?” tanya salah
satu teman Stevani yang sepertinya sangat terobsesi untuk memenangkan kuis
bodoh itu.
“Rahasia! Kalian akan mengetahuinya kalau kalian
memenangkannya. Bagaimana?”
“Sudah bacakan saja kuisnya, tidak usah membuang
waktu,” usul Stevani yang tiba-tiba semangatnya hilang begitu saja setelah
mengetahui Flyn tidak masuk.
“Sebutkan minimal limabelas karya Beethoven yang kalian
tahu serta sejarah singkat mengenai Beethoven. Jadi siapa yang ingin
menjawabnya?” tanya Mr.Hery yang diikuti desahan pelan seisi kelas. Mudah?
Apanya yang mudah? Mungkin bagi Mr.Hery itu memang mudah tapi untuk murid-murid
itu sama sekali tidak mudah, meskipun ada satu yang mengetahuinya.
“Tidak ada yang bisa menjawabnya? Oh Tuhan, ini adalah
pertanyaan mudah bagaimana bisa kalian sebagai calom musisi tidak
mengetahuinya?”
“Berhubung Flyn tidak ada, maka aku memintamu untuk
menjawabnya, Nona Weber. Aku tahu kau hanya malas, tapi sebenarnya kau
mengetahuinya, bukan?” tunjuk Mr.Hery pada Stevani. Ya, hanya gadis itu yang
mengetahuinya. Bukankah ia memang lebih suka teori daripada praktek?
“Baiklah. Ludwig van Beethoven adalah putra dari Johann
van Beethoven yang bekerja sebagai penyanyi tenor dan ibunya Maria Magdalena
Keverich. Beethoven dibaptis pada tanggal 17 Desember 1770 di Bonn, Jerman dan
meninggal pada tanggal 26 Maret 1827. Ia dipandang sebagai salah satu komponis
yang terbesar dan merupakan tokoh penting dalam masa peralihan antara Zaman
Klasik dan Zaman Romantik. Semasa muda, ia adalah pianis yang berbakat, populer
di antara orang-orang penting dan kaya di Wina, Austria, tempat ia tinggal.
Namun, pada tahun 1801 ia mulai menjadi tuli. Ketuliannya semakin parah dan
pada 1817 ia menjadi tuli sepenuhnya. Meskipun ia tuli, tapi Beethoven tetap
menciptakan musik hingga ratusan. Dulu ayahnya memaksa Beethoven untuk latihan
piano berjam-jam karena menginginkan anaknya menjadi ‘anak ajaib’ seperti
Mozart. Beethoven mengadakan konser pertamanya pada tanggal 26 Maret 1778 tapi
kepandaiannya tidak setara dengan Mozart pada usia yang sama. Dan hasil
karya-karyanya yang paling terkenal adalah simfoni kelima dan simfoni
kesembilan, dan juga lagu piano Fur Elise. Karya lainnya adalah Sonata in C
Minor ‘Pathetique’, Op. 13, Piano Concerto in Eb Major, Op. 37, Violin Sonata
Op. 47, Piano Sonata in C Major ‘Waldstein’, Op. 53, Piano Sonata in F Major,
Op. 54, Piano Sonata in F Minor ‘Appasionata’, Op. 57, Symphony No.6 in F
Major, Op. 68, Concerto Piano No.4, Fantasien, Op. 80, Piano Concerto No.5 in B
Flat Major ‘Emperor’, Op. 73, String Quartet in E Flat Major, Op. 74, Piano
Sonata in Eb ‘Les adieux’, Op. 81a, Symphony No.7 in A Major, Op. 92.”
“Bravo! Beri tepuk tangan yang meriah untuk Stevani!
Ini, aku berikan hadiahnya. Selamat bersenang-senang!” ucap Mr.Hery seraya
menyerahkan amplop pada Stevani.
“Apa isinya? Cepat buka! Aku sangat penasaran,” ujar Lissa
tepat di telinga Stevani.
“Moron! Bisakah tidak berteriak di telinga orang
lain?!” bentak Stevani sambil menutup telinganya dengan tangan kirinya.
“Hehe.. maaf. Aku hanya terlalu semangat saja. Jadi apa
isi amplop itu? Voucher?”
“Well, isinya adalah undangan. Lebih tepatnya adalah
undangan untuk mengikuti festival di Kyoto Garden. Aku sudah mendapat undangan
resmi dari Mrs.Paul, jadi aku tidak membutuhkan ini. Kau mau Lissa?”
“Kau bercanda, Gabi. Aku belum terbiasa tampil di depan
umum jadi aku tidak bisa. Tapi, aku akan menontonmu besok, tenang saja.”
“Baiklah kalau begitu, aku akan menyimpannya. Siapa
tahu aku membutuhkannya nanti. Ya sudah, aku ingin ke kantin. Kau mau ikut?”
“Tentu saja. Cacing-cacing di perutku sudah mulai
memberontak sejak tadi.”
***
Kantin Royal College of Music sangatlah luas dengan
nuansa elegan. Bagaimana tidak? Hampir seluruh penghuninya adalah orang-orang
dari kalangan atas. Ditambah para investor yang dengan baik hati mau menanamkan
sahamnya disini. Ada tiga investor yang berasal dari kalangan elit, yaitu
Tn.Weber, Tn.Robinson, dan Ny.Schullter. Mereka adalah keluarga besar yang
sangat disegani dimanapun mereka berada. Nama Weber di dunia musik sudah tidak
asing lagi. Tn.Weber dan Ny.Weber sudah mengunjungi hampir seluruh negara yang
ada di belahan dunia. Sedangkan keluarga Robinson adalah pemilik perusahaan
sepatu Robinson. Perusahaannya sudah menyebar di setiap kota, bahkan negara.
Dan keluarga Schullter adalah keluarga super model internasional. Bakatnya
dalam berpose di depan kamera sudah tidak diragukan lagi.
Ketiga keluarga besar itu sudah berteman dekat sejak kecil
hingga pengkhianatan Ny.Schullter merusak segalanya. Ia berusaha mengadu domba
Tn.Weber dan Tn.Robinson agar mereka tidak saling percaya satu sama lain yang
pada akhirnya sahamnya akan di berikan kepada Ny.Schullter, satu-satunya orang
yang dipercaya. Permusuhan antara keluarga Weber dan keluarga Robinson
berlangsung sekitar dua belas tahun hingga mereka menyadari bahwa keluarga
Schullterlah dalang di balik masalah ini. Semenjak itu, keluarga Weber dan
keluarga Robinson memutuskan untuk kembali menjalin hubungan baik yang memicu
munculnya ‘rencana’ terkutuk bagi Stevani. Berawal dari situlah, Stevani sangat
membenci keluarga Schullter, karena ulahnya telah mengakibatkan Stevani
terlibat dalam masalah kedua keluarga besar itu.
“Kau sedang memikirkan rencana bodoh ayahmu itu?” tanya
Lissa yang menyadarkan lamunan Stevani.
“Jadi kau bisa menebaknya?”
“Bukan menebak, tapi terlihat jelas dari steak mu yang
sudah terpotong-potong hingga terlihat hancur. Ini sudah hampir natal, apa
ayahmu tidak bisa memberi kebahagiaan sedikit saja kepadamu? Apa artinya natal
kalau ayahmu saja tidak peduli terhadap anaknya?”
“Mungkin inilah yang dianggap ayah terbaik. Memperbaiki
sebuah hubungan yang dulunya sangat dekat adalah hal penting baginya. Lebih
penting dari putrinya sendiri. Impianku untuk menjadi dokter tidak akan pernah
dapat ku raih selama ayah masih menganggap musik adalah yang bagian dari hidup.
Dan masalah hati? Ayah sama sekali tidak peduli. Selama aku terlihat sehat,
anggota tubuhku masih lengkap, selama itulah ayah menganggapku baik-baik saja.
Dan soal Flyn, apa ada hubungannya denganmu? Kau bahagia dihari Flyn tidak
masuk,” ujar Stevani yang sukses membuat Lissa tersedak.
“Hm, Gabi, apa yang kau bicarakan? Kita sedang
membicarakan rencana ayahmu, kau tahu itu?”
“Dan aku sedang membicarakan Flyn. Apa itu
mengganggumu?” sahut Stevani memojokkan Lissa.
“Kau tahu kan, aku membencinya, jadi–“
“Justru kau membencinya, makanya aku bertanya padamu.
Jadi benar kalau tidak masuknya Flyn ada hubungannya denganmu?”
“Kau konyol, Gabi! Konyol sekali! Sudahlah, aku mau ke
toilet dulu. Kau lanjutkan saja makanmu,” ucap Lissa seraya berjalan menjauhi
Stevani. Ia benar-benar takut kalau Stevani sampai mengetahui kebenarannya.
Harusnya ia berpikir ulang sebelum ia mengatakannya. Tapi semua sudah
terlambat, sekeras apapun ia mencoba, kata-kata kejamnya tidak akan bisa ia
tarik kembali.
***
Sudah seminggu berlalu, semenjak Flyn tidak muncul lagi
di kelas. Sedangkan hubungan antara Lissa dan Stevani semakin renggang.
Sebenarnya bukan ini yang Stevani inginkan, tapi sejak Stevani bertanya pada
Lissa soal Flyn, ia menjadi menjauhi Stevani seolah apa yang Stevani pikirkan benar.
Saat jam istirahat, Stevani memilih perpustakaan
sebagai tempat untuk menenangkan diri. Selain itu, ia merindukan Flyn. Sangat
merindukannya. ‘Apa yang terjadi pada pria itu hingga ia tidak masuk?’ Itulah
yang mengganggu pikiran Stevani akhir-akhir ini. Dan hanya tempat inilah yang
bisa membuat Stevani merasa dekat dengan Flyn. Ia duduk di kursi yang biasa
Flyn tempat. Pemandangan yang bisa dilihat juga tidak buruk. Dari situ, Stevani
bisa melihat bangku taman yang biasa Stevani dan Lissa pakai untuk bersantai.
Gadis cantik itu tersenyum getir saat peristiwa itu
kembali berputar di otaknya. Meskipun Flyn sudah jelas-jelas mengacuhkannya
tapi gadis itu sama sekali tidak bisa membencinya sedikitpun. Biasanya, jika
ada yang membicarakan ayahnya, ia tidak akan sungkan memarahinya habis-habisan
meskipun ia sendiri juga membenci ayahnya. Sedangkan saat Flyn mengatakannya,
ia hanya diam. Malah ia sempat membetulkan ucapan Flyn mengenai ayahnya. Apakah
ia benar-benar mencintai Flyn? Tapi bagaimana jika cintanya terhadap Flyn
adalah sebuah kesalahan? Untuk kesekian kalinya, Stevani menghembuskan nafasnya
gusar. Ia ingin sekali terbebas dari masalah ini atau setidaknya mengurangi
beban yang ia bawa selama ini. Biasanya ia akan mengatakannya pada Lissa, namun
sekarang sahabatnya kini telah menjauh dari jangkauannya. Dengan siapa ia akan
mengeluarkan keluh kesahnya? Rasanya sangat menyakitkan bila harus menanggung
semuanya seorang diri.
Tiba-tiba saja, tanpa persetujuan Stevani, seorang
gadis sudah duduk di depannya. Stevani mengernyit heran, tidak biasa gadis itu
ada di dekatnya. Tapi sekarang tanpa ia minta, gadis itu sudah duduk di
depannya dan menunjukkan wajah sumringahnya. Ada apa ini?
“Kau, ada perlu apa denganku?” tanya Stevani datar.
Tidak ada emosi yang terpancar dari nada maupun wajah Stevani. Ia memang
termasuk orang yang mudah menyembunyikan emosinya. Tapi, entah mengapa, bila
berhadapan dengan Liona, Stevani tidak bisa menyembunyikan emosinya sama
sekali. Apakah itu gunanya saudara? Dapat mengerti apa yang sedang dirasakan
saudaranya tanpa berbicara. Cukup dengan melihat manik matanya, itu sudah
menjawab semuanya.
“Aku ingin mengatakan sebuah kebenaran padamu. Mengenai
Lissa, sahabatmu,” kata gadis itu lembut.
Stevani menaikkan alis kanannya tanda ia tak mengerti
apa maksud pembicaraan ini.
“Apa yang ingin kau bicarakan?”
“Sahabatmu, Lissa, sudah berbohong padamu. Kecurigaanmu
selama ini adalah benar. Flyn menghilang disaat Lissa memarahinya, lebih
tepatnya menghina. Ia menghina Flyn tentang latar keluarganya dan ketidak
pantasannya berada disini. Menurutku ucapan Lissa waktu itu tidak bisa
dimaafkan hingga membuat Flyn merasa dipermalukan sampai-sampai ia tidak masuk
selama seminggu. Dan mungkin–“
“Untuk apa kau memberitahuku? Apa tujuanmu sebenarnya?”
tanya Stevani yang sukses membuat Clara tersentak kaget. Gadis itu sama sekali
tidak menyangka jika Stevani bisa menebak bahwa ada rencana dibalik sikap
baiknya.
“Ti..tidak ada. Aku hanya ingin memberitahumu, itu
saja. Aku tidak memiliki tujuan apapun selain itu,” jawab Clara dengan menahan
kegugupannya.
“Kau ingin membohongi orang yang hobi berbohong, hm?”
ucap Stevani seraya bangkit dari kursi coklat itu lalu berjalan meninggalkan
Clara yang masih membeku. Baru beberapa langkah, Stevani berhenti tepat di
belakang Clara.
“Ah, aku hampir saja lupa. Sebelumnya, terimakasih kau
sudah mau menceritakannya padaku, Clara atau mungkin perlu ku panggil fans girl
Justin?”
Senyum tipis berhasil Stevani ciptakan setelah ia
menyadari bahwa rencana Clara sebenarnya adalah untuk merusak nama baik Lissa
sehingga Justin tidak akan mendekatinya. Sungguh cara yang amat licik!
Namun senyum itu harus hilang saat ucapan Clara kembali
terngiang di telinganya. Hinaan itu tidak seharusnya keluar dari bibir
siapapun. Ia menyesalkan perbuatan bodoh Lissa yang berujung pada permusuhan.
Tanpa pikir panjang, Stevani segera menarik pergelangan tangan Lissa yang
kebetulan ia juga ada di perpustakaan dan berjalan menjauh dari keramaian. Ia
ingin menanyakan langsung pada Lissa, karena ia takut kalau saja Clara hanya
mengadu domba mereka berdua, seperti yang di lakukan keluarga Schullter pada
keluarganya.
“Gabi! Lepaskan! Apa-apaan kau menarikku seperti ini?” seru
Lissa saat Stevani menariknya keluar perpustaan. Stevani terus saja menarik
Lissa seolah telinganya tidak mendengar teriakan Lissa yang merasa sakit pada
pergelangan tangannya. Akhirnya Stevani melepaskan cengkaramannya saat sampai
di taman belakang.
“Apa yang kau lakukan pada Flyn? Apa benar kau
menghinanya?”
Jantung Lissa nyaris berhenti berdetak saat pertanyaan
yang mengerikan itu akhirnya meluncur dari bibir Stevani. Ia tidak tahu jawaban
apa yang paling tepat agar sahabatnya itu tidak marah. Bibirnya terkatup rapat
seperti ada lem yang merekatkannya.
“Sepertinya memang benar berita itu. Aku kecewa padamu,
Lissa. Aku tidak menyangka kau akan sebodoh ini! Flyn sudah membenciku, dan
berkat ucapan bodohmu itu mungkin ia akan semakin membenciku! Apa kau tidak
pernah berpikir apa dampak dari ucapanmu itu, Lissa?! Apa kau tahu? Aku
merindukannya. Sangat merindukannya, Lissa. Bagaimana bisa kau setega itu
padaku?! Mungkin lebih baik kita tidak usah berbicara dulu untuk beberapa hari
ke depan. Dan kuharap kau tidak akan mengulanginya lagi. Sekarang masuklah,
sebentar lagi kelas akan dimulai,” ucap Stevani yang kini sudah meninggalkan
Lissa tanpa menghiraukan sahabatnya yang tengah menangis dalam diam.
***
Saat ini, gadis itu sengaja tidak mengikuti kelas dan lebih
memilih berjalan-jalan menyusuri koridor-koridor gedung untuk sekedar
menghilangkan segala penat yang menyanderanya akhir-akhir ini. Sayup-sayup
Stevani mendengar dentingan piano dari salah satu ruang. Stevani segera menghampiri
asal suara itu dan tak ingin kehilangan jejaknya untuk kedua kalinya. Pelan-pelan
Stevani membuka pintu dan mengintip siapa yang ada di dalam. Tanpa ia duga,
ternyata orang yang tengah memainkan Grand Piano itu adalah pria yang ia
rindukan akhir-akhir ini. Setelah cukup lama ia berdiri di ambang pintu,
akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam lalu menyandarkan tubuhnya di dinding
putih tak jauh dari pintu. Ia memejamkan matanya, menikmati setiap denting
piano yang dimainkan dengan penuh perasaan. Rangkaian nada itu seakan mampu
membuat segala resah di hatinya hilang begitu saja.
“Berkeliaran di saat kelas sudah di mulai?” ucapnya
seraya menghentikan permainan pianonya. Satu kalimat itu sukses mengejutkan
Stevani yang kini sudah membuka lebar matanya. Ia membernarkan posisi
berdirinya lalu berjalan satu langkah ke depan.
“Kau juga. Mengapa kau tiba-tiba menghilang? Seminggu,
bukanlah waktu yang singkat. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Apa kau tahu itu?!”
bentak Stevani dengan suara yang bergetar karena berusaha menahan air matanya
yang tiba-tiba mendesak ingin
keluar.
“Apa itu termasuk urusanmu? Sudah kubilang, ’bukan?
Urusi saja urusanmu, tidak usah repot-repot mengkhawatirkanku. Selama kau
baik-baik saja, aku juga akan baik-baik saja.” Seakan baru sadar apa yang telah
diucapkannya adalah sebuah kesalahan, ia segera bangkit dan berjalan menghampiri
Setevani, mensejajarkan tubuh mereka.
“Tadi aku sempat bertemu dengan sahabatmu dan ia
mengakui kesalahnnya. Apa kau tahu apa yang aku lakukan? Aku sudah
memaafkannya. Jadi kupikir tidak baik bermusuhan terlalu lama mengingat kalian
adalah teman sejak kecil. Jaga dirimu baik-baik. Aku pergi.” Flyn lalu
melangkah pergi meninggalkan Stevani yang mati-matian menahan isak tangisnya.
Selangkah demi selangkah Stevani mendekati Grand Piano
yang sebelumnya dimainkan oleh Flyn. Ia duduk di bangku panjang itu dan mulai
menekan tuts-tuts piano yang sudah tak asing lagi baginya. Dengan keahlian
jari-jarinya, ia bisa menghasilkan sebuah alunan musik yang sangat ia rindukan.
Amazing Grace. Entah mengapa ia masih mengingat peristiwa di Holland Park musim
semi lalu. Disaat ia membutuhkan ketenangan dengan sendirinya ia akan
merindukan Mr.Flute-nya. Ia berharap Mr.Flute ada disampingnya dan
menyenandungkan Amazing Grace dari flute yang ia gunakan sebelumnya.
Pintu yang terbuka ternyata membuat suara alunan indah
nan merdu itu pun dapat ditangkap oleh gendang telinga Flyn yang sukses
menghentikan langkahnya. Flyn sengaja menghentikan langkahnya demi mendengar
alunan musik yang terdengar sangat sempurna tanpa ada kesalahan nada
sedikitpun. Selain ketepatan nada yang sempurna, sebenarnya pria itu juga
menyimpan perasaan rindu pada lagu itu. Dan tanpa mereka sadari, saat ini
mereka berdua tengah merasakan hal yang sama. Perasaan yang mereka pendam
selama ini menguap begitu saja hingga keduanya merasa rapuh karena perasaannya
sendiri.
“Bukan hanya kau saja yang merasakannya, Gabi. Aku juga
merasakannya. Sakit. Itulah yang kurasakan selama ini. Apa kau tahu itu?” gumam
pria itu lirih. Setetes air mata terjatuh bebas dari pelupuk mata kirinya. Mungkin
ia berdosa karena sudah melanggar janji yang ia buat sendiri. Tapi apakah
mencintai seseorang dalam hidupnya adalah hal yang dosa?
8888