Author : I.A.Eve
Genre : Sad, hurt, school life
Moga moga suka ya….
Happy Reading :D
Biarkan TYPO menikmati bagiannya...
______*****_______
– Ketika hati menyuarakan segala rasa yang bersemanyam di dalamnya –
.....
When I Met You
“...aku masih ingat dan tak akan pernah
lupa saat
pertama kali aku bertemu dengamu...
Kenangan itu hampir setiap hari berputar
menghantui pikiranku
Membuatku terus mengingat tentangmu yang
selalu berhasil membuat dadaku
bergemuruh dengan hebatnya...
Mengagumi setiap inchi garis wajah
yang tergambar dengan sangat sempurna
Dan saat itulah untuk pertama kalinya
aku merasakan jatuh cinta...”
******
Sore itu, Holland Park–taman teromantis di London–terlihat sangat ramai
oleh pengunjung. Mereka selalu saja berdatangan seolah tak ada habisnya hingga
membuat taman ini terlihat sesak. Tempat ini memang menjadi salah satu tempat
yang sangat diminati oleh wisatawan mengingat suasana yang disajikan sangatlah
indah dan sunyi apalagi saat ini adalah musim semi. Bunga-bunga bermekaran, menambah
kesan romantis di dalamnya. Tentu saja, kebanyakan dari mereka yang mengunjung
tempat seperti ini adalah sepasang kekasih. Mereka sengaja meluangkan waktu
untuk pergi berdua, sekedar untuk menikmati nuansa romantis yang mendominasi
taman itu. Namun sayang, pemandangan indah Holland Park menjadi sangat
memuakkan di mata seorang gadis yang tengah duduk di bangku panjang taman itu.
Tanpa sengaja ekor matanya melihat sepasang kekasih tengah bermesraan di
depan matanya. Hal seperti itulah yang membuat mata gadis itu terasa panas dan dada
kirinya mendadak terasa sakit. Iri? Mustahil! Gadis itu merasa sakit bukan
karena iri, melainkan karena suatu hal yang mungkin bila dibiarkan terlalu lama
akan membunuhnya. Sedetik kemudian, buliran air terjatuh dari sudut matanya
yang cantik. Gadis itu menangis dalam diam tanpa ada seseorang disampingnya
sekedar untuk menghapus air matanya. Ia sengaja pergi ke taman ini tanpa
mengajak siapapun ikut bersamanya, termasuk para pelayan rumahnya yang sudah
sangat khawatir dengan perubahan sikapnya akhir-akhir ini.
“Kau ingin minum, nona?” tanya seorang pria seraya menyodorkan berbagai
macam jenis minuman.
Stevani menghapus bekas air matanya dan mendongak ke atas untuk sekedar
melihat penjual minuman yang tengah berdiri di hadapannya.
“Tidak, terimakasih,” jawab Stevani sopan.
Penjual minuman itu pun berlalu meninggalkan Stevani hingga punggung pria
itu tidak terlihat lagi olehnya.
Gabriella Stevani Weber, ia adalah putri bungsu keluarga Weber dari tiga
bersaudara. Banyak gadis yang sangat iri dengan posisinya sebagai putri
keluarga Weber yang terkenal sebagai keluarga berdarah seni yang terpandang.
Ayahnya, John Frederick Weber, adalah seorang pianis terkenal. Berita tentang
kehebatannya memainkan tuts-tuts piano sudah tersebar hampir seluruh dunia.
Sedangkan ibunya, Vanessa Claudia Weber, adalah seorang penyanyi sopran yang
terkenal di London. Dua kakak Stevani, Ricky dan Liona saat ini tengah bergelut
di dunia hiburan sebagai aktor dan aktris. Dan Stevani? Recananya ia akan
meneruskan pendidikannya ke Royal College of Music di Kensington Selatan musim
ini.
Gadis itu kemudian menunduk lemah, mencoba mengusir kegelisahannya yang
sejak tadi mengganggu pikirannya. Tak lama kemudian, Stevani tampak menggeleng
sekali, kemudian menghembuskan napasnya kesal. Ia tidak habis pikir, mengapa ia
bisa terlahir ditengah-tengah keluarga seniman seperti saat ini. Karena
sejujurnya, Stevani sangatlah buruk dalam bermusik. Ia lebih suka
mempelajarinya dalam bentuk teori bukan praktik. Selama ini ia hanya menurut
dengan apa yang sudah direncanakan orangtuanya. Mengikuti les piano, biola,
menyanyi, dan masih banyak lagi, hingga ia sendiri merasa bosan dengan
rutinitasnya setiap pulang sekolah. Dan sampai sekarang, ia masih saja heran
dengan kasak-kusuk disekitarnya yang sangat menginginkan posisinya sebagai
putri keluarga Weber. Bagaimana bisa orang-orang disekitarnya sangat iri dengan
kondisinya saat ini? Apakah mereka ingin merasakan bagaimana rasanya tertekan
meskipun di dalam keluarganya sendiri? Oh Ayolah, jika saja Stevani memiliki
keberanian untuk mengatakan bahwa ‘ia sangat buruk dalam bermusik’ pasti semua
ini tidak akan pernah terjadi. Tapi semua sudah terlambat, ia sudah dianggap
mahir dalam bermusik. Akan sulit jika Stevani tiba-tiba mengatakan hal yang
sebenarnya, dan menghentikan segala rencana konyol ayahnya.
Gadis itu masih terisak, membiarkan tetesan air matanya membanjiri kedua
telapak tangan yang ia tangkupkan di wajahnya. Namun, dengan cepat ia bisa
menghentikan isakan tangisnya ketika sebuah alunan musik berhasil menggetarkan
tulang-tulang pendengarannya. Selama ini, ia belum pernah mendengar alunan
musik seindah itu meskipun ayahnya adalah seorang komposer. Dengan tergesa,
Stevani menyeka air matanya dan beranjak menuju arah suara berasal. Ia mulai
berlari setelah cukup lama ia tak kunjung menemukan tempat suara itu berasal.
Terbesit kekecewaan di hatinya seiring menghilangnya suara alunan musik yang
sedari tadi ia cari. Ia sendiri juga tidak tahu mengapa, tapi rasanya ia ingin
sekali bertemu dan melihat siapa yang menyenandungkan ‘Amazing Grace’ dengan
alunan merdu flute. Wajah yang sebelumnya sempat terlihat bahagia kini kembali
sendu. Stevani mendongak, menatap titik-titik bintang dilangit yang sudah mulai
gelap. Dalam hatinya ia berdoa, semoga masih ada kesempatan baginya untuk hidup
sesuai pilihannya sendiri. Gadis itu juga berharap, semoga orangtuanya mau
mengerti dan mendengarkan apa yang menjadi keinginannya walaupun ia sendiri
sudah membuang mimpi yang ia idam-idamkan sejak kecil.
Dengan gontai, ia berbalik dan mulai melangkahkan kakinya meninggalkan
Holland Park. Entah ada apa di belakang sana, yang jelas Stevani merasa enggan
untuk meninggalkan tempat itu. Ia menghentikan langkahnya dan melihat
kebelakang sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Holland Park. Senyum tipis
berhasil tergambar di wajahnya setelah ia mengucap janji di hati kecilnya.
Gadis itu kemudian berbalik, lalu melangkahkan kakinya sebelum para pelayan
menjemputnya. Dan tanpa Stevani sadari, sepasang mata tengah mengamatinya dari
balik pohon besar. Mata itu seakan tidak ingin lepas dari sosok gadis yang
begitu cantik dan anggun di matanya. Baginya gadis itu bukan manusia melainkan
malaikat yang di datangkan oleh Tuhan untuknya. Dan dengan melihat senyum gadis
itu, ia semakin yakin bahwa hatinya sudah ikut bersamanya. Dalam hati ia
bersyukur atas kebahagiaan yang tengah ia rasakan saat ini, karena pada
akhirnya ia tahu bahwa gadis itulah yang telah berhasil memiliki hatinya.
“Kita akan segera bertemu, Gabi,” gumamnya pelan seraya mengembangkan senyum
yang menghiasi wajahnya.
***
“Jadi, Stevani, kau akan meneruskan kuliahmu dimana? Ku harap kau sudah
membuat keputusan yang tepat,” ucap sebuah suara bass yang sangat Stevani
kenal, yaitu seorang pria yang menjadi kepala keluarganya, Tn.Weber.
Saat ini keluarga Weber sedang makan malam di ruang tengah. Ricky dan
Liona yang tengah asik menceritakan kegiatannya selama seminggu ini seketika
bungkam mendengar ayahnya mulai angkat bicara. Mereka sangat menghormati
ayahnya, apapun titahnya pasti akan mereka patuhi. Begitu pula dengan Stevani,
si bungsu yang selalu merasa tertekan bila berada di tengah-tengah keluarga
besarnya. Ricky dan Liona yang sebelumnya terlihat santai menikmati makan
malamnya kini harus menahan napasnya karena ayah mereka mulai membahas soal
Stevani. Ny.Weber juga merasakan hal yang sama dengan Ricky dan Liona.
Sedangkan Stevani dengan santainya memotong steak dan memasukkannya ke dalam
mulutnya. Sepertinya Stevani benar-benar sudah muak dengan semua rencana
ayahnya yang menurut prediksinya akan menghancurkan hidupnya kelak.
“Nona Weber?! Apa kau mendengarkanku?” kata Tn.Weber dengan nada yang
sudah naik beberapa oktaf.
Suasana semakin tegang ketika Tn.Weber memanggil Stevani dengan sebutan
‘nona’. Itu artinya emosi Tn.Weber mulai tersulut karena ia merasa diabaikan
oleh putri bungsunya. Stevani yang mendengar nada bicara ayahnya mulai naik beberapa
oktaf hanya bisa menghela napasnya pelan. Stevani benar-benar lelah dengan apa
yang ada di keluarga Weber. Ingin sekali ia mengatakannya, tapi disisi lain ia
tidak ingin membuat ibunya merasa kecewa oleh sikapnya. Dengan pelan, Stevani
meletakkan garpu dan pisau kecil di samping piringnya. Ia berusaha tersenyum
supaya ibunya merasa bahwa dirinya baik-baik saja.
“Aku mendengarnya, Tn.Weber. Bagaimana mungkin aku tidak mendengarnya
sedangkan aku duduk tepat disebelahmu?” sahut Stevani seraya menunjukkan senyum
masamnya.
“Panggil aku ‘Ayah’! Apa kau malu menjadi anakku? Hah?!” bentak Tn.Weber
yang sudah tidak bisa meredam emosi yang sedaritadi ia tahan.
“Untuk apa aku malu memiliki ayah seorang komposer terkenal di seluruh
jagad raya ini? Aku bangga karena kau adalah ayahku, Tn.Weber, ah maksudku
‘Ayah’,” jawab Stevani dengan penekanan kata saat mengucapkan ‘Ayah’.
Detak jantung Ny.Weber, Ricky dan Liona sudah tidak bisa mereka
kendalikan lagi. Sangat cepat bahkan terlalu cepat hingga mereka hanya bisa
mendengarkan suara detak jantungnya sendiri. Mereka bertiga sudah sangat
khawatir saat Tn.Weber mulai mengajak bicara Stevani dan membahas masalah
sekolahnya. Itulah mengapa akhir-akhir ini mereka bertiga selalu mengalihkan
perhatian Tn.Weber agar tidak memperhatikan Stevani. Tapi apa boleh buat, hal
yang selama ini mereka takutkan akhirnya terjadi di depan mereka.
Tn.Weber yang sudah mencapai titik puncak emosinya akhirnya pergi
meninggalkan meja makan. Ia terlalu emosi hingga lidahnya tidak bisa ia gunakan
sama sekali. Hal itulah yang Stevani sukai dari ayahnya, saat sedang marah
Tn.Weber tidak akan mengumbar kata-kata yang mungkin bisa berwujud sumpah
serapah, tetapi Tn.Weber lebih memilih diam dan tidak berbicara sama sekali
sebelum Stevani mengakui kesalahannya.
Tanpa Stevani inginkan, setetes air mata telah berhasil meluncur melewati
pipi putihnya. Stevani merasa bersalah dengan sikapnya yang membuat ayahnya
sangat marah, namun disisi lain ia juga merasa muak dengan semua sikap ayahnya.
Keadaan yang sangat rumit, ‘bukan? Tapi itulah yang selalu Stevani rasakan
hingga sekarang. Saat hendak meninggalkan meja makan, pergelangan tangan
Stevani sudah di genggam oleh Liona, sang kakak yang selalu memberikannya
sebuah perhatian. Stevani menatap Liona bingung, namun Liona hanya tersenyum
meyakinkan pada adiknya bahwa semua akan baik-baik saja. Gadis itu lalu menarik
tangan Stevani dan membawa sang adik menuju balkon kamarnya yang ada di lantai
tiga. Seperti orang yang baru saja sembuh dari amnesia, Stevani baru ingat
bahwa pemandangan malam yang terlihat dari balkon sangatlah indah. Akhir-akhir
ini Stevani memang terlalu banyak masalah sampai-sampai ia melupakan tempat
favoritnya. Kamar Liona adalah tempat favorit Stevani, karena disana ia bisa
meluapkan segala masalahnya dengan menikmati semilir angin dan pemandangan yang
sangat elok. Sedangkan kamar Stevani sendiri membelakangi pemandangan yang
akhirnya ia hanya bisa melihat air mancur di halamannya setiap ia berdiri di
balkon.
“Katakan padaku, sebenarnya apa yang terjadi padamu, Gabi?”
Gabi adalah nama kecil sekaligus nama kesayangan yang selalu digunakan
keluarga Weber dan teman dekatnya saat memanggilnya, kecuali ayahnya, Tn.Weber.
Ia selalu memanggilnya ‘Stevani’. Pernah sekali ia memanggilnya ‘Gabi’ saat
Stevani terpeleset dan akhirnya tercebur ke dalam kolam. Hanya sekali dan
Stevani masih mengingatnya sampai sekarang.
“Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu. Aku hanya merasa bingung, itu
saja,” sahut Stevani lirih. Jujur saat saat ini ia benar-benar rapuh, sama
sekali tidak memiliki kekuatan untuk dirinya. Ia menatap lurus kedepan,
menerawang entah kemana. Bagi Stevani, hidupnya saat ini tidak lebih dari
boneka mainan yang bisa dipermainkan sesuka hati. Sama sekali tidak memiliki
kebebasan dalam memilih. Itulah yang sangat ia sesalkan terhadap ayahnya. Ia
ingin sekali diberi kebebasan dalam memilih jalan hidupnya. Ia ingin
mengepakkan sayap-sayap kecilnya dan terbang setinggi mungkin. Tapi itu semua
hanya mimpi, sekarang yang ada hanyalah rencana yang sudah diatur oleh ayahnya.
“Kau mencoba membohongiku, adik kecil? Hah, percuma saja kau berbohong.
Meskipun bibirmu bisa membohongiku, tapi ingatlah sorotan matamu tidak akan
pernah bisa membohongi kakakmu ini. Cobalah untuk menerima keputusan Ayah,
Gabi. Hanya itu satu-satunya jalan agar kau terbebas dari semua masalah ini.
Kau tidak akan pernah bisa pergi meninggalkan keluarga ini, apalagi melepaskan
hubungan antara kau dan Ayah. Kita adalah satu. Sekeras apapun kau mencoba
menghapusnya, kau tidak akan pernah lepas dari nama Weber. Karena kita adalah
keluarga, Gabi. Jangan sekali-kali kau mencoba untuk menghindar atau menganggap
Ayah hanyalah mimpi buruk karena itu akan membuatmu merasa menyesal tanpa kita
ketahui kapan waktu itu akan tiba. Kau boleh marah tapi jangan sampai terbesit
rasa benci ataupun dendan dalam hatimu. Karena jika hal itu sampai terjadi, kau
tidak lebih dari seorang pembunuh. Ingatlah, kau bisa hidup tanpa memikirkan
uangmu yang mulai menipis atau persediaan makananmu yang mulai habis itu semua
karena Ayah. Meskipun ibu juga bekerja, tapi itu juga tak lepas dari nama Ayah.
Bersyukurlah dengan kehidupanmu saat ini, langkahkan kakimu pada jalan yang ada
dihadapanmu. Aku yakin, Ayah melakukan ini semua karena ia menyayangimu, Gabi.
Ayah tidak akan mencelakai putri bungsunya, ‘bukan? Ayah hanya ingin yang
terbaik untukmu, meskipun cara Ayah menyampaikannya padamu salah. Sekarang,
renungkanlah perkataanku tadi. Semua yang kukata–“
“Ayah hanya mementingkan dirinya sendiri, Liona! Sekalipun Ayah tidak
pernah mau mendengarkan apa yang aku inginkan. Sekalipun tidak pernah, Liona!
Ayah... ayah sama sekali tidak memperhatikanku, menyayangiku, apalagi
mencintaiku! Ia hanya mementingkan derajatnya dan selalu melihat orang lain
dengan sebelah mata tanpa memikirkan perasaan orang lain. Ia hanya ingin nama
besarnya menguasai seluruh dunia dan dengan begitu ia akan menaklukan dunia
yang sudah berada dalam genggamannya, termasuk aku. Aku hanyalah boneka
mainannya yang tidak akan pernah ia lihat sedikitpun. Baiklah, aku memang
sangat buruk dalam bermusik, tapi apakah itu salah? Aku juga tidak memiliki
suara sebagus ibu, apa itu salah? Salahkan Tuhan yang menciptakanku dengan
begitu buruknya, Liona!”
PLAKK! Tamparan Liona tepat mengenai pipi kiri Stevani yang sudah basah
akibat air matanya. Ia sangat marah mendengar ucapan adiknya yang dengan mudah
mencerca Tn.Weber, ayahnya sendiri.
“Jaga ucapanmu, Gabi! Sudah berkali-kali kukatakan, jangan pernah berkata
buruk pada Ayah, apalagi Tuhan! Tahu apa kau tentang takdir Tuhan?! Sesuci
itukah dirimu hingga berani-beraninya kau menghina Tuhan? Tanpa Tuhan, kau
tidak akan bisa merasakan dunia, Gabi! Dan Ayah, apakah selama ini Ayah pernah
mengeluarkan sumpah serapahnya padamu? Pikirkan! Sekalipun Ayah tidak pernah
mengataimu dengan berbagai macam hal buruk. Sedangkan kau? Mengatakan Ayah
adalah seorang yang haus akan kekuasaan dan nama besar, begitu?! Dimana letak
rasa terimakasihmu, Gabi? Apa kau merasa sudah bisa membalas jasa Ayah hingga
kau berhak menghinanya? Bahkan membuat Ayah merasa bangga pun belum kau lakukan,
Gabi. Minta maaflah sebelum Ayah benar-benar membuangmu!” ucap Liona seraya
pergi meninggalkan adiknya yang masih memegangi pipi kirinya karena tamparan
yang ia berikan tadi.
Lagi-lagi Stevani hanya menangis
dalam diam. Sesekali terdengar isakan kecil keluar dari bibirnya. Sungguh,
Stevani benar-benar merasa kecil saat ini. Ia memang bukan apa-apa dibandingkan
dengan kakaknya yang sudah berhasil menjadi artis sekaligus membuat Ayahnya
bangga. Tapi, inilah Stevani, ia hanya gadis biasa tanpa memiliki talenta
apapun. Hanya kecerdasan otaknya yang bisa ia andalkan bukan suara ataupun
keahlian jari-jari tangannya memainkan alat musik. Terkecuali piano. Gadis itu
sangat mahir bermain piano karena diam-diam, ia dulu sempat mengagumi Ayahnya
yang merupakan pianis hebat dimatanya. Ia belajar sekeras mungkin agar kelak ia
bisa membuat bangga Ayahnya. Namun, seiring berjalannya waktu, keinginan itu mendadak
musnah dari impiannya. Tidak ada lagi keinginan untuk terus bermusik, apalagi
membuat Ayahnya bangga. Semua angannya sudah terkubur oleh waktu yang terus
berjalan maju, tanpa mau kembali kebelakang untuk sekedar membenahi
kesalahannya.
***
Tak terasa sudah hampir enam bulan sejak perisitwa di meja makan yang
berujung pada kemarahan sang ayah berlalu. Saat ini Stevani sudah resmi menjadi
mahasiswa di Royal College of Music. Ia tidak sendiri disini, karena sahabat
karibnya, Sarah Elissa, juga ikut meneruskan pendidikannya di Royal College of
Music. Sarah Elissa adalah anak pengusaha yang saat ini sedang berada di puncak
kesuksesannya. Tak khayal jika ia dekat dengan keluarga Weber, karena memang
keluarga Weber selalu melihat derajat orang yang dekat dengannya. Selama enam
bulan inilah, Stevani selalu mengeluhkan rencana yang dibuat ayahnya. Tn.Weber yang
terkenal dengan sifat perfeksionis-nya,
akhirnya mengalah dan mengajak bicara Stevani lebih dulu karena ia ingin sekali
putri bungsunya segera menjalankan rencana yang sudah ia buat setahun yang
lalu. Tapi bukan Stevani jika ia dengan mudah mau menerima rencana ayahnya.
Sampai sekarang pun Stevani masih menolak rencana itu meskipun ibu dan
kakak-kakaknya selalu memaksanya.
Ny.Weber sudah berkali-kali membujuk Stevani untuk menerima tawaran
ayahnya, tapi NIHIL! Stevani sama sekali tidak terpengaruh dengan iming-iming
yang dijanjikan oleh kedua orang tuanya. Sama sekali tidak. Ia masih berjuang
mempertahankan jalan hidupnya tanpa campur tangan keluarganya meskipun ia agak
sedikit kesulitan dengan pelajarannya saat ini. Karena biasanya, ia akan
bertanya pada Liona atau Ricky. Tapi sekarang? Ia hanya bungkam saat dirumah,
seolah-olah tengah bermain drama dimana dirinya memerankan tokoh seorang gadis
bisu yang sebatangkara. Sebenarnya ia ingin sekali memperbaiki hubungannya
dengan keluarganya, tapi setiap kali ia bersikap manis di depan keluarganya, kedua
kakaknya ataupun Ny.Weber pasti akan membahas masalah yang sama, yaitu menerima
tawaran ayahnya yang baginya tak lebih dari sebuah kutukan.
“Hey, siapa pria itu? Mahasiswa barukah?” ucap Hayle, salah satu teman
Stevani yang mengarahkan jari telunjuknya ke depan.
Spontan Stevani melihat kedepan yang ternyata menunjuk seorang pria yang
berada di belakang Mr.Hery. ‘Mahasiswa baru?’ tanya Stevani dalam hati.
“Pagi anak-anak..” sapa seorang
pria yang sudah terlihat agak tua saat memasuki kelas.
“Pagi Mr.Hery..” sahut seisi kelas dengan semangat, khususnya bagi para
gadis yang arah matanya sudah tertuju pada satu titik.
“Hari ini adalah hari spesial karena kita kedatangan mahasiswa baru.
Flyn, silahkan memperkenalkan dirimu.”
“Namaku Flyn Williams. Kalian bisa memanggilku Flyn. Senang bisa bertemu
dengan kalian.”
“Baiklah, Flyn kau bisa duduk di samping Stevani,” suruh Mr.Hery tanpa
mengetahui akibat jika pria itu berada dekat dengan Stevani.
Pria yang bernama Flyn itu berjalan melewati Stevani dan duduk tepat di
sebelah kanan Stevani. Jarak antara tempat duduk Stevani dan Flyn sangatlah
dekat. Mungkin hanya sekitar enam puluh sentimeter. Dan dalam jarak sedekat
itu, Stevani dapat melihat wajah dingin Flyn dengan sangat jelas. Gadis itu
menatap Flyn dari atas ujung rambut sampai ujung kaki. Postur tubuh tinggi dan
berkulit putih, rambutnya yang pendek dan sedikit berwarna coklat menambah
nilai plus pada penampilannya. Stevani membulatkan matanya sempurna saat
dirinya menyadari kalau garis wajah yang sangat tampan itu ternyata akibat dari
percampuran Asia-Eropa. Tidak ada kekurangan sedikitpun yang terlihat olehnya.
Benar-benar sebuah ciptaan Tuhan yang sangat sempurna.
Dan saat itulah, untuk pertama kalinya Stevani dapat mendengarkan suara
detak jantungnya yang berpacu dengan sangat cepat. Keringat dingin membanjiri
tubuhnya yang sudah terasa sangat kaku. ‘Apakah aku akan mati? Mengapa detak
jantungku cepat sekali? Bahkan aku bisa mendengarnya tanpa alat bantu apapun.
Sebenarnya apa yang terjadi padaku? ‘
“Gabi! Kau kenapa?” tanya Lissa seraya mengibas-ngibaskan tangannya tepat
di depan wajah Stevani. Lissa merasa khawatir dengan sikap Stevani saat ini
yang tidak seperti biasanya.
“Gabi!” Kali ini Lissa tidak hanya mengibas-ngibaskan tangannya, tapi ia
juga menggoyang-goyangkan tubuh Stevani.
“Lissa, apa aku akan mati?” tanya Stevani dengan suara sedikit serak.
“Kau ini bicara apa, bodoh! Sebenarnya kau itu kenapa? Jangan membuatku
khawatir seperti ini, Gabi. Katakan apa yang kau rasakan saat ini.”
“Aku...aku bisa mendengarkan suara detak jantungku yang berdetak dengan
sangat cepat. Dan seluruh tubuhku terasa sangat kaku juga terasa dingin.
Sebenarnya aku kenapa, Lissa? Aku belum mau mati, ku mohon,” rengek Stevani
dengan menunjukkan ekspresi childish-nya.
Setelah beberapa detik mencerna kalimat yang ia dengar dari Stevani,
akhirnya Lissa bisa bernafas lega. Seakan semua kekhawatiran dan kegelisahan
hilang begitu saja. Sedetik kemudian senyum ‘evil’ telah terukir diwajahnya.
“Jadi kau tertarik dengan pria yang bernama Flyn itu, Gabi? OH MY GOD!
Ternyata Gabi kecilku sekarang sudah beranjak dewasa!” ejek Lissa yang bisa
menebak bahwa teman masa kecilnya itu kini tengah dilanda asmara.
“Hentikan omong kosongmu itu, Lissa! Itu semua tidak ada hubungannya
dengan Flyn!”
“Yah, kuharap memang begitu, Gabi. Jangan sampai kau jatuh cinta pada
orang lain selain ‘dirinya’. Kau tahu itu kan? Karena jika kau sampai jatuh
cinta pada Flyn dan bukan ‘pria itu’ maka tamatlah riwayatmu,” ucap Lissa yang
berusaha mengingatkan Stevani.
“Who’s care?” bisik Stevani yang terdengar jelas di telinga Lissa. Gadis
itu sama sekali tidak tertarik untuk mendengarkan ceramah sahabatnya yang ada
di sebelah kirinya. Ia hanya terfokus dengan mahasiswa baru yang berhasil
menyita semua perhatiannya.
“Hai. Kenalkan, aku Stevani. Senang bisa bertemu denganmu,” ucap Stevani
yang hanya dibalas dengan pandangan sekilas dari Flyn. Stevani mematung
ditempatnya, tidak menyangka akan mendapat respon yang sebelumnya belum pernah
ia dapat. Gadis itu masih terbengong dengan mulut terbuka, hampir seperti orang
idiot. Ia sempat menggelengkan kepalanya sebelum kembali ke posisi semula.
Sesekali, Stevani melirik ke arah Flyn lalu tersenyum tipis. ‘Inikah cinta?’
“Baik, seperti biasanya kita akan memulai pelajaran hari ini dengan musik
klasik. Flyn, bisakah kau menjelaskan siapa itu Mozart?” kata Mr.Hery berharap
Flyn bisa menjawabnya.
Pria yang bernama Flyn itu lantas berdiri dan mulai menjelaskan segala
hal tentang Mozart.
“Johannes Chrysostomus Wolfgangus Gottlieb Mozart atau lebih kita kenal
Wolfgang Amadeus Mozart, yang dikenal memiliki kemampuan tata letak atau
mengenal nada dengan tepat tanpa bantuan alat, lahir di Salzburg, 27 Januari
1756 dan meninggal di Wina, Austria, 5 Desember 1791 pada umur tigapuluh lima
tahun. Ia mendapat julukan ‘Anak Ajaib’ karena pada umur empat tahun ia sudah
bisa memainkan harpsichord dan melakukan improvisasi pada karya-karya musik
pendahulunya. Ia bahkan menulis komposisinya yang pertama saat berumur lima
tahun. Karya-karyanya antara lain adalah Violin, Sonata, dan beberapa Minuet.
Ayahnya, Leopold, yang mengetahui bakat luar biasa yang ada pada kedua anaknya,
Mozart dan Nannerl, akhirnya mengambil cuti panjang dari jabatannya untuk
mempromosikan anaknya kepada raja-raja. Di Wina, Mozart bermain piano di depan
Ratu Maria Theresia. Akhirnya Mozart sekeluarga untuk pergi dan berkarier di
Paris. Mozart yang ditemani oleh ibunya berangkat pada bulan September 1777.
Sebelum sampai di Paris mereka singgah dan menetap selama beberapa waktu di
Munchen dan Mannheim. Di Mannheim, Mozart berteman dengan komponis Cannabich
dan Holzbauer. Alasan utama Mozart menetap lebih lama di Mannheim adalah karena
ia jatuh cinta kepada Aloysia Weber, seorang penyanyi sopran berusia enambelas
tahun. Meski kecewa karena cintanya ditolak Aloysia, Mozart tetap meneruskan
perjalanannya ke Paris. Di Paris, Mozart mulai bekerja dengan memberi les-les
privat dan menciptakan lagu-lagu yang sesuai dengan selera orang Perancis. Di
Paris, kemampuan bermusik Mozart tidak begitu diperhatikan dan akhirnya Mozart
memutuskan untuk kembali ke Salzburg. Mozart pulang ke Salzburg dan ia langsung
mendapat jabatan sebagai organis disana. Tugasnya antara lain bermain organ di
katedral, istana, dan kapel istana, menggubah lagu pesanan dan mengajar paduan
suara anak-anak. Karya-karya pentingnya masa ini termasuk K.364, Simfonia
Concertante in Eb, Simfoni no.32-34, beberapa Concerto serenade, divertimento,
musik gerejawi yang termasuk K.317, Missa Coronation dan K.339, Vesparae. Pada
tanggal 4 Agustus 1782, Mozart menikahi putri ketiga keluarga Weber, Constanze
Weber, di katedral St.Stefanus. Dari enam anaknya, hanya dua yang hidup. Pada
tanggal 5 Desember 1971, Mozart menghembuskan napas terakhir pada jam satu
pagi. Sampai sekarang sudah ada sekitar tujuhratus karya musik yang ia buat
semasa hidupnya. ”
“Beri tepuk tangan untuk Flyn!” sorak Mr.Hery yang kagum dengan
penjelasan Flyn yang sangat jelas.
“Kau dengar tidak? Mozart menikahi putri ‘ketiga’ keluarga Weber dan
memiliki enam anak. Seandainya Flyn menjadi Mozart, apa kau mau menerimanya,
Nona Weber?” ejek Lissa pada Stevani yang sedari tadi hanya diam memperhatikan
Flyn dalam jarak yang sangat dekat.
“Menurutku ia bukan Mozart, tapi seseorang yang mungkin lebih dari
Mozart,” jawab Stevani tanpa mengalihkan pandangannya dari Flyn.
“Sepertinya semakin hari semakin rumit saja masalahnya. Ku harap kau akan
baik-baik saja, Gabi. Karena sebentar lagi mungkin akan terjadi sesuatu yang
sama sekali tidak kau inginkan. Kalau perkiraanku benar, ‘ia’ akan datang tidak
lama lagi.”
“Selama masih ada waktu, aku akan berusaha sebaik mungkin, Lissa. Bukan
hanya kau saja yang merasa takut. Aku juga sama denganmu. Semakin aku
memikirkan masalah itu, segala perasaan takut menyergapku dan membuatku tidak
bisa melangkahkan kakiku. Itulah mengapa sampai aku tidak terlalu
memikirkannya. Biarlah semua terjadi mengikuti arus waktu yang terus membawa
kita sesuai keinginannya. Semoga saja waktu memberiku sedikit kesempatan
untukku bernapas bebas ditengah kerumitan masalah ini,” jelas Stevani sambil
menerawang jauh ke depan. Entah mengapa, ia merasa ketakutan yang selama ini ia
coba lawan kembali menyergapnya, menelannya dalam-dalam saat Lissa kembali
mengingatkannya dengan masalah rumit itu.
‘Apakah Tuhan menganggapku pantas untuk menghadapi ujiannya?’
***
“Selamat sore, Ny.Weber.” Seorang gadis dengan syal kuning di lehernya berdiri
di depan pintu besar berwarna coklat, menyapa seorang wanita yang masih
terlihat cantik meskipun waktu sudah menggerogoti umurnya. Wanita itu tersenyum
halus pada seorang gadis yang ia percayai untuk menjaga putri bungsungya.
Wanita merasa beruntung bisa menemukan seorang teman yang baik untuk selalu
berada di dekat putrinya, melindunginya dari hal-hal buruk yang mungkin akan
menimpa putrinya.
“Ah, Lissa. Kau datang mencari Gabi? Kebetulan ia sedang membuang waktu
luangnya dengan melamun di taman belakang. Kau langsung saja menemuinya dan
ajak ia masuk karena angin diluar sangatlah dingin.”
“Baik. Saya permisi dulu,” ucap Lissa lembut. Jujur saja, mendengar
penjelasan Ny.Weber bahwa Stevani sedang melamun di taman belakang membuat
dirinya merasa khawatir. Ia tahu, sangat tahu bahwa sahabatnya kini tengah
tenggelam dalam masalahnya itu. Ingin sekali ia membantu Stevani tapi apa yang
bisa ia lakukan? Tidak ada yang bisa menentang keputusan Tn.Weber kecuali
Stevani sendiri yang menentangnya. Lissa tidak bisa membayangkan betapa
beratnya menjadi putri keluarga besar yang namanya sudah dikenal hampir seluruh
dunia. Lissa memang kaya, tetapi setidaknya nama keluarganya tidak setenar
keluarga Weber. Menjaga nama baik keluarga, itulah hal tersulit yang harus
Stevani lakukan. Setiap kali mengingat Stevani, Lissa pasti akan merasa sedih
karena Stevani sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri. Meskipun ia merasa
sedih, tetapi di depan Stevani ia selalu menunjukkan sikap periangnya karena
dengan begitu Stevani akan merasa bahagia walaupun tidak mengurangi beban yang
Stevani tanggung. Yah, setidaknya Lissa sudah mencoba membantu Stevani. Bukankah
begitu lebih baik?
“Sedang memikirkan mahasiswa baru itu?” tanya Lissa yang sukses membuat
Stevani hampir terjatuh dari duduknya karena saking kagetnya.
“Bisakah kau memberitahuku dulu kalau kau akan datang? Selalu saja datang
semaumu sendiri!” omel Stevani pada Lissa yang kini tengah menertawakan
ekspresi kaget Stevani.
“Maaf, maaf. Tadi aku sudah menelepon rumahmu, tapi tidak ada yang
mengangkatnya. Jadilah aku disini sekarang.”
“Memangnya kau ada perlu apa datang kesini?”
“Astaga! Kau tidak suka aku kesini? Yasudah, aku pulang saja,” sahut
Lissa yang berpura-pura akan meninggalkan Stevani.
“Tidak! Aku kan hanya bertanya, tidak bermaksud mengusirmu,” ucap Stevani
seraya menarik lengan Lissa supaya kembali duduk.
“Tunggu! Apa itu kau yang menulisnya, Gabi?” tanya Lissa yang kini tengah
mengamati susunan empat huruf yang terangkai di bawah kaki Stevani. Tanah tanpa
rumput itu Stevani jadikan sebagai media lukisannya. Melukis sebuah nama yang
akhir-akhir memenuhi otak Stevani dan tertata rapi di dalamnya.
“Hapus saja kalau kau tidak suka. Aku tidak keberatan. Lagipula aku hanya
melatih jari-jariku untuk bergerak.” Gadis itu mencoba mengelak. Ia tidak ingin
ada yang mengetahui perasaannya, termasuk Lissa. Ia ingin menjaga perasaannya
seorang diri. Itupun kalau ia sanggup melakukannya.
“Nona Weber, kau tidak perlu berbohong padaku seperti ini. Mengapa kau
suka sekali berbohong, hah? Memangnya apa yang kau dapat dari hasil berbohongmu
selama ini? Ingatlah, masalah ini timbul akibat dari hobi berbohongmu itu. Apa
kau masih akan mempertahankannya? Berhentilah berbohong dan perbaikilah mulai
dari sekarang. Berbohong tidak akan menyelesaikan masalah, sampai kapan pun kau
berbohong, itu tidak akan memudahkanmu, malah akan menyulitkanmu seperti
sekarang,” ucap Lissa yang diiringi tatapan tidak suka dari Stevani. Teman masa
kecil Stevani itu terlalu memahami sifatnya hingga kadang ia sendiri merasa
jengkel karena ia tidak bisa mengelak jika berhadapan dengannya.
“Tahu apa kau tentang diriku? Kau tidak tahu apa-apa, jadi lebih baik kau
diam. Tidak perlu mencampuri urusanku terlalu jauh. Hidupku, hanya aku yang
menentukan bukan siapa pun. Pulanglah kalau kau sudah selesai dengan bicaramu.
Aku sedang tidak ingin diganggu,” sahut Stevani yang terdengar sangat marah. Ia
memang tidak suka mendengar orang lain mengatur hidupnya, seakan mereka tahu
apa yang akan terjadi padanya. Sekalipun itu adalah sahabat karibnya, ia tidak
akan bisa menerimanya. Ia benci dengan semua kalimat-kalimat yang menurutnya
hanya memojokkannya, bukan memberinya jalan keluar.
Lissa yang sadar akan kesalahannya hanya mampu diam, tak berani menatap
sahabatnya yang kini tengah memandangnya sengit. Stevani yang juga sadar akan
kata-katanya yang kasar, segera meraih tangan Lissa dan menariknya kedalam
pelukannya. Tangis Stevani pecah seketika. Lissa yang sedari menahan emosinya
akhirnya pertahannya runtuh ketika mendengar suara tangisan Stevani yang
terdenagr sangat memilukan.
“Sepertinya aku mencintai pria itu, Lissa. Apa yang harus kulakukan? Aku
takut jika ayah sampai mengetahuinya. Aku takut ayah akan semakin mempersempit
ruang gerakku. Aku takut, sangat takut. Haruskah aku mengatakan yang
sejujurnya? Aku sudah memikirkan ini berhari-hari, dan aku juga sudah berusaha
untuk menerima ‘kehadirannya’ dalam hidupku. Tapi aku sama sekali tidak bisa,
Lissa. Aku tidak bisa menganggapnya lebih seperti yang ayah minta. Lagipula,
masih banyak gadis lain diluar sana yang lebih dariku. Lantas, mengapa ayah
harus memilihku? Apalagi kalau bukan untuk urusannya sendiri? Apa aku sama
sekali tidak berharga dimata ayah?”
“Itu akan sulit, Gabi. Masalah itu tidak akan selesai dengan mudah hanya
dengan pengakuanmu. Tapi, bukankah kau masih memiliki Flyn untuk kau
pertahankan? Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan ayahmu lakukan
seandainya kau mengatakan hal yang sebenarnya, apalagi jika ayahmu tahu kau menolaknya
demi Flyn. Tetaplah bertahan sampai semuanya terlihat jelas di mata ayahmu,
Gabi. Aku yakin, orang itu akan segera tiba dan semuanya akan berakhir seiring
berjalannya waktu,” ujar Lissa dengan suara serak akibat menahan suara isak
tangisnya.
Suasa mengharukan yang sedang terjadi saat ini ternyata disaksikan oleh
sepasang mata yang tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Liona merasa
hatinya sakit saat mendengar adiknya akan menyerah. Meskipun ia kerap menyuruh
Stevani untuk menerima tawaran ayahnya, tapi hati kecilnya selalu menangis,
tidak rela jika adiknya yang harus menjadi batu loncatan hanya untuk
kepentingan bisnis semata. Kini bukan hanya Lissa dan Stevani yang menangis,
Liona yang melihat mereka dari jauh ternyata juga juga ikut menangis dalam diam.
Ia berubah pikiran, ia tidak akan memaksa adiknya lagi untuk menerima tawaran
konyol ayahnya. Biarlah Stevani yang memilihnya, karena semua keputusan ada
ditangan Stevani, bukan Liona.
“Kau menangis, Gabi. Bukankah kau pernah berjanji tidak akan menangis
lagi?” tanya Lissa seraya menghapus sisa-sisa air mata Stevani yang mulai
mengering.
“Kau juga menangis. Jadi untuk apa aku menepati janji kalau saja juga
menangis?” sahut Stevani yang kini menunjukkan senyum tipisnya. Meskipun ia
tengah berada dalam masalah yang rumit, namun gadis itu bersyukur masih
memiliki seorang teman yang mau menemaninya. Mendengar segala keluh kesahnya
yang mungkin bagi sebagian orang hal itu dianggap berlebihan. Tapi, dengan
sabar Lissa mau mendengarkan Gabi dan memahaminya tanpa pernah mengeluh
sedikitpun. Sebuah jalinan persahabatan yang erat hingga Stevani takut jalinan
erat itu akan terputus oleh suatu hal yang biasanya disebut dengan... cinta.
“Kau memang ahli dalam berdebat ternyata. Tak kusangka gadis anggun
sepertimu suka sekali mengajak orang berdebat.” Stevani tertawa, menertawakan
temannya yang suka menilai orang sesuka hatinya. Gadis itu kemudian menatap
heran pergelangan tangan kiri Lissa yang menggegam tangannya. Dahi Stevani
berkerut, tampak mengingat-ingat sesuatu.
“Kau kenapa?” tanya Lissa yang melihat perubahan sikap Stevani. Gadis itu
lantas mengikuti arah mata Stevani yang ternyata tengah menatap heran gelang
yang ia pakai. Ia menghelas napas pendek, lalu tersenyum kecil. “Cantik,
‘bukan? Apa kau juga menginginkannya?”
“Darimana kau mendapatkan benda itu? Setahuku, corak warna seperti itu
bukan berasal dari Kensington. Apa kau membelinya saat kau berlibur keluar
negeri?” Stevani masih menatap gelang itu dengan teliti. Ia merasa pernah
melihatnya, tapi dimana?
“Sudahlah, tidak terlalu dipikirkan. Lebih baik kita masuk, disini sangat
dingin. Ibumu juga sudah menunggu didalam. Ayo,” ajak Lissa sambil menarik
pergelangan tangan kiri Stevani dengan tangan kanannya. Ia tidak ingin Stevani
terus melihat gelang yang ia pakai. Ia takut jika Stevani menyadari sesuatu
yang ia sembunyikan selama ini.
***
Sepulang dari kampus, mereka berdua tidak langsung pulang ke rumah. Lissa
dan Stevani memutuskan untuk pergi ke Holland Park. Bagi Lissa mungkin hanya sebagai
refreshing, tapi tidak untuk Stevani. Sebenarnya ada maksud lain saat ia
mengajak Lissa ke Holland Park, yaitu untuk bertemu dengan seseorang yang
memainkan flute beberapa bulan lalu. Lissa melangkah pelan menikmati
pemandangan yang ada didepannya. Pohon-pohon besar yang sebelumnya terlihat
sangat cantik kini terllihat sedikit gersang karena memang saat ini sedang
musim gugur. Meskipun ia sudah berkali-kali melihat pemandangan seperti tapi
sepertinya Lissa tidak akan pernah bosan untuk selalu mengamati warna-warni
daun yang mulai mengering.
Dan Stevani? Sejak awal ia menginjakkan kakinya di Holland Park, ia mulai
mengamati seluruh isi tempat itu demi menemukan seseorang yang ia sebut sebagai
‘Mr.Flute’. Ia sibuk mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut Holland Park. Ia
berjalan dengan sangat pelan agar tidak ada yang terlewat dari pengamatannya.
Tiba-tiba saja langkah Lissa terhenti dan sukses membuat Stevani mau
tidak mau menabrak punggungnya karena memang ia masih berjalan di belakang
Lissa.
“Mengapa kau berhenti tiba-tiba seperti ini? Menyebalkan!” gerutu Stevani
seraya membenarkan syal yang melingkar dilehernya.
“Apa kau tahu apa yang mengganggu pikiranku saat ini?” tanya Lissa tanpa
menoleh kebelakang. Matanya masih menatap sebuah ranting pohon yang dipenuhi
oleh salju.
“A..apa?”
“Sepulang dari kuliah, biasanya kau akan diam dirumah tanpa mau keluar.
Sedangkan sekarang? Kau memaksaku untuk pergi kesini. Sebenarnya apa yang kau
rencanakan?” ucap Lissa seraya memutar badannya hingga sekarang ia berhadapan
dengan Stevani.
“Oh Tuhan! Bisakah kau tidak berpandangan buruk terhadapku? Aku hanya
ingin jalan-jalan saja, tidak boleh?”
Senyum tipis terlihat jelas di wajah Lissa yang sepertinya tengah
menertawakan kebodohan sahabatnya itu.
“Jadi kau masih hobi berbohong, huh? Silahkan saja, tapi aku tidak akan
ikut campur jika masalahmu bertambah besar. Aku bosan, kau tahu itu kan? Aku
bosan dengan segala masalah rumitmu yang kau buat sendiri, meskipun bukan
seratus persen kesalahanmu tapi setidaknya kau memiliki lima puluh persen dalam
memperkeruh masalah ini. Belajarlah untuk terbuka, Gabi. Masalah tidak akan
selesai kalau terus menyimpannya sendiri. Kalau aku boleh jujur, sebenarnya aku
lelah jika setiap saat harus menasehatimu berulang kali seperti ini. Gunakanlah
otak cerdasmu dengan baik, dengan begitu kau bisa mencari jalan keluarnya. Dan
satu lagi, jangan mencoba untuk berbohong. Jadi sekarang, katakan padaku, apa
rencanamu mengajakku ke tempat ini?”
“Apa?”
“Terserahlah, kalau kau tidak mau cerita aku pulang saja. Kakiku suda
terasa pegal karenamu.”
“Mr.Flute...”
“Hm?” Reflek Lissa memutar badannya dan menatap Stevani bingung.
‘Mr.Flute? Siapa?’
“Aku ingin bertemu dengannya. Sekali saja, aku hanya ingin melihatnya.”
“Okay, aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Sekarang jelaskan
padaku, siapa itu Mr.Flute?”
“Kira-kira enam bulan yang lalu, saat musim semi aku pergi ke tempat ini
sendiri. Aku mendengar alunan indah ‘Amazing Grace’ yang berasal dari alat
musik flute. Saat itu juga aku mencari arah suara berasal, tapi aku sama sekali
tidak bisa menemukannya. Kau tahu? Bagiku alunan merdu flute itu adalah hal
yang paling terindah yang pernah ku dengar. Tapi sampai sekarang aku tidak
pernah mendengarnya lagi meskipun aku sering datang ke tempat ini sekedar untuk
mendengarnya sekali lagi. Aku merindukannya, Lissa.”
“Jadi kesimpulannya, kau belum pernah bertemu dengannya?”
“Begitulah..”
“Tapi mengapa kau yakin bahwa ia adalah seorang pria? Mr.Flute?”
“Hatiku berkata bahwa ia adalah seorang pria. Sebenarnya aku juga tidak
tahu ia seorang gadis atau pria, tapi entah mengapa dengan mudah aku
mempercayai kata hatiku. Dan jika benar ia adalah seorang pria, maka aku akan
sangat bahagia,” ucap Stevani dengan wajah gembira.
“Dan jika orang yang kau anggap Mr.Flute itu adalah seorang gadis?”
“Maka aku akan menjadikannya sebagai temanku. Menggeser posisimu
mungkin,” ucap Stevani yang sengaja membuat ‘jealous’ Lissa.
“Kalau begitu aku berharap ia adalah seorang pria!” sahut Lissa yang
membuat Stevani tertawa terpingkal-pingkal.
“Berhenti menertawakanku, Gabi! Tidak ada yang lucu disini. Dasar kau–“
Ucapan Lissa terhenti ketika ia melihat ada seseorang yang sejak awal ia
datang ke Holland Park sudah memperhatikannya dari balik pohon. Lissa tidak
yakin siapa orang itu, tapi ia merasa kenal dengan postur tubuhnya.
“Heh, kau kenapa? Melihat hantu?”
“Bodoh! Mana ada hantu di tempat seperti ini. Yang ada hanyalah
segerombolan bandit yang membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Dan kau akan
menjadi mangsa mereka kalau kita tak cepat sampai dirumah. Kau mau menjadi
korban para preman itu, Nona Gabi?”
“Ti..tidak! Aku benci para bandit yang mengusik orang lain! Ya sudah,
kita pulang sekarang. Aku juga sudah lelah terlalu lama mengelilingi tempat
ini.”
Sekali lagi, Lissa menoleh kebelakang untuk memastikan siapa yang
mengintip mereka tadi dan benar saja tebakannya benar. Orang yang sedari tadi
memperhatikan mereka dua adalah orang yang ia kenal. Sudut bibirnya tertarik
membentuk sebuah lengkungan indah mengingat jalan hidup Stevani yang menyimpan
begitu banyak kejutan.
‘Percayalah padaku, semua akan menjadi mudah saat kau mau menerima
kenyataan dan bertekad untuk meraih mimpi meskipun tembok besar menghalangimu.
Aku akan selalu membantumu selama yang kau mau. Dan selama itulah aku akan
terus memperhatikanmu dalam meraih mimpi. Percayalah padaku, Gabi.’
***
Pagi ini, seorang gadis bermarga Weber itu bangun sangat pagi. Lebih pagi
dari biasanya sampai-sampai para pelayan rumahnya dibuat takjub oleh tingkah
laku putri majikannya yang membantu pekerjaan mereka di dapur. Gadis itu tengah
menikmati waktunya berada di depan kompor dengan sebuah panci diatasnya. Ia
mengaduk-aduk isi panci yang sudah Nancy beri beberapa sayuran. Sesekali ia
mengambil sendok, mengambil sedikit kuahnya, dan kemudian memasukkan ke dalam
mulutnya. Memberikan beberapa rasa pada indera pengecapnya. Walaupun ia jarang
sekali memasak, namun ia sangat mengerti bagaimana cara membuat masakan menjadi
sangat enak. Dengan cinta. Itulah yang ia katakan ketika Nancy menanyakan
bagaimana bisa putri bungsu Weber itu membuat rasa masakannya menjadi sangat
lezat.
Tak lama kemudian, gadis itu menganggukkan kepalanya, lantas menaburkan
sedikit garam pada masakan itu. Kembali ia mengaduk-aduk masakan itu tanpa
mengatakan sepatah katapun. Nancy hanya bungkam, tidak berani mengganggu mood
Stevani yang tampak lebih ceria dari biasanya. Wanita paruh baya itu bahagia
melihat putri bungsu majikann kembali seperti semula. Meskipun ia tidak
memiliki hubungan darah dengan Stevani, namun ia dapat merasakan kedamaian
tersendiri dihatinya saat melihat seulas senyum tercipta menghisasi wajah
cantiknya. Matanya bergerak-gerak, mengamati setiap gerakan Stevani yang
terlihat begitu tenang.
“Sudah selesai. Hah, ternyata rasanya melelahkan juga berada di dapur
terlalu lama. Oh ya, aku ingin sup milikku nanti kau tambah dengan potongan sosis
di dalamnya. Apa kau mengerti, Nancy?” tanya Stevani seraya melepas apron putih
yang menutupi di bagian depan tubuhnya. “Nancy?” Stevani memanggil Nancy sekali
lagi, mecoba menyadarkan lamunan wanita paruh baya itu. Gadis itu menaikkan
alis kanannya, tidak percaya dengan kecerobohan Nancy yang melamun saat berada di
dalam dapur. ‘Bagaimana bisa ia melamun ditengah keramian seperti ini? Apa semalam
ia kurang tidur?’
Gadis itu lantas berjalan menghampiri Nancy yang berdiri tak jauh
darinya. Tanpa sengaja ekor matanya melihat sebuah loyang berisi bongkahan es
yang berhasil memunculkan ide gilanya seperti sebuah lampu terang tengah
melayang diatas kepalanya. Kemudian ia mengambil sebongkah es yang berukuran cukup
besar lalu menempelkannya tepat di pipi kanan Nancy. Wanita paruh baya itu
terlonjak kaget, berteriak cukup keras sambil memegangi pipi kanannya. Tawa
gadis usil itu meledak, memenuhi ruangan yang berisi penuh dengan makanan. Ia
sangat senang bisa mengerjai para pelayannya seperti ini. Sebuah hiburan
tersendiri bagi Stevani bisa mellihat wajah-wajah terkejut para pelayannya. Hal
itulah yang disukai para pelayan rumahnya. Meskipun terkadang Stevani terlihat
sangat dingin dan tidak peduli, namun pada dasarnya gadis itu sangatlah hobi
menjahili semua orang yang ada disekitarnya. Dan yang paling sering menjadi
sasaran untuk menyalurkan hasrat keusilannya adalah Nancy dan Alice. Dua orang
itu sudah seperti mainan untuk Stevani ketika ia dilanda bosan yang teramat
sangat. Dan hanya pada ibu dan anak itulah Stevani bisa merasakan bagaimana
hangatnya berada ditengah-tengah keluarga normal seperti pada umumnya. Tidak
seperti keluarganya yang hanya sibuk memikirkan urusan masing-masing tanpa mau
meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol, membicarakan berbagai pengalaman yang
mereka dapat selama menekuni dunia seni.
“Hahaha... lihatlah wajah terkejutmu itu, Nancy! Kau terlihat seperti
bayi! Hahaha...” Semua pelayan yang ada di dalam ruangan itu, sontak
mengalihkan perhatiannya pada sosok Nancy yang masih memegangi pipi kanannya.
“Ya sudah, aku mau menyiapkan diriku sebelum berangkat. Jangan lupa, berikan
potongan sosis di dalam supku. Alice, bisakah kau membantu ibumu menyiapkan
sarapan?” Alice mengangguk sekali kemudian berjalan mendekati lemari perabot
dan mengambil beberapa mangkuk kecil.
Gadis usil tadi segera beranjak dari tempatnya, meninggalkan para
pelayannya yang sibuk mengurus sarapan keluarganya, dan menghilang dibalik
pintu dapur. Namun, ia kembali masuk kedalam lalu memeluk tubuh Nancy dari
belakang. Mencium pipinya kemudian membisikkan tiga kata ditelinga kirinya yang
mampu membuat wanita paruh baya itu menarik kedua sudut bibirnya ke atas,
membentuk sebuah seyuman yang indah. Setelah itu, Stevani benar-benar
meninggalkan dapur dan menaiki tangga menuju lantai dua dengan riang. Tampak
segar dan bahagia.
“Aku sangat menyayangimu,” gumam Nancy pelan, mengulangi kata-kata
Stevani yang masih berdengung jelas ditelinganya. “Tetaplah seperti itu, Nyonya
Muda,” batin Nancy yang kini sudah mulai menuangkan sup hasil buatan Stevani ke
dalam mangkuk-mangkuk kecil itu.
***
Bangunan besar nan kokoh yang disebut dengan gedung itu terlihat sangat
sepi. Biasanya, suasana disekitarnya akan menjadi ramai ketika jarum jam sudah
menunjukkan angka tujuh. Tapi ini masih terlalu pagi. Sangat pagi. Jarum jam
masih belum beranjak dari angka enam sejak Stevani berangkat. Gadis itu lantas mengangkat
kedua tangannya ke atas, merentangkannya sejauh mungkin. Merenggakan kedua
tangannya dan menghirup udara segar sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya
perlahan. Ia sangat menyukai udara bersih di pagi hari. Belum ada polusi dan
debu yang bercampur didalamnya. Masih begitu alami dan menyegarkan. Gadis itu
melanjutkan langkahnya menuju suatu tempat yang bisa melatih jari-jarinya untuk
bergerak di pagi hari ini. Ia berjalan cukup pelan sambil memejamkan kedua
matanya sepanjang koridor, seolah ia menghafal betul tata letak ruang yang ada
di dalam gedung itu. Setelah cukup lama ia berjalan lurus, beberapa detik
kemudian ia membelokkan arah kakinya ke kanan, masih dengan mata terpejam. Terlihat
seulas senyum di wajahnya putihnya. Tampak begitu tenang dan mempesona. Dapat
membius siapa saja yang melihat paras bidadari itu. Auranya memancar begitu pekat
hingga setiap gadis yang melihatnya merasa iri. Terlalu sempurna. Itulah definisi
yang bisa diberikan untuk menggambarkan sosok gadis bermarga Weber itu.
Tak lama kemudian, langkah kakinya terhenti seketika saat hitungannya
dirasa cukup. Pelan-pelan, ia membuka kedua matanya yang sejak tadi terpejam. Tangan
kanannya terulur, memegang gagang pintu bercat coklat yang ada di hadapannya,
kemudian memutarnya ke kanan. Pintu itu terbuka dan menampakkan sebuah ruang
yang berisi beberapa alat musik di dalamnya. Tirai coklat yang sudah terbuka
membuat sinar keemasan itu menembus masuk melalui jendela sehingga alat-alat
musik itu terlihat bersinar. Pencahayaan yang begitu cantik dan menarik. Gadis
itu mematung di tempatnya sambil memandang takjub sebuah pemandangan yang tersaji
di depan matanya sampai-sampai ia hampir lupa bagaimana caranya berkedip. Ini
adalah pertama kalinya ia berangkat sepagi ini dan mendatangi tempat yang
jarang ia lewati. Bola mata hitamnya bergerak-gerak, menelusuri setiap sudut
ruangan cantik itu. Dekorasi yang didominasi dengan warna coklat itu semakin
menambah kesan elegan di dalamnya. Gadis itu masih bergeming di ambang pintu
sampai sebuah suara dentingan piano memaksanya untuk melangkah maju, memasuki ruangan
yang penuh dengan berbagai alat musik. Kepalanya menoleh ke kanan, mendapati
sebuah Grand Piano dengan sepasang sepatu di bawahnya. Ia mengerutkan keningnya
heran, tidak menyangka akan ada seseorang disini.
Gadis itu lantas berjalan cukup pelan mendekati Grand Piano, tidak ingin
mengganggu seseorang yang tengah duduk manis menikmati setiap dentingan
tuts-tuts piano yang ia ciptakan. Ia sedikit melebarkan matanya agar ia bisa
melihat siapa yang ada di balik Grand Piano itu. Namun, siapa sangka kalau
orang yang tengah asyik memainkan tuts-tuts piano itu adalah mahasiswa baru di
kampusnya. Gadis itu tercekat, menahan napasnya cukup lama. Dengan cepat, ia
segera membalikkan badannya sambil menapakkan telapak kakinya dengan sangat
pelan. Berusaha menghindar dari sosok yang mampu membuat detak jantungnya
menjadi tak beraturan. Dengan sangat pelan, ia berjalan berjingkat seperti
pencuri yang menyusup ke dalam rumah untuk mencuri. Gadis itu bertingkah cukup
konyol yang tanpa ia sadari sepasang mata tengah menatapnya heran. Menyaksikan tingkah
konyolnya yang membuat orang itu hampir meledakkan tawanya. Tanpa orang itu
inginkan, sudut bibir kirinya terangkat ke atas, membentuk sebuah senyuman miring
yang sangat menawan. Sorot matanya yang tajam terus memperhatikan tingkah
Stevani yang terlihat begitu menarik di matanya. Sinar matanya menatap gadis
itu hangat, seperti matahari yang selalu menatap bumi dengan segala kehangatan
yang dimilikinya. Dadanya terasa sedikit berbeda dari biasanya. Terasa sangat
aneh dengan debaran jantung yang semakin lama semakin cepat. Ia sendiri tidak
tahu mengapa, tapi perasaan itu selalu mengusiknya dan akan berhenti hanya jika
kedua bola matanya menangkap sosok bayangan gadis itu. Orang itu melipat kedua
tangannya di depan dadanya dan memiringkan kepalanya ke kiri, berusaha melihat
gadis itu dengan lebih jelas. Tinggal beberapa langkah lagi, gadis itu akan
segera sampai ditempat tujuannya. Yaitu sebuah pintu untuk ia berlari keluar sejauh
mungkin, menghindari seorang pria yang akan membuatnya mati karena kehilangan
detak jantungnya. Namun, belum sempat ia menapakkan kaki kirinya ke lantai, jantungnya
kembali berpacu sangat kencang ketika suara bariton itu berhasil menggetarkan
gendang telinganya. “Mungkin sebentar lagi aku akan mati,” pikir Stevani yang
masih bertahan dengan posisinya saat ini.
“Kau mau kemana? Masuk tanpa permisi dan keluar tanpa izin. Seperti
pencuri saja,” ucap sebuah suara bariton yang sukses menghentikan langkah gadis
itu. Ia kembali tersenyum saat mendapati ekspresi Stevani yang terlihat sangat
panik. Ia merasa sangat senang bisa melihat ekspresi lucu itu tercetak jelas di
wajah cantik Stevani. Terasa begitu menenangkan.
“A-aku... aku ti-tidak sengaja lewat sini. Jadi, aku masuk saja dan
ternyata kau ada disini. Maaf sudah mengganggumu. Aku permisi,” pamitnya lalu
bergegas berjalan melewati pintu dan menutupnya kembali. Gadis itu langsung
menyandarkan tubuhnya di pintu, tangan kanannya memegangi dada kirinya yang
terasa sangat sesak. Napasnya tersengal-sengal, seperti habis berlari sejauh
dua ratus meter. Ia menghirup oksigen sebanyak yang ia bisa, kemudian
menghembuskannya perlahan, berusaha menstabilkan detak jantungnya yang bekerja
terlalu cepat.
Sedangkan seorang pria yang masih duduk di bangku panjang itu hanya diam
menyaksikan kepergian Stevani. Sorot matanya yang semula tampak bersinar, kini
mulai meredup seperti sinar matahari senja yang menyembunyikan cahayanya. Dilema.
Itulah yang sedang ia rasakan. Tujuannya meneruskan pendidikannya ke tempat ini
adalah untuk kesuksesannya kelak, bukan untuk mencari cinta yang mungkin akan
menghambat atau bahkan menghancurkan mimpinya. Tapi, bukankah cinta memang
selalu seperti itu? Datang semaunya dan membuat kacau perasaan seseorang tanpa
ampun. Meskipun pria itu berusaha menghindari setiap gadis disekelilingnya,
namun apa daya pesona yang dimiliki gadis itu begitu memikat sehingga membuatnya
sedikit goyah dan tidak fokus dengan apa yang sedang ia kejar saat ini.
‘Bisakah aku mengabaikannya? Bisakah? Tapi mengapa hatiku terasa seperti
tersayat saat sosoknya hilang dari jarak pandangku? Mungkinkah aku sudah terjatuh
ke dalam sebuah perangkap dengan berbagai macam tipu daya didalamnya yang
disebut.. cinta?’
****
To Be Continued....
Hahaha akhirnya berhasil juga di post. gimana? pada mau dilanjutin gak? kalo iya, komen yang banyak yaaaa :D jangan pelit komen pokoknya. See You Next Time! Bye Bye ~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar