Senin, 26 Januari 2015

When The Heart Begins To Speak (BAB 1)


Author : I.A.Eve

Genre : Sad, hurt, school life

Di WP aku yang https://iaeveleandra.wordpress.com juga akan di post ff dengan cast kyu-rae.
Moga moga suka ya….

Happy Reading :D

Biarkan TYPO menikmati bagiannya...



                                                               ______*****_______ 


– Ketika hati menyuarakan segala rasa yang bersemanyam di dalamnya –
.....


When I Met You

“...aku masih ingat dan tak akan pernah lupa saat
pertama kali aku bertemu dengamu...
Kenangan itu hampir setiap hari berputar
menghantui pikiranku
Membuatku terus mengingat tentangmu yang
selalu berhasil membuat dadaku
 bergemuruh dengan hebatnya...
Mengagumi setiap inchi garis wajah
yang tergambar dengan sangat sempurna
Dan saat itulah untuk pertama kalinya
aku merasakan jatuh cinta...”

******
œ

Sore itu, Holland Park–taman teromantis di London–terlihat sangat ramai oleh pengunjung. Mereka selalu saja berdatangan seolah tak ada habisnya hingga membuat taman ini terlihat sesak. Tempat ini memang menjadi salah satu tempat yang sangat diminati oleh wisatawan mengingat suasana yang disajikan sangatlah indah dan sunyi apalagi saat ini adalah musim semi. Bunga-bunga bermekaran, menambah kesan romantis di dalamnya. Tentu saja, kebanyakan dari mereka yang mengunjung tempat seperti ini adalah sepasang kekasih. Mereka sengaja meluangkan waktu untuk pergi berdua, sekedar untuk menikmati nuansa romantis yang mendominasi taman itu. Namun sayang, pemandangan indah Holland Park menjadi sangat memuakkan di mata seorang gadis yang tengah duduk di bangku panjang taman itu.

Tanpa sengaja ekor matanya melihat sepasang kekasih tengah bermesraan di depan matanya. Hal seperti itulah yang membuat mata gadis itu terasa panas dan dada kirinya mendadak terasa sakit. Iri? Mustahil! Gadis itu merasa sakit bukan karena iri, melainkan karena suatu hal yang mungkin bila dibiarkan terlalu lama akan membunuhnya. Sedetik kemudian, buliran air terjatuh dari sudut matanya yang cantik. Gadis itu menangis dalam diam tanpa ada seseorang disampingnya sekedar untuk menghapus air matanya. Ia sengaja pergi ke taman ini tanpa mengajak siapapun ikut bersamanya, termasuk para pelayan rumahnya yang sudah sangat khawatir dengan perubahan sikapnya akhir-akhir ini.

“Kau ingin minum, nona?” tanya seorang pria seraya menyodorkan berbagai macam jenis minuman.

Stevani menghapus bekas air matanya dan mendongak ke atas untuk sekedar melihat penjual minuman yang tengah berdiri di hadapannya.

“Tidak, terimakasih,” jawab Stevani sopan.

Penjual minuman itu pun berlalu meninggalkan Stevani hingga punggung pria itu tidak terlihat lagi olehnya.

Gabriella Stevani Weber, ia adalah putri bungsu keluarga Weber dari tiga bersaudara. Banyak gadis yang sangat iri dengan posisinya sebagai putri keluarga Weber yang terkenal sebagai keluarga berdarah seni yang terpandang. Ayahnya, John Frederick Weber, adalah seorang pianis terkenal. Berita tentang kehebatannya memainkan tuts-tuts piano sudah tersebar hampir seluruh dunia. Sedangkan ibunya, Vanessa Claudia Weber, adalah seorang penyanyi sopran yang terkenal di London. Dua kakak Stevani, Ricky dan Liona saat ini tengah bergelut di dunia hiburan sebagai aktor dan aktris. Dan Stevani? Recananya ia akan meneruskan pendidikannya ke Royal College of Music di Kensington Selatan musim ini.

Gadis itu kemudian menunduk lemah, mencoba mengusir kegelisahannya yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Tak lama kemudian, Stevani tampak menggeleng sekali, kemudian menghembuskan napasnya kesal. Ia tidak habis pikir, mengapa ia bisa terlahir ditengah-tengah keluarga seniman seperti saat ini. Karena sejujurnya, Stevani sangatlah buruk dalam bermusik. Ia lebih suka mempelajarinya dalam bentuk teori bukan praktik. Selama ini ia hanya menurut dengan apa yang sudah direncanakan orangtuanya. Mengikuti les piano, biola, menyanyi, dan masih banyak lagi, hingga ia sendiri merasa bosan dengan rutinitasnya setiap pulang sekolah. Dan sampai sekarang, ia masih saja heran dengan kasak-kusuk disekitarnya yang sangat menginginkan posisinya sebagai putri keluarga Weber. Bagaimana bisa orang-orang disekitarnya sangat iri dengan kondisinya saat ini? Apakah mereka ingin merasakan bagaimana rasanya tertekan meskipun di dalam keluarganya sendiri? Oh Ayolah, jika saja Stevani memiliki keberanian untuk mengatakan bahwa ‘ia sangat buruk dalam bermusik’ pasti semua ini tidak akan pernah terjadi. Tapi semua sudah terlambat, ia sudah dianggap mahir dalam bermusik. Akan sulit jika Stevani tiba-tiba mengatakan hal yang sebenarnya, dan menghentikan segala rencana konyol ayahnya.

Gadis itu masih terisak, membiarkan tetesan air matanya membanjiri kedua telapak tangan yang ia tangkupkan di wajahnya. Namun, dengan cepat ia bisa menghentikan isakan tangisnya ketika sebuah alunan musik berhasil menggetarkan tulang-tulang pendengarannya. Selama ini, ia belum pernah mendengar alunan musik seindah itu meskipun ayahnya adalah seorang komposer. Dengan tergesa, Stevani menyeka air matanya dan beranjak menuju arah suara berasal. Ia mulai berlari setelah cukup lama ia tak kunjung menemukan tempat suara itu berasal. Terbesit kekecewaan di hatinya seiring menghilangnya suara alunan musik yang sedari tadi ia cari. Ia sendiri juga tidak tahu mengapa, tapi rasanya ia ingin sekali bertemu dan melihat siapa yang menyenandungkan ‘Amazing Grace’ dengan alunan merdu flute. Wajah yang sebelumnya sempat terlihat bahagia kini kembali sendu. Stevani mendongak, menatap titik-titik bintang dilangit yang sudah mulai gelap. Dalam hatinya ia berdoa, semoga masih ada kesempatan baginya untuk hidup sesuai pilihannya sendiri. Gadis itu juga berharap, semoga orangtuanya mau mengerti dan mendengarkan apa yang menjadi keinginannya walaupun ia sendiri sudah membuang mimpi yang ia idam-idamkan sejak kecil.

Dengan gontai, ia berbalik dan mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Holland Park. Entah ada apa di belakang sana, yang jelas Stevani merasa enggan untuk meninggalkan tempat itu. Ia menghentikan langkahnya dan melihat kebelakang sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Holland Park. Senyum tipis berhasil tergambar di wajahnya setelah ia mengucap janji di hati kecilnya. Gadis itu kemudian berbalik, lalu melangkahkan kakinya sebelum para pelayan menjemputnya. Dan tanpa Stevani sadari, sepasang mata tengah mengamatinya dari balik pohon besar. Mata itu seakan tidak ingin lepas dari sosok gadis yang begitu cantik dan anggun di matanya. Baginya gadis itu bukan manusia melainkan malaikat yang di datangkan oleh Tuhan untuknya. Dan dengan melihat senyum gadis itu, ia semakin yakin bahwa hatinya sudah ikut bersamanya. Dalam hati ia bersyukur atas kebahagiaan yang tengah ia rasakan saat ini, karena pada akhirnya ia tahu bahwa gadis itulah yang telah berhasil memiliki hatinya.

“Kita akan segera bertemu, Gabi,” gumamnya pelan seraya mengembangkan senyum yang menghiasi wajahnya.

***

“Jadi, Stevani, kau akan meneruskan kuliahmu dimana? Ku harap kau sudah membuat keputusan yang tepat,” ucap sebuah suara bass yang sangat Stevani kenal, yaitu seorang pria yang menjadi kepala keluarganya, Tn.Weber.

Saat ini keluarga Weber sedang makan malam di ruang tengah. Ricky dan Liona yang tengah asik menceritakan kegiatannya selama seminggu ini seketika bungkam mendengar ayahnya mulai angkat bicara. Mereka sangat menghormati ayahnya, apapun titahnya pasti akan mereka patuhi. Begitu pula dengan Stevani, si bungsu yang selalu merasa tertekan bila berada di tengah-tengah keluarga besarnya. Ricky dan Liona yang sebelumnya terlihat santai menikmati makan malamnya kini harus menahan napasnya karena ayah mereka mulai membahas soal Stevani. Ny.Weber juga merasakan hal yang sama dengan Ricky dan Liona. Sedangkan Stevani dengan santainya memotong steak dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Sepertinya Stevani benar-benar sudah muak dengan semua rencana ayahnya yang menurut prediksinya akan menghancurkan hidupnya kelak.

“Nona Weber?! Apa kau mendengarkanku?” kata Tn.Weber dengan nada yang sudah naik beberapa oktaf.

Suasana semakin tegang ketika Tn.Weber memanggil Stevani dengan sebutan ‘nona’. Itu artinya emosi Tn.Weber mulai tersulut karena ia merasa diabaikan oleh putri bungsunya. Stevani yang mendengar nada bicara ayahnya mulai naik beberapa oktaf hanya bisa menghela napasnya pelan. Stevani benar-benar lelah dengan apa yang ada di keluarga Weber. Ingin sekali ia mengatakannya, tapi disisi lain ia tidak ingin membuat ibunya merasa kecewa oleh sikapnya. Dengan pelan, Stevani meletakkan garpu dan pisau kecil di samping piringnya. Ia berusaha tersenyum supaya ibunya merasa bahwa dirinya baik-baik saja.

“Aku mendengarnya, Tn.Weber. Bagaimana mungkin aku tidak mendengarnya sedangkan aku duduk tepat disebelahmu?” sahut Stevani seraya menunjukkan senyum masamnya.

“Panggil aku ‘Ayah’! Apa kau malu menjadi anakku? Hah?!” bentak Tn.Weber yang sudah tidak bisa meredam emosi yang sedaritadi ia tahan.

“Untuk apa aku malu memiliki ayah seorang komposer terkenal di seluruh jagad raya ini? Aku bangga karena kau adalah ayahku, Tn.Weber, ah maksudku ‘Ayah’,” jawab Stevani dengan penekanan kata saat mengucapkan ‘Ayah’.

Detak jantung Ny.Weber, Ricky dan Liona sudah tidak bisa mereka kendalikan lagi. Sangat cepat bahkan terlalu cepat hingga mereka hanya bisa mendengarkan suara detak jantungnya sendiri. Mereka bertiga sudah sangat khawatir saat Tn.Weber mulai mengajak bicara Stevani dan membahas masalah sekolahnya. Itulah mengapa akhir-akhir ini mereka bertiga selalu mengalihkan perhatian Tn.Weber agar tidak memperhatikan Stevani. Tapi apa boleh buat, hal yang selama ini mereka takutkan akhirnya terjadi di depan mereka.

Tn.Weber yang sudah mencapai titik puncak emosinya akhirnya pergi meninggalkan meja makan. Ia terlalu emosi hingga lidahnya tidak bisa ia gunakan sama sekali. Hal itulah yang Stevani sukai dari ayahnya, saat sedang marah Tn.Weber tidak akan mengumbar kata-kata yang mungkin bisa berwujud sumpah serapah, tetapi Tn.Weber lebih memilih diam dan tidak berbicara sama sekali sebelum Stevani mengakui kesalahannya.

Tanpa Stevani inginkan, setetes air mata telah berhasil meluncur melewati pipi putihnya. Stevani merasa bersalah dengan sikapnya yang membuat ayahnya sangat marah, namun disisi lain ia juga merasa muak dengan semua sikap ayahnya. Keadaan yang sangat rumit, ‘bukan? Tapi itulah yang selalu Stevani rasakan hingga sekarang. Saat hendak meninggalkan meja makan, pergelangan tangan Stevani sudah di genggam oleh Liona, sang kakak yang selalu memberikannya sebuah perhatian. Stevani menatap Liona bingung, namun Liona hanya tersenyum meyakinkan pada adiknya bahwa semua akan baik-baik saja. Gadis itu lalu menarik tangan Stevani dan membawa sang adik menuju balkon kamarnya yang ada di lantai tiga. Seperti orang yang baru saja sembuh dari amnesia, Stevani baru ingat bahwa pemandangan malam yang terlihat dari balkon sangatlah indah. Akhir-akhir ini Stevani memang terlalu banyak masalah sampai-sampai ia melupakan tempat favoritnya. Kamar Liona adalah tempat favorit Stevani, karena disana ia bisa meluapkan segala masalahnya dengan menikmati semilir angin dan pemandangan yang sangat elok. Sedangkan kamar Stevani sendiri membelakangi pemandangan yang akhirnya ia hanya bisa melihat air mancur di halamannya setiap ia berdiri di balkon.

“Katakan padaku, sebenarnya apa yang terjadi padamu, Gabi?”

Gabi adalah nama kecil sekaligus nama kesayangan yang selalu digunakan keluarga Weber dan teman dekatnya saat memanggilnya, kecuali ayahnya, Tn.Weber. Ia selalu memanggilnya ‘Stevani’. Pernah sekali ia memanggilnya ‘Gabi’ saat Stevani terpeleset dan akhirnya tercebur ke dalam kolam. Hanya sekali dan Stevani masih mengingatnya sampai sekarang.

“Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu. Aku hanya merasa bingung, itu saja,” sahut Stevani lirih. Jujur saat saat ini ia benar-benar rapuh, sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk dirinya. Ia menatap lurus kedepan, menerawang entah kemana. Bagi Stevani, hidupnya saat ini tidak lebih dari boneka mainan yang bisa dipermainkan sesuka hati. Sama sekali tidak memiliki kebebasan dalam memilih. Itulah yang sangat ia sesalkan terhadap ayahnya. Ia ingin sekali diberi kebebasan dalam memilih jalan hidupnya. Ia ingin mengepakkan sayap-sayap kecilnya dan terbang setinggi mungkin. Tapi itu semua hanya mimpi, sekarang yang ada hanyalah rencana yang sudah diatur oleh ayahnya.

“Kau mencoba membohongiku, adik kecil? Hah, percuma saja kau berbohong. Meskipun bibirmu bisa membohongiku, tapi ingatlah sorotan matamu tidak akan pernah bisa membohongi kakakmu ini. Cobalah untuk menerima keputusan Ayah, Gabi. Hanya itu satu-satunya jalan agar kau terbebas dari semua masalah ini. Kau tidak akan pernah bisa pergi meninggalkan keluarga ini, apalagi melepaskan hubungan antara kau dan Ayah. Kita adalah satu. Sekeras apapun kau mencoba menghapusnya, kau tidak akan pernah lepas dari nama Weber. Karena kita adalah keluarga, Gabi. Jangan sekali-kali kau mencoba untuk menghindar atau menganggap Ayah hanyalah mimpi buruk karena itu akan membuatmu merasa menyesal tanpa kita ketahui kapan waktu itu akan tiba. Kau boleh marah tapi jangan sampai terbesit rasa benci ataupun dendan dalam hatimu. Karena jika hal itu sampai terjadi, kau tidak lebih dari seorang pembunuh. Ingatlah, kau bisa hidup tanpa memikirkan uangmu yang mulai menipis atau persediaan makananmu yang mulai habis itu semua karena Ayah. Meskipun ibu juga bekerja, tapi itu juga tak lepas dari nama Ayah. Bersyukurlah dengan kehidupanmu saat ini, langkahkan kakimu pada jalan yang ada dihadapanmu. Aku yakin, Ayah melakukan ini semua karena ia menyayangimu, Gabi. Ayah tidak akan mencelakai putri bungsunya, ‘bukan? Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu, meskipun cara Ayah menyampaikannya padamu salah. Sekarang, renungkanlah perkataanku tadi. Semua yang kukata–“

“Ayah hanya mementingkan dirinya sendiri, Liona! Sekalipun Ayah tidak pernah mau mendengarkan apa yang aku inginkan. Sekalipun tidak pernah, Liona! Ayah... ayah sama sekali tidak memperhatikanku, menyayangiku, apalagi mencintaiku! Ia hanya mementingkan derajatnya dan selalu melihat orang lain dengan sebelah mata tanpa memikirkan perasaan orang lain. Ia hanya ingin nama besarnya menguasai seluruh dunia dan dengan begitu ia akan menaklukan dunia yang sudah berada dalam genggamannya, termasuk aku. Aku hanyalah boneka mainannya yang tidak akan pernah ia lihat sedikitpun. Baiklah, aku memang sangat buruk dalam bermusik, tapi apakah itu salah? Aku juga tidak memiliki suara sebagus ibu, apa itu salah? Salahkan Tuhan yang menciptakanku dengan begitu buruknya, Liona!”

PLAKK! Tamparan Liona tepat mengenai pipi kiri Stevani yang sudah basah akibat air matanya. Ia sangat marah mendengar ucapan adiknya yang dengan mudah mencerca Tn.Weber, ayahnya sendiri.

“Jaga ucapanmu, Gabi! Sudah berkali-kali kukatakan, jangan pernah berkata buruk pada Ayah, apalagi Tuhan! Tahu apa kau tentang takdir Tuhan?! Sesuci itukah dirimu hingga berani-beraninya kau menghina Tuhan? Tanpa Tuhan, kau tidak akan bisa merasakan dunia, Gabi! Dan Ayah, apakah selama ini Ayah pernah mengeluarkan sumpah serapahnya padamu? Pikirkan! Sekalipun Ayah tidak pernah mengataimu dengan berbagai macam hal buruk. Sedangkan kau? Mengatakan Ayah adalah seorang yang haus akan kekuasaan dan nama besar, begitu?! Dimana letak rasa terimakasihmu, Gabi? Apa kau merasa sudah bisa membalas jasa Ayah hingga kau berhak menghinanya? Bahkan membuat Ayah merasa bangga pun belum kau lakukan, Gabi. Minta maaflah sebelum Ayah benar-benar membuangmu!” ucap Liona seraya pergi meninggalkan adiknya yang masih memegangi pipi kirinya karena tamparan yang ia berikan tadi.

                Lagi-lagi Stevani hanya menangis dalam diam. Sesekali terdengar isakan kecil keluar dari bibirnya. Sungguh, Stevani benar-benar merasa kecil saat ini. Ia memang bukan apa-apa dibandingkan dengan kakaknya yang sudah berhasil menjadi artis sekaligus membuat Ayahnya bangga. Tapi, inilah Stevani, ia hanya gadis biasa tanpa memiliki talenta apapun. Hanya kecerdasan otaknya yang bisa ia andalkan bukan suara ataupun keahlian jari-jari tangannya memainkan alat musik. Terkecuali piano. Gadis itu sangat mahir bermain piano karena diam-diam, ia dulu sempat mengagumi Ayahnya yang merupakan pianis hebat dimatanya. Ia belajar sekeras mungkin agar kelak ia bisa membuat bangga Ayahnya. Namun, seiring berjalannya waktu, keinginan itu mendadak musnah dari impiannya. Tidak ada lagi keinginan untuk terus bermusik, apalagi membuat Ayahnya bangga. Semua angannya sudah terkubur oleh waktu yang terus berjalan maju, tanpa mau kembali kebelakang untuk sekedar membenahi kesalahannya.

***
               
Tak terasa sudah hampir enam bulan sejak perisitwa di meja makan yang berujung pada kemarahan sang ayah berlalu. Saat ini Stevani sudah resmi menjadi mahasiswa di Royal College of Music. Ia tidak sendiri disini, karena sahabat karibnya, Sarah Elissa, juga ikut meneruskan pendidikannya di Royal College of Music. Sarah Elissa adalah anak pengusaha yang saat ini sedang berada di puncak kesuksesannya. Tak khayal jika ia dekat dengan keluarga Weber, karena memang keluarga Weber selalu melihat derajat orang yang dekat dengannya. Selama enam bulan inilah, Stevani selalu mengeluhkan rencana yang dibuat ayahnya. Tn.Weber yang terkenal dengan sifat perfeksionis-nya, akhirnya mengalah dan mengajak bicara Stevani lebih dulu karena ia ingin sekali putri bungsunya segera menjalankan rencana yang sudah ia buat setahun yang lalu. Tapi bukan Stevani jika ia dengan mudah mau menerima rencana ayahnya. Sampai sekarang pun Stevani masih menolak rencana itu meskipun ibu dan kakak-kakaknya selalu memaksanya.

Ny.Weber sudah berkali-kali membujuk Stevani untuk menerima tawaran ayahnya, tapi NIHIL! Stevani sama sekali tidak terpengaruh dengan iming-iming yang dijanjikan oleh kedua orang tuanya. Sama sekali tidak. Ia masih berjuang mempertahankan jalan hidupnya tanpa campur tangan keluarganya meskipun ia agak sedikit kesulitan dengan pelajarannya saat ini. Karena biasanya, ia akan bertanya pada Liona atau Ricky. Tapi sekarang? Ia hanya bungkam saat dirumah, seolah-olah tengah bermain drama dimana dirinya memerankan tokoh seorang gadis bisu yang sebatangkara. Sebenarnya ia ingin sekali memperbaiki hubungannya dengan keluarganya, tapi setiap kali ia bersikap manis di depan keluarganya, kedua kakaknya ataupun Ny.Weber pasti akan membahas masalah yang sama, yaitu menerima tawaran ayahnya yang baginya tak lebih dari sebuah kutukan.

“Hey, siapa pria itu? Mahasiswa barukah?” ucap Hayle, salah satu teman Stevani yang mengarahkan jari telunjuknya ke depan.

Spontan Stevani melihat kedepan yang ternyata menunjuk seorang pria yang berada di belakang Mr.Hery. ‘Mahasiswa baru?’ tanya Stevani dalam hati.

 “Pagi anak-anak..” sapa seorang pria yang sudah terlihat agak tua saat memasuki kelas.

“Pagi Mr.Hery..” sahut seisi kelas dengan semangat, khususnya bagi para gadis yang arah matanya sudah tertuju pada satu titik.

“Hari ini adalah hari spesial karena kita kedatangan mahasiswa baru. Flyn, silahkan memperkenalkan dirimu.”

“Namaku Flyn Williams. Kalian bisa memanggilku Flyn. Senang bisa bertemu dengan kalian.”

“Baiklah, Flyn kau bisa duduk di samping Stevani,” suruh Mr.Hery tanpa mengetahui akibat jika pria itu berada dekat dengan Stevani.

Pria yang bernama Flyn itu berjalan melewati Stevani dan duduk tepat di sebelah kanan Stevani. Jarak antara tempat duduk Stevani dan Flyn sangatlah dekat. Mungkin hanya sekitar enam puluh sentimeter. Dan dalam jarak sedekat itu, Stevani dapat melihat wajah dingin Flyn dengan sangat jelas. Gadis itu menatap Flyn dari atas ujung rambut sampai ujung kaki. Postur tubuh tinggi dan berkulit putih, rambutnya yang pendek dan sedikit berwarna coklat menambah nilai plus pada penampilannya. Stevani membulatkan matanya sempurna saat dirinya menyadari kalau garis wajah yang sangat tampan itu ternyata akibat dari percampuran Asia-Eropa. Tidak ada kekurangan sedikitpun yang terlihat olehnya. Benar-benar sebuah ciptaan Tuhan yang sangat sempurna.

Dan saat itulah, untuk pertama kalinya Stevani dapat mendengarkan suara detak jantungnya yang berpacu dengan sangat cepat. Keringat dingin membanjiri tubuhnya yang sudah terasa sangat kaku. ‘Apakah aku akan mati? Mengapa detak jantungku cepat sekali? Bahkan aku bisa mendengarnya tanpa alat bantu apapun. Sebenarnya apa yang terjadi padaku? ‘

“Gabi! Kau kenapa?” tanya Lissa seraya mengibas-ngibaskan tangannya tepat di depan wajah Stevani. Lissa merasa khawatir dengan sikap Stevani saat ini yang tidak seperti biasanya.

“Gabi!” Kali ini Lissa tidak hanya mengibas-ngibaskan tangannya, tapi ia juga menggoyang-goyangkan tubuh Stevani.

“Lissa, apa aku akan mati?” tanya Stevani dengan suara sedikit serak.

“Kau ini bicara apa, bodoh! Sebenarnya kau itu kenapa? Jangan membuatku khawatir seperti ini, Gabi. Katakan apa yang kau rasakan saat ini.”

“Aku...aku bisa mendengarkan suara detak jantungku yang berdetak dengan sangat cepat. Dan seluruh tubuhku terasa sangat kaku juga terasa dingin. Sebenarnya aku kenapa, Lissa? Aku belum mau mati, ku mohon,” rengek Stevani dengan menunjukkan ekspresi childish-nya.

Setelah beberapa detik mencerna kalimat yang ia dengar dari Stevani, akhirnya Lissa bisa bernafas lega. Seakan semua kekhawatiran dan kegelisahan hilang begitu saja. Sedetik kemudian senyum ‘evil’ telah terukir diwajahnya.

“Jadi kau tertarik dengan pria yang bernama Flyn itu, Gabi? OH MY GOD! Ternyata Gabi kecilku sekarang sudah beranjak dewasa!” ejek Lissa yang bisa menebak bahwa teman masa kecilnya itu kini tengah dilanda asmara.

“Hentikan omong kosongmu itu, Lissa! Itu semua tidak ada hubungannya dengan Flyn!”

“Yah, kuharap memang begitu, Gabi. Jangan sampai kau jatuh cinta pada orang lain selain ‘dirinya’. Kau tahu itu kan? Karena jika kau sampai jatuh cinta pada Flyn dan bukan ‘pria itu’ maka tamatlah riwayatmu,” ucap Lissa yang berusaha mengingatkan Stevani.

“Who’s care?” bisik Stevani yang terdengar jelas di telinga Lissa. Gadis itu sama sekali tidak tertarik untuk mendengarkan ceramah sahabatnya yang ada di sebelah kirinya. Ia hanya terfokus dengan mahasiswa baru yang berhasil menyita semua perhatiannya.

“Hai. Kenalkan, aku Stevani. Senang bisa bertemu denganmu,” ucap Stevani yang hanya dibalas dengan pandangan sekilas dari Flyn. Stevani mematung ditempatnya, tidak menyangka akan mendapat respon yang sebelumnya belum pernah ia dapat. Gadis itu masih terbengong dengan mulut terbuka, hampir seperti orang idiot. Ia sempat menggelengkan kepalanya sebelum kembali ke posisi semula. Sesekali, Stevani melirik ke arah Flyn lalu tersenyum tipis. ‘Inikah cinta?’

“Baik, seperti biasanya kita akan memulai pelajaran hari ini dengan musik klasik. Flyn, bisakah kau menjelaskan siapa itu Mozart?” kata Mr.Hery berharap Flyn bisa menjawabnya.

Pria yang bernama Flyn itu lantas berdiri dan mulai menjelaskan segala hal tentang Mozart.

“Johannes Chrysostomus Wolfgangus Gottlieb Mozart atau lebih kita kenal Wolfgang Amadeus Mozart, yang dikenal memiliki kemampuan tata letak atau mengenal nada dengan tepat tanpa bantuan alat, lahir di Salzburg, 27 Januari 1756 dan meninggal di Wina, Austria, 5 Desember 1791 pada umur tigapuluh lima tahun. Ia mendapat julukan ‘Anak Ajaib’ karena pada umur empat tahun ia sudah bisa memainkan harpsichord dan melakukan improvisasi pada karya-karya musik pendahulunya. Ia bahkan menulis komposisinya yang pertama saat berumur lima tahun. Karya-karyanya antara lain adalah Violin, Sonata, dan beberapa Minuet. Ayahnya, Leopold, yang mengetahui bakat luar biasa yang ada pada kedua anaknya, Mozart dan Nannerl, akhirnya mengambil cuti panjang dari jabatannya untuk mempromosikan anaknya kepada raja-raja. Di Wina, Mozart bermain piano di depan Ratu Maria Theresia. Akhirnya Mozart sekeluarga untuk pergi dan berkarier di Paris. Mozart yang ditemani oleh ibunya berangkat pada bulan September 1777. Sebelum sampai di Paris mereka singgah dan menetap selama beberapa waktu di Munchen dan Mannheim. Di Mannheim, Mozart berteman dengan komponis Cannabich dan Holzbauer. Alasan utama Mozart menetap lebih lama di Mannheim adalah karena ia jatuh cinta kepada Aloysia Weber, seorang penyanyi sopran berusia enambelas tahun. Meski kecewa karena cintanya ditolak Aloysia, Mozart tetap meneruskan perjalanannya ke Paris. Di Paris, Mozart mulai bekerja dengan memberi les-les privat dan menciptakan lagu-lagu yang sesuai dengan selera orang Perancis. Di Paris, kemampuan bermusik Mozart tidak begitu diperhatikan dan akhirnya Mozart memutuskan untuk kembali ke Salzburg. Mozart pulang ke Salzburg dan ia langsung mendapat jabatan sebagai organis disana. Tugasnya antara lain bermain organ di katedral, istana, dan kapel istana, menggubah lagu pesanan dan mengajar paduan suara anak-anak. Karya-karya pentingnya masa ini termasuk K.364, Simfonia Concertante in Eb, Simfoni no.32-34, beberapa Concerto serenade, divertimento, musik gerejawi yang termasuk K.317, Missa Coronation dan K.339, Vesparae. Pada tanggal 4 Agustus 1782, Mozart menikahi putri ketiga keluarga Weber, Constanze Weber, di katedral St.Stefanus. Dari enam anaknya, hanya dua yang hidup. Pada tanggal 5 Desember 1971, Mozart menghembuskan napas terakhir pada jam satu pagi. Sampai sekarang sudah ada sekitar tujuhratus karya musik yang ia buat semasa hidupnya.  ”

“Beri tepuk tangan untuk Flyn!” sorak Mr.Hery yang kagum dengan penjelasan Flyn yang sangat jelas.

“Kau dengar tidak? Mozart menikahi putri ‘ketiga’ keluarga Weber dan memiliki enam anak. Seandainya Flyn menjadi Mozart, apa kau mau menerimanya, Nona Weber?” ejek Lissa pada Stevani yang sedari tadi hanya diam memperhatikan Flyn dalam jarak yang sangat dekat.

“Menurutku ia bukan Mozart, tapi seseorang yang mungkin lebih dari Mozart,” jawab Stevani tanpa mengalihkan pandangannya dari Flyn.

“Sepertinya semakin hari semakin rumit saja masalahnya. Ku harap kau akan baik-baik saja, Gabi. Karena sebentar lagi mungkin akan terjadi sesuatu yang sama sekali tidak kau inginkan. Kalau perkiraanku benar, ‘ia’ akan datang tidak lama lagi.”

“Selama masih ada waktu, aku akan berusaha sebaik mungkin, Lissa. Bukan hanya kau saja yang merasa takut. Aku juga sama denganmu. Semakin aku memikirkan masalah itu, segala perasaan takut menyergapku dan membuatku tidak bisa melangkahkan kakiku. Itulah mengapa sampai aku tidak terlalu memikirkannya. Biarlah semua terjadi mengikuti arus waktu yang terus membawa kita sesuai keinginannya. Semoga saja waktu memberiku sedikit kesempatan untukku bernapas bebas ditengah kerumitan masalah ini,” jelas Stevani sambil menerawang jauh ke depan. Entah mengapa, ia merasa ketakutan yang selama ini ia coba lawan kembali menyergapnya, menelannya dalam-dalam saat Lissa kembali mengingatkannya dengan masalah rumit itu.

‘Apakah Tuhan menganggapku pantas untuk menghadapi ujiannya?’

***

“Selamat sore, Ny.Weber.” Seorang gadis dengan syal kuning di lehernya berdiri di depan pintu besar berwarna coklat, menyapa seorang wanita yang masih terlihat cantik meskipun waktu sudah menggerogoti umurnya. Wanita itu tersenyum halus pada seorang gadis yang ia percayai untuk menjaga putri bungsungya. Wanita merasa beruntung bisa menemukan seorang teman yang baik untuk selalu berada di dekat putrinya, melindunginya dari hal-hal buruk yang mungkin akan menimpa putrinya.

“Ah, Lissa. Kau datang mencari Gabi? Kebetulan ia sedang membuang waktu luangnya dengan melamun di taman belakang. Kau langsung saja menemuinya dan ajak ia masuk karena angin diluar sangatlah dingin.”

“Baik. Saya permisi dulu,” ucap Lissa lembut. Jujur saja, mendengar penjelasan Ny.Weber bahwa Stevani sedang melamun di taman belakang membuat dirinya merasa khawatir. Ia tahu, sangat tahu bahwa sahabatnya kini tengah tenggelam dalam masalahnya itu. Ingin sekali ia membantu Stevani tapi apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada yang bisa menentang keputusan Tn.Weber kecuali Stevani sendiri yang menentangnya. Lissa tidak bisa membayangkan betapa beratnya menjadi putri keluarga besar yang namanya sudah dikenal hampir seluruh dunia. Lissa memang kaya, tetapi setidaknya nama keluarganya tidak setenar keluarga Weber. Menjaga nama baik keluarga, itulah hal tersulit yang harus Stevani lakukan. Setiap kali mengingat Stevani, Lissa pasti akan merasa sedih karena Stevani sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri. Meskipun ia merasa sedih, tetapi di depan Stevani ia selalu menunjukkan sikap periangnya karena dengan begitu Stevani akan merasa bahagia walaupun tidak mengurangi beban yang Stevani tanggung. Yah, setidaknya Lissa sudah mencoba membantu Stevani. Bukankah begitu lebih baik?

“Sedang memikirkan mahasiswa baru itu?” tanya Lissa yang sukses membuat Stevani hampir terjatuh dari duduknya karena saking kagetnya.

“Bisakah kau memberitahuku dulu kalau kau akan datang? Selalu saja datang semaumu sendiri!” omel Stevani pada Lissa yang kini tengah menertawakan ekspresi kaget Stevani.

“Maaf, maaf. Tadi aku sudah menelepon rumahmu, tapi tidak ada yang mengangkatnya. Jadilah aku disini sekarang.”

“Memangnya kau ada perlu apa datang kesini?”

“Astaga! Kau tidak suka aku kesini? Yasudah, aku pulang saja,” sahut Lissa yang berpura-pura akan meninggalkan Stevani.

“Tidak! Aku kan hanya bertanya, tidak bermaksud mengusirmu,” ucap Stevani seraya menarik lengan Lissa supaya kembali duduk.

“Tunggu! Apa itu kau yang menulisnya, Gabi?” tanya Lissa yang kini tengah mengamati susunan empat huruf yang terangkai di bawah kaki Stevani. Tanah tanpa rumput itu Stevani jadikan sebagai media lukisannya. Melukis sebuah nama yang akhir-akhir memenuhi otak Stevani dan tertata rapi di dalamnya.

“Hapus saja kalau kau tidak suka. Aku tidak keberatan. Lagipula aku hanya melatih jari-jariku untuk bergerak.” Gadis itu mencoba mengelak. Ia tidak ingin ada yang mengetahui perasaannya, termasuk Lissa. Ia ingin menjaga perasaannya seorang diri. Itupun kalau ia sanggup melakukannya.

“Nona Weber, kau tidak perlu berbohong padaku seperti ini. Mengapa kau suka sekali berbohong, hah? Memangnya apa yang kau dapat dari hasil berbohongmu selama ini? Ingatlah, masalah ini timbul akibat dari hobi berbohongmu itu. Apa kau masih akan mempertahankannya? Berhentilah berbohong dan perbaikilah mulai dari sekarang. Berbohong tidak akan menyelesaikan masalah, sampai kapan pun kau berbohong, itu tidak akan memudahkanmu, malah akan menyulitkanmu seperti sekarang,” ucap Lissa yang diiringi tatapan tidak suka dari Stevani. Teman masa kecil Stevani itu terlalu memahami sifatnya hingga kadang ia sendiri merasa jengkel karena ia tidak bisa mengelak jika berhadapan dengannya.

“Tahu apa kau tentang diriku? Kau tidak tahu apa-apa, jadi lebih baik kau diam. Tidak perlu mencampuri urusanku terlalu jauh. Hidupku, hanya aku yang menentukan bukan siapa pun. Pulanglah kalau kau sudah selesai dengan bicaramu. Aku sedang tidak ingin diganggu,” sahut Stevani yang terdengar sangat marah. Ia memang tidak suka mendengar orang lain mengatur hidupnya, seakan mereka tahu apa yang akan terjadi padanya. Sekalipun itu adalah sahabat karibnya, ia tidak akan bisa menerimanya. Ia benci dengan semua kalimat-kalimat yang menurutnya hanya memojokkannya, bukan memberinya jalan keluar.

Lissa yang sadar akan kesalahannya hanya mampu diam, tak berani menatap sahabatnya yang kini tengah memandangnya sengit. Stevani yang juga sadar akan kata-katanya yang kasar, segera meraih tangan Lissa dan menariknya kedalam pelukannya. Tangis Stevani pecah seketika. Lissa yang sedari menahan emosinya akhirnya pertahannya runtuh ketika mendengar suara tangisan Stevani yang terdenagr sangat memilukan.

“Sepertinya aku mencintai pria itu, Lissa. Apa yang harus kulakukan? Aku takut jika ayah sampai mengetahuinya. Aku takut ayah akan semakin mempersempit ruang gerakku. Aku takut, sangat takut. Haruskah aku mengatakan yang sejujurnya? Aku sudah memikirkan ini berhari-hari, dan aku juga sudah berusaha untuk menerima ‘kehadirannya’ dalam hidupku. Tapi aku sama sekali tidak bisa, Lissa. Aku tidak bisa menganggapnya lebih seperti yang ayah minta. Lagipula, masih banyak gadis lain diluar sana yang lebih dariku. Lantas, mengapa ayah harus memilihku? Apalagi kalau bukan untuk urusannya sendiri? Apa aku sama sekali tidak berharga dimata ayah?”

“Itu akan sulit, Gabi. Masalah itu tidak akan selesai dengan mudah hanya dengan pengakuanmu. Tapi, bukankah kau masih memiliki Flyn untuk kau pertahankan? Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan ayahmu lakukan seandainya kau mengatakan hal yang sebenarnya, apalagi jika ayahmu tahu kau menolaknya demi Flyn. Tetaplah bertahan sampai semuanya terlihat jelas di mata ayahmu, Gabi. Aku yakin, orang itu akan segera tiba dan semuanya akan berakhir seiring berjalannya waktu,” ujar Lissa dengan suara serak akibat menahan suara isak tangisnya.

Suasa mengharukan yang sedang terjadi saat ini ternyata disaksikan oleh sepasang mata yang tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Liona merasa hatinya sakit saat mendengar adiknya akan menyerah. Meskipun ia kerap menyuruh Stevani untuk menerima tawaran ayahnya, tapi hati kecilnya selalu menangis, tidak rela jika adiknya yang harus menjadi batu loncatan hanya untuk kepentingan bisnis semata. Kini bukan hanya Lissa dan Stevani yang menangis, Liona yang melihat mereka dari jauh ternyata juga juga ikut menangis dalam diam. Ia berubah pikiran, ia tidak akan memaksa adiknya lagi untuk menerima tawaran konyol ayahnya. Biarlah Stevani yang memilihnya, karena semua keputusan ada ditangan Stevani, bukan Liona.

“Kau menangis, Gabi. Bukankah kau pernah berjanji tidak akan menangis lagi?” tanya Lissa seraya menghapus sisa-sisa air mata Stevani yang mulai mengering.

“Kau juga menangis. Jadi untuk apa aku menepati janji kalau saja juga menangis?” sahut Stevani yang kini menunjukkan senyum tipisnya. Meskipun ia tengah berada dalam masalah yang rumit, namun gadis itu bersyukur masih memiliki seorang teman yang mau menemaninya. Mendengar segala keluh kesahnya yang mungkin bagi sebagian orang hal itu dianggap berlebihan. Tapi, dengan sabar Lissa mau mendengarkan Gabi dan memahaminya tanpa pernah mengeluh sedikitpun. Sebuah jalinan persahabatan yang erat hingga Stevani takut jalinan erat itu akan terputus oleh suatu hal yang biasanya disebut dengan... cinta.

“Kau memang ahli dalam berdebat ternyata. Tak kusangka gadis anggun sepertimu suka sekali mengajak orang berdebat.” Stevani tertawa, menertawakan temannya yang suka menilai orang sesuka hatinya. Gadis itu kemudian menatap heran pergelangan tangan kiri Lissa yang menggegam tangannya. Dahi Stevani berkerut, tampak mengingat-ingat sesuatu.

“Kau kenapa?” tanya Lissa yang melihat perubahan sikap Stevani. Gadis itu lantas mengikuti arah mata Stevani yang ternyata tengah menatap heran gelang yang ia pakai. Ia menghelas napas pendek, lalu tersenyum kecil. “Cantik, ‘bukan? Apa kau juga menginginkannya?”

“Darimana kau mendapatkan benda itu? Setahuku, corak warna seperti itu bukan berasal dari Kensington. Apa kau membelinya saat kau berlibur keluar negeri?” Stevani masih menatap gelang itu dengan teliti. Ia merasa pernah melihatnya, tapi dimana?

“Sudahlah, tidak terlalu dipikirkan. Lebih baik kita masuk, disini sangat dingin. Ibumu juga sudah menunggu didalam. Ayo,” ajak Lissa sambil menarik pergelangan tangan kiri Stevani dengan tangan kanannya. Ia tidak ingin Stevani terus melihat gelang yang ia pakai. Ia takut jika Stevani menyadari sesuatu yang ia sembunyikan selama ini.

***

Sepulang dari kampus, mereka berdua tidak langsung pulang ke rumah. Lissa dan Stevani memutuskan untuk pergi ke Holland Park. Bagi Lissa mungkin hanya sebagai refreshing, tapi tidak untuk Stevani. Sebenarnya ada maksud lain saat ia mengajak Lissa ke Holland Park, yaitu untuk bertemu dengan seseorang yang memainkan flute beberapa bulan lalu. Lissa melangkah pelan menikmati pemandangan yang ada didepannya. Pohon-pohon besar yang sebelumnya terlihat sangat cantik kini terllihat sedikit gersang karena memang saat ini sedang musim gugur. Meskipun ia sudah berkali-kali melihat pemandangan seperti tapi sepertinya Lissa tidak akan pernah bosan untuk selalu mengamati warna-warni daun yang mulai mengering.

Dan Stevani? Sejak awal ia menginjakkan kakinya di Holland Park, ia mulai mengamati seluruh isi tempat itu demi menemukan seseorang yang ia sebut sebagai ‘Mr.Flute’. Ia sibuk mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut Holland Park. Ia berjalan dengan sangat pelan agar tidak ada yang terlewat dari pengamatannya.

Tiba-tiba saja langkah Lissa terhenti dan sukses membuat Stevani mau tidak mau menabrak punggungnya karena memang ia masih berjalan di belakang Lissa.

“Mengapa kau berhenti tiba-tiba seperti ini? Menyebalkan!” gerutu Stevani seraya membenarkan syal yang melingkar dilehernya.

“Apa kau tahu apa yang mengganggu pikiranku saat ini?” tanya Lissa tanpa menoleh kebelakang. Matanya masih menatap sebuah ranting pohon yang dipenuhi oleh salju.

“A..apa?”

“Sepulang dari kuliah, biasanya kau akan diam dirumah tanpa mau keluar. Sedangkan sekarang? Kau memaksaku untuk pergi kesini. Sebenarnya apa yang kau rencanakan?” ucap Lissa seraya memutar badannya hingga sekarang ia berhadapan dengan Stevani.

“Oh Tuhan! Bisakah kau tidak berpandangan buruk terhadapku? Aku hanya ingin jalan-jalan saja, tidak boleh?”

Senyum tipis terlihat jelas di wajah Lissa yang sepertinya tengah menertawakan kebodohan sahabatnya itu.

“Jadi kau masih hobi berbohong, huh? Silahkan saja, tapi aku tidak akan ikut campur jika masalahmu bertambah besar. Aku bosan, kau tahu itu kan? Aku bosan dengan segala masalah rumitmu yang kau buat sendiri, meskipun bukan seratus persen kesalahanmu tapi setidaknya kau memiliki lima puluh persen dalam memperkeruh masalah ini. Belajarlah untuk terbuka, Gabi. Masalah tidak akan selesai kalau terus menyimpannya sendiri. Kalau aku boleh jujur, sebenarnya aku lelah jika setiap saat harus menasehatimu berulang kali seperti ini. Gunakanlah otak cerdasmu dengan baik, dengan begitu kau bisa mencari jalan keluarnya. Dan satu lagi, jangan mencoba untuk berbohong. Jadi sekarang, katakan padaku, apa rencanamu mengajakku ke tempat ini?”

“Apa?”

“Terserahlah, kalau kau tidak mau cerita aku pulang saja. Kakiku suda terasa pegal karenamu.”

“Mr.Flute...”

“Hm?” Reflek Lissa memutar badannya dan menatap Stevani bingung. ‘Mr.Flute? Siapa?’

“Aku ingin bertemu dengannya. Sekali saja, aku hanya ingin melihatnya.”

“Okay, aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Sekarang jelaskan padaku, siapa itu Mr.Flute?”

“Kira-kira enam bulan yang lalu, saat musim semi aku pergi ke tempat ini sendiri. Aku mendengar alunan indah ‘Amazing Grace’ yang berasal dari alat musik flute. Saat itu juga aku mencari arah suara berasal, tapi aku sama sekali tidak bisa menemukannya. Kau tahu? Bagiku alunan merdu flute itu adalah hal yang paling terindah yang pernah ku dengar. Tapi sampai sekarang aku tidak pernah mendengarnya lagi meskipun aku sering datang ke tempat ini sekedar untuk mendengarnya sekali lagi. Aku merindukannya, Lissa.”

“Jadi kesimpulannya, kau belum pernah bertemu dengannya?”

“Begitulah..”

“Tapi mengapa kau yakin bahwa ia adalah seorang pria? Mr.Flute?”

“Hatiku berkata bahwa ia adalah seorang pria. Sebenarnya aku juga tidak tahu ia seorang gadis atau pria, tapi entah mengapa dengan mudah aku mempercayai kata hatiku. Dan jika benar ia adalah seorang pria, maka aku akan sangat bahagia,” ucap Stevani dengan wajah gembira.

“Dan jika orang yang kau anggap Mr.Flute itu adalah seorang gadis?”

“Maka aku akan menjadikannya sebagai temanku. Menggeser posisimu mungkin,” ucap Stevani yang sengaja membuat ‘jealous’ Lissa.

“Kalau begitu aku berharap ia adalah seorang pria!” sahut Lissa yang membuat Stevani tertawa terpingkal-pingkal.

“Berhenti menertawakanku, Gabi! Tidak ada yang lucu disini. Dasar kau–“

Ucapan Lissa terhenti ketika ia melihat ada seseorang yang sejak awal ia datang ke Holland Park sudah memperhatikannya dari balik pohon. Lissa tidak yakin siapa orang itu, tapi ia merasa kenal dengan postur tubuhnya.

“Heh, kau kenapa? Melihat hantu?”

“Bodoh! Mana ada hantu di tempat seperti ini. Yang ada hanyalah segerombolan bandit yang membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Dan kau akan menjadi mangsa mereka kalau kita tak cepat sampai dirumah. Kau mau menjadi korban para preman itu, Nona Gabi?”

“Ti..tidak! Aku benci para bandit yang mengusik orang lain! Ya sudah, kita pulang sekarang. Aku juga sudah lelah terlalu lama mengelilingi tempat ini.”

Sekali lagi, Lissa menoleh kebelakang untuk memastikan siapa yang mengintip mereka tadi dan benar saja tebakannya benar. Orang yang sedari tadi memperhatikan mereka dua adalah orang yang ia kenal. Sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah lengkungan indah mengingat jalan hidup Stevani yang menyimpan begitu banyak kejutan.

‘Percayalah padaku, semua akan menjadi mudah saat kau mau menerima kenyataan dan bertekad untuk meraih mimpi meskipun tembok besar menghalangimu. Aku akan selalu membantumu selama yang kau mau. Dan selama itulah aku akan terus memperhatikanmu dalam meraih mimpi. Percayalah padaku, Gabi.’

***

Pagi ini, seorang gadis bermarga Weber itu bangun sangat pagi. Lebih pagi dari biasanya sampai-sampai para pelayan rumahnya dibuat takjub oleh tingkah laku putri majikannya yang membantu pekerjaan mereka di dapur. Gadis itu tengah menikmati waktunya berada di depan kompor dengan sebuah panci diatasnya. Ia mengaduk-aduk isi panci yang sudah Nancy beri beberapa sayuran. Sesekali ia mengambil sendok, mengambil sedikit kuahnya, dan kemudian memasukkan ke dalam mulutnya. Memberikan beberapa rasa pada indera pengecapnya. Walaupun ia jarang sekali memasak, namun ia sangat mengerti bagaimana cara membuat masakan menjadi sangat enak. Dengan cinta. Itulah yang ia katakan ketika Nancy menanyakan bagaimana bisa putri bungsu Weber itu membuat rasa masakannya menjadi sangat lezat.

Tak lama kemudian, gadis itu menganggukkan kepalanya, lantas menaburkan sedikit garam pada masakan itu. Kembali ia mengaduk-aduk masakan itu tanpa mengatakan sepatah katapun. Nancy hanya bungkam, tidak berani mengganggu mood Stevani yang tampak lebih ceria dari biasanya. Wanita paruh baya itu bahagia melihat putri bungsu majikann kembali seperti semula. Meskipun ia tidak memiliki hubungan darah dengan Stevani, namun ia dapat merasakan kedamaian tersendiri dihatinya saat melihat seulas senyum tercipta menghisasi wajah cantiknya. Matanya bergerak-gerak, mengamati setiap gerakan Stevani yang terlihat begitu tenang.

“Sudah selesai. Hah, ternyata rasanya melelahkan juga berada di dapur terlalu lama. Oh ya, aku ingin sup milikku nanti kau tambah dengan potongan sosis di dalamnya. Apa kau mengerti, Nancy?” tanya Stevani seraya melepas apron putih yang menutupi di bagian depan tubuhnya. “Nancy?” Stevani memanggil Nancy sekali lagi, mecoba menyadarkan lamunan wanita paruh baya itu. Gadis itu menaikkan alis kanannya, tidak percaya dengan kecerobohan Nancy yang melamun saat berada di dalam dapur. ‘Bagaimana bisa ia melamun ditengah keramian seperti ini? Apa semalam ia kurang tidur?’

Gadis itu lantas berjalan menghampiri Nancy yang berdiri tak jauh darinya. Tanpa sengaja ekor matanya melihat sebuah loyang berisi bongkahan es yang berhasil memunculkan ide gilanya seperti sebuah lampu terang tengah melayang diatas kepalanya. Kemudian ia mengambil sebongkah es yang berukuran cukup besar lalu menempelkannya tepat di pipi kanan Nancy. Wanita paruh baya itu terlonjak kaget, berteriak cukup keras sambil memegangi pipi kanannya. Tawa gadis usil itu meledak, memenuhi ruangan yang berisi penuh dengan makanan. Ia sangat senang bisa mengerjai para pelayannya seperti ini. Sebuah hiburan tersendiri bagi Stevani bisa mellihat wajah-wajah terkejut para pelayannya. Hal itulah yang disukai para pelayan rumahnya. Meskipun terkadang Stevani terlihat sangat dingin dan tidak peduli, namun pada dasarnya gadis itu sangatlah hobi menjahili semua orang yang ada disekitarnya. Dan yang paling sering menjadi sasaran untuk menyalurkan hasrat keusilannya adalah Nancy dan Alice. Dua orang itu sudah seperti mainan untuk Stevani ketika ia dilanda bosan yang teramat sangat. Dan hanya pada ibu dan anak itulah Stevani bisa merasakan bagaimana hangatnya berada ditengah-tengah keluarga normal seperti pada umumnya. Tidak seperti keluarganya yang hanya sibuk memikirkan urusan masing-masing tanpa mau meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol, membicarakan berbagai pengalaman yang mereka dapat selama menekuni dunia seni.

“Hahaha... lihatlah wajah terkejutmu itu, Nancy! Kau terlihat seperti bayi! Hahaha...” Semua pelayan yang ada di dalam ruangan itu, sontak mengalihkan perhatiannya pada sosok Nancy yang masih memegangi pipi kanannya. “Ya sudah, aku mau menyiapkan diriku sebelum berangkat. Jangan lupa, berikan potongan sosis di dalam supku. Alice, bisakah kau membantu ibumu menyiapkan sarapan?” Alice mengangguk sekali kemudian berjalan mendekati lemari perabot dan mengambil beberapa mangkuk kecil.

Gadis usil tadi segera beranjak dari tempatnya, meninggalkan para pelayannya yang sibuk mengurus sarapan keluarganya, dan menghilang dibalik pintu dapur. Namun, ia kembali masuk kedalam lalu memeluk tubuh Nancy dari belakang. Mencium pipinya kemudian membisikkan tiga kata ditelinga kirinya yang mampu membuat wanita paruh baya itu menarik kedua sudut bibirnya ke atas, membentuk sebuah seyuman yang indah. Setelah itu, Stevani benar-benar meninggalkan dapur dan menaiki tangga menuju lantai dua dengan riang. Tampak segar dan bahagia.

“Aku sangat menyayangimu,” gumam Nancy pelan, mengulangi kata-kata Stevani yang masih berdengung jelas ditelinganya. “Tetaplah seperti itu, Nyonya Muda,” batin Nancy yang kini sudah mulai menuangkan sup hasil buatan Stevani ke dalam mangkuk-mangkuk kecil itu.

***

Bangunan besar nan kokoh yang disebut dengan gedung itu terlihat sangat sepi. Biasanya, suasana disekitarnya akan menjadi ramai ketika jarum jam sudah menunjukkan angka tujuh. Tapi ini masih terlalu pagi. Sangat pagi. Jarum jam masih belum beranjak dari angka enam sejak Stevani berangkat. Gadis itu lantas mengangkat kedua tangannya ke atas, merentangkannya sejauh mungkin. Merenggakan kedua tangannya dan menghirup udara segar sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya perlahan. Ia sangat menyukai udara bersih di pagi hari. Belum ada polusi dan debu yang bercampur didalamnya. Masih begitu alami dan menyegarkan. Gadis itu melanjutkan langkahnya menuju suatu tempat yang bisa melatih jari-jarinya untuk bergerak di pagi hari ini. Ia berjalan cukup pelan sambil memejamkan kedua matanya sepanjang koridor, seolah ia menghafal betul tata letak ruang yang ada di dalam gedung itu. Setelah cukup lama ia berjalan lurus, beberapa detik kemudian ia membelokkan arah kakinya ke kanan, masih dengan mata terpejam. Terlihat seulas senyum di wajahnya putihnya. Tampak begitu tenang dan mempesona. Dapat membius siapa saja yang melihat paras bidadari itu. Auranya memancar begitu pekat hingga setiap gadis yang melihatnya merasa iri. Terlalu sempurna. Itulah definisi yang bisa diberikan untuk menggambarkan sosok gadis bermarga Weber itu.

Tak lama kemudian, langkah kakinya terhenti seketika saat hitungannya dirasa cukup. Pelan-pelan, ia membuka kedua matanya yang sejak tadi terpejam. Tangan kanannya terulur, memegang gagang pintu bercat coklat yang ada di hadapannya, kemudian memutarnya ke kanan. Pintu itu terbuka dan menampakkan sebuah ruang yang berisi beberapa alat musik di dalamnya. Tirai coklat yang sudah terbuka membuat sinar keemasan itu menembus masuk melalui jendela sehingga alat-alat musik itu terlihat bersinar. Pencahayaan yang begitu cantik dan menarik. Gadis itu mematung di tempatnya sambil memandang takjub sebuah pemandangan yang tersaji di depan matanya sampai-sampai ia hampir lupa bagaimana caranya berkedip. Ini adalah pertama kalinya ia berangkat sepagi ini dan mendatangi tempat yang jarang ia lewati. Bola mata hitamnya bergerak-gerak, menelusuri setiap sudut ruangan cantik itu. Dekorasi yang didominasi dengan warna coklat itu semakin menambah kesan elegan di dalamnya. Gadis itu masih bergeming di ambang pintu sampai sebuah suara dentingan piano memaksanya untuk melangkah maju, memasuki ruangan yang penuh dengan berbagai alat musik. Kepalanya menoleh ke kanan, mendapati sebuah Grand Piano dengan sepasang sepatu di bawahnya. Ia mengerutkan keningnya heran, tidak menyangka akan ada seseorang disini.

Gadis itu lantas berjalan cukup pelan mendekati Grand Piano, tidak ingin mengganggu seseorang yang tengah duduk manis menikmati setiap dentingan tuts-tuts piano yang ia ciptakan. Ia sedikit melebarkan matanya agar ia bisa melihat siapa yang ada di balik Grand Piano itu. Namun, siapa sangka kalau orang yang tengah asyik memainkan tuts-tuts piano itu adalah mahasiswa baru di kampusnya. Gadis itu tercekat, menahan napasnya cukup lama. Dengan cepat, ia segera membalikkan badannya sambil menapakkan telapak kakinya dengan sangat pelan. Berusaha menghindar dari sosok yang mampu membuat detak jantungnya menjadi tak beraturan. Dengan sangat pelan, ia berjalan berjingkat seperti pencuri yang menyusup ke dalam rumah untuk mencuri. Gadis itu bertingkah cukup konyol yang tanpa ia sadari sepasang mata tengah menatapnya heran. Menyaksikan tingkah konyolnya yang membuat orang itu hampir meledakkan tawanya. Tanpa orang itu inginkan, sudut bibir kirinya terangkat ke atas, membentuk sebuah senyuman miring yang sangat menawan. Sorot matanya yang tajam terus memperhatikan tingkah Stevani yang terlihat begitu menarik di matanya. Sinar matanya menatap gadis itu hangat, seperti matahari yang selalu menatap bumi dengan segala kehangatan yang dimilikinya. Dadanya terasa sedikit berbeda dari biasanya. Terasa sangat aneh dengan debaran jantung yang semakin lama semakin cepat. Ia sendiri tidak tahu mengapa, tapi perasaan itu selalu mengusiknya dan akan berhenti hanya jika kedua bola matanya menangkap sosok bayangan gadis itu. Orang itu melipat kedua tangannya di depan dadanya dan memiringkan kepalanya ke kiri, berusaha melihat gadis itu dengan lebih jelas. Tinggal beberapa langkah lagi, gadis itu akan segera sampai ditempat tujuannya. Yaitu sebuah pintu untuk ia berlari keluar sejauh mungkin, menghindari seorang pria yang akan membuatnya mati karena kehilangan detak jantungnya. Namun, belum sempat ia menapakkan kaki kirinya ke lantai, jantungnya kembali berpacu sangat kencang ketika suara bariton itu berhasil menggetarkan gendang telinganya. “Mungkin sebentar lagi aku akan mati,” pikir Stevani yang masih bertahan dengan posisinya saat ini.

“Kau mau kemana? Masuk tanpa permisi dan keluar tanpa izin. Seperti pencuri saja,” ucap sebuah suara bariton yang sukses menghentikan langkah gadis itu. Ia kembali tersenyum saat mendapati ekspresi Stevani yang terlihat sangat panik. Ia merasa sangat senang bisa melihat ekspresi lucu itu tercetak jelas di wajah cantik Stevani. Terasa begitu menenangkan.

“A-aku... aku ti-tidak sengaja lewat sini. Jadi, aku masuk saja dan ternyata kau ada disini. Maaf sudah mengganggumu. Aku permisi,” pamitnya lalu bergegas berjalan melewati pintu dan menutupnya kembali. Gadis itu langsung menyandarkan tubuhnya di pintu, tangan kanannya memegangi dada kirinya yang terasa sangat sesak. Napasnya tersengal-sengal, seperti habis berlari sejauh dua ratus meter. Ia menghirup oksigen sebanyak yang ia bisa, kemudian menghembuskannya perlahan, berusaha menstabilkan detak jantungnya yang bekerja terlalu cepat.

Sedangkan seorang pria yang masih duduk di bangku panjang itu hanya diam menyaksikan kepergian Stevani. Sorot matanya yang semula tampak bersinar, kini mulai meredup seperti sinar matahari senja yang menyembunyikan cahayanya. Dilema. Itulah yang sedang ia rasakan. Tujuannya meneruskan pendidikannya ke tempat ini adalah untuk kesuksesannya kelak, bukan untuk mencari cinta yang mungkin akan menghambat atau bahkan menghancurkan mimpinya. Tapi, bukankah cinta memang selalu seperti itu? Datang semaunya dan membuat kacau perasaan seseorang tanpa ampun. Meskipun pria itu berusaha menghindari setiap gadis disekelilingnya, namun apa daya pesona yang dimiliki gadis itu begitu memikat sehingga membuatnya sedikit goyah dan tidak fokus dengan apa yang sedang ia kejar saat ini.

‘Bisakah aku mengabaikannya? Bisakah? Tapi mengapa hatiku terasa seperti tersayat saat sosoknya hilang dari jarak pandangku? Mungkinkah aku sudah terjatuh ke dalam sebuah perangkap dengan berbagai macam tipu daya didalamnya yang disebut.. cinta?’

****
To Be Continued....

Hahaha akhirnya berhasil juga di post. gimana? pada mau dilanjutin gak? kalo iya, komen yang banyak yaaaa :D jangan pelit komen pokoknya. See You Next Time! Bye Bye ~~

œ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar