Sabtu, 31 Januari 2015

When The Heart Begins To Speak (BAB 2)

Author : I.A.Eve

Genre : Sad, hurt, school life

Di WP aku yang https://iaeveleandra.wordpress.com juga akan di post ff dengan cast kyu-rae.
Moga moga suka ya….

Happy Reading :D

Biarkan TYPO menikmati bagiannya...



______*****_______
Hidden Love


“..apa susahnya mengatakan ‘CINTA’ kepadaku?
Bukannya aku memaksa,
tapi katakan saja agar hatimu terasa damai
Semakin lama kau pendam,
maka akan semakin besar rasa sakit
yang kau rasakan
Katakan saja...
Aku hanya ingin mendengarnya
Karena ‘CINTA’ telah membuatku tak
bisa lepas darimmu
Meskipun kau memintaku untuk menjauh
dari jarak pandangmu sekalipun...”
œ


Sudah hampir sebulan Stevani menjadi mata-mata. Kemana pun Flyn pergi, dengan senang hati Stevani akan mengikutinya. Tapi seminggu terakhir, akhirnya Stevani menyadari sesuatu. Selama ini memang Stevani pandai bersembunyi saat sedang mengikuti Flyn, tapi apakah Flyn tidak merasa jika sedang diikuti? Sekalipun Flyn tidak pernah menengok kebelakang untuk memastikan dibelakangnya tidak ada siapa-siapa. Lama-kelamaan Stevani menjadi bosan dan memutuskan untuk berhenti mengikuti Flyn. Karena tujuannya mengikuti Flyn adalah demi mendapatkan informasi tentang kehidupannya dan keluarganya. Tapi sudah sebulan penuh terlewat dan Stevani tidak membawa hasil apa-apa.

Dengan langkah gontai, Stevani menghampiri Lissa yang tengah asik membaca novel di halaman kampus. Wajahnya yang sebelumnya terlihat sangat putus asa kini berubah menjadi sangat kesal. Sudah berkali-kali ia menghembuskan napasnya kasar tapi tetap saja Lissa tidak menyadari kehadirannya. Kali ini ia menarik napasnya panjang dan menghembuskannya dengan keras.

“Bisakah kau memberitahuku tentang Flyn? Apapun itu aku mau,” rengek Stevani yang terdengar sangat lucu bagi Lissa.

“Berusahalah kalau kau mau mengetahui seluk beluk tentang dirinya. Kau sudah memata-matainya, harusnya kau sudah mendapatkan informasi yang cukup banyak,” sahut Lissa tanpa mengalihkan pandangannya dari novel yang tengah dibacanya.         

“Baiklah kalau itu maumu. Justin Lee. Mahasiswa pindahan dari Korea yang sangat tampan dan juga berwibawa. Banyak sekali gadis di luar sana yang mengaguminya, ah bahkan mencintainya. Termasuk kau, Lissa. Benar, ‘bukan? Oh God! Sepertinya kau memang sudah melupakan masa lalumu, Lissa. Tidak kusangka, perasaanmu akan berubah secepat ini,” ujar Stevani seraya menggeleng-gelengkan kepalanya seolah ia tidak percaya dengan fakta yang ia ketahui.

“Sialan kau, Gabi!” umpat Lissa seraya menutup novelnya dengan gusar.

“Hahaha.... Jadi?”

“Flyn Williams, ia adalah putra tunggal hasil pernikahan Alex Frankley dan Anna Lin. Ia berasal dari keluarga miskin yang beruntung bisa meneruskan pendidikannya ke Royal College of Music karena sebuah beasiswa yang ia dapatkan. Kemampuan dan pengetahuannya mengenai musik tidak perlu diragukan lagi. Ia sangat cerdas dan pandai sekali memainkan alat musik. Dan ia disini hanya sendiri, aku juga tidak tahu dimana sebenarnya ia tinggal mengingat Kensington adalah kawasan elit sedangkan ia disini hanya mengandalkan beasiswanya. Yah, yang kutahu hanya sampai sebatas itu. Selebihnya aku tidak tahu.”

“Anna Lin? Pantas saja wajahnya memiliki garis wajah Asia yang membuatnya semakin tampan. Hah.. beruntungnya ia memiliki wajah setampan itu.”

“Hentikan kicauanmu itu, Nona Euforia! Aku muak mendengarnya,” sahut Lissa yang terlihat jengkel dengan sikap berlebihan Stevani hari ini.

“Tapi dilihat dari latar keluarganya yang kurang mampu, dimana ia tinggal sekarang? Kira-kira disekitar sini adakah sewa apartemen yang murah?”

“Kau bodoh atau apa? Kensington adalah kawasan elit yang hanya dikunjungi oleh orang-orang kaya saja. Sewa hotel sudah dapat dipastikan tidak ada yang murah, apalagi apartemen. Apa kau lupa dimana kau tinggal, hah? Sepertinya aku harus mengajakmu keliling Kensington agar kau mengingatnya.”

“Kalau begitu, ia tinggal dimana? Jangan-jangan–“

“Jangan bodoh, Gabi. Ia tidak mungkin tidur di teras toko. Mungkin ada sebuah motel yang harganya cukup terjangkau. Harusnya kau tahu dimana ia tinggal mengingat selama hampir sebulan kau terus mengikutinya.”

“Kau tahu sendiri kan, jalanan Kensington selalu ramai. Aku selalu saja kehilangan jejaknya ditengah-tengah pengintaianku. Jadilah aku tidak mendapat hasil sedikitpun.”

“Jadi apa yang kau lakukan selama sebulan ini hanya sia-sia?”

“Yeah. I’m just wasting my time with useless.”

***

“Hi. I’m Justin Lee, transfered from Korea. You can call me Justin. Nice to meet you,” ucap seorang pria yang kini sedang menunggu uluran tangan dari seseorang yang diajaknya bicara.

                “Flyn. Nice to meet you too,” sahutnya tanpa membalas uluran tangan yang sejak tadi sudah ada di hadapannya.

                Justin hanya tersenyum simpul, tidak menyangka bahwa orang yang diajaknya berkenalan itu sama sekali tidak memiliki ekspresi wajah dan juga berkepribadian buruk. Yang benar saja, sejak awal ia bicara tangannya sudah terulur tepat di depan wajah Flyn, tapi tanpa rasa bersalah Flyn hanya meliriknya sebentar lalu matanya kembali pada buku yang tengah dibacanya.

                “I hope we can be friends,” kata Justin sebelum memfokuskan dirinya pada pelajaran.

“Kau lihat? Betapa sombongnya ia. Sungguh menjengkelkan!” omel Lissa yang ternyata sejak awal masuk kelas sudah memperhatikan Justin.

“Who’s care?” bisik Stevani yang terdengar jelas di telinga Lissa.

“Awas saja kalau ia berani mengacuhkan Justin lagi. Akan ku pastikan ia akan pulang tanpa sepeda kesayangannya,” ucap Lissa seraya menatap tajam kearah Flyn.

Saat ini Stevani dan teman-temannya sedang berada di ruang musik dan sialnya Stevani sangat buruk dalam memainkan sebuah biola meskipun ia sudah mengikuti les biola.

“Baik anak-anak, di depan kalian sudah ada biola. Sebelum kita memainkannya, ku harap diantara kalian ada yang bisa menjelaskan sedikit tentang biola.”

“Biola adalah sebuah alat musik berdawai yang diperkirakan berasal dari budaya penunggang kuda di kawasan Asia Tengah, contohnya alat musik bangsa Mongolia, Morin Huur. Biola sendiri memiliki empat senar, yaitu G D A dan E yang disetel berbeda satu sama lain dengan interval sempurna kelima. Nada yang paling rendah adalah G. Diantara keluarga biola, yaitu dengan viola, cello, dan double bass atau kontra bass, biola memiliki nada yang tertinggi.”

“Beri applause yang meriah untuk Flyn! Sungguh betapa bahagianya aku jika memiliki mahasiswa secerdas dirimu,” seru Mr.Hery seraya melirik Lissa yang mendengus sebal karena ia merasa di hina oleh gurunya sendiri.

                “Flyn?” gumam Stevani yang ternyata terdengar sampai ke telinga sang pemilik nama. Flyn yang merasa terpanggil itu pun menoleh ke kanan dan mendapati Stevani tengah menatapnya tanpa berkedip.

“Kau memanggilku?” tanya Flyn yang kini wajahnya sudah terpampang jelas di depan wajah Stevani.

Kesadaran Stevani baru kembali setelah Flyn mengajaknya berbicara. Ia bingung harus menjawab ‘Ya’ atau ‘Tidak’. Jika ia menjawab ‘Ya’, apa yang harus ia katakan supaya ia bisa berbicara dengan Flyn lebih lama lagi? Sedangkan jika ia menjawab ‘Tidak’, itu artinya ia telah menyia-nyiakan kesempatan emas yang sudah ada di depan matanya.

“Uumm.. Ya. Bagaimana bisa kau tahu semuanya? Mulai dari para komposer sampai alat musiknya. Bukankah itu sulit?” Akhirnya Stevani memberanikan diri untuk menjawab ‘Ya’ yang berhasil membuat keringat dingin mengucur deras.

“Kalau kau mau belajar maka tidak ada hal yang sulit. Bukannya kau juga ahli dalam hal teori?” tanya Flyn yang dibalas anggukan kecil Stevani kemudian kembali ke posisi semula.

Meskipun ia menjawab tanpa ekspresi, tapi rasa bahagia yang sedang dirasakan Stevani seakan membuncah memenuhi seluruh rongga dadanya. Rasa bahagianya sudah mencapai level tertinggi hingga rasanya ingin sekali berteriak lantang, memberitahu pada dunia bahwa ia sangat bahagia.

***

“Maaf anak-anak, aku sedikit terlambat karena ada urusan yang harus ku selesaikan,” ucap seorang wanita yang baru saja memasuki kelas.

‘Mrs.Paul? Untuk apa ia kesini? Bukankah ia hanya mengajar hari Selasa dan Kamis? Jadi mengapa ia... Astaga!’

“Justin, hari apa sekarang?” tanya Stevani panik.

“Kamis. Memangnya kenapa? Kau lupa kalau hari ini ada test?”

“Demi Ratu Victoria! Mengapa kau tidak memberitahuku, Justin? Hah.. kacau! Semuanya kacau!” omel Stevani sambil mengacak-acak rambutnya gusar. Ia menunduk berusaha menyembunyikan wajahnya hingga keningnya membentur pelan meja yang ada di depannya.

“Mengapa harus ada test? Mengapa?” gumam Stevani yang membuat Justin semakin bingung dengan sikap anehnya.

“Baik anak-anak, sesuai janji hari ini kita akan melakukan test praktik. Dan alat musik yang akan kita mainkan adalah piano bukan biola seperti janji kita. Jadi, siapa diantara kalian yang berminat untuk menjadi yang pertama? Aku akan memberikan tambahan nilai bagi siapa saja yang maju pertama. Lagu yang kalian mainkan bebas, jadi kalian boleh memainkan semua lagu yang kalian bisa. Very simple, isn’t it?”

Stevani yang memang jago dalam bermain piano segera mengangkat tangannya tinggi-tinggi berharap ialah yang menjadi peserta pertama. Tapi sayangnya ia kalah cepat dengan pria yang duduk disampingnya. Dengan sebal, ia menurunkan tangannya lalu melipat tangannya di depan dada. Ia menatap kesal pada Justin yang kini sudah beranjak dari tempat duduknya.

“Oh, Justin Lee, mahasiswa pindahan dari Korea. Apa aku salah?” tanya Mrs.Paul yang berjalan mendekati Justin.

“Tidak, Mrs.Paul,” jawab Justin yang sudah duduk di depan Grand Piano yang akan ia mainkan.

“Baiklah, ku harap kau berhasil melalui test ini dengan baik. Kau bisa memulainya.”

Mendadak suasana kelas menjadi hening. Tidak ada satupun suara yang terdengar selain alunan musik yang Justin mainkan. Sangat indah. Itulah definisi yang dapat digambarkan. Justin memainkannya dengan sangat lembut sesuai dengan irama musiknya yang mellow. Melihat suasana romantis seperti ini membuat Stevani membayangkan jika yang berada disana adalah Flyn dan memainkan musik tersebut khusus untuk dirinya. Sedangkan Lissa tidak pernah berkedip semenjak jari-jari Justin mulai menekan tuts-tuts piano yang membuatnya diam terpaku.

“Wow! Beri tepuk tangan yang meriah untuk Justin!” sorak Mrs.Paul yang terlihat sangat puas dengan permainan Justin.

“Wohoo! Kau hebat, Justin! Sangat Hebat!” teriak Lissa sambil memberikan applause yang meriah saat Justin berjalan melewatinya.

“Kau menyukai Justin?” tanya sebuah suara bariton tepat berada ditelinga Lissa.

“A...apa maksudmu? Aku tidak mengerti,” jawab Lissa gugup karena tidak menyangka Flyn akan mengetahuinya.

“Kau tidak ada bedanya dengan temanmu yang bernama Gabi itu. Sama-sama pembohong,” sahut Flyn tanpa mempedulikan wajah Lissa yang sudah memerah.

“Apa pedulimu? Toh, itu semua tidak ada sangkut pautnya denganmu,” protes Lissa yang sama sekali tidak ditanggapi oleh pria yang kini kembali sibuk dengan bukunya.

Saat akan mengangkat tangannya, ia baru sadar akan ucapan Flyn yang memanggil Stevani dengan nama ‘Gabi’.

‘Ia memanggilnya... Gabi? Benarkah? Ah, mungkin telingaku sedang sedikit bermasalah. Mana mungkin orang asing berani memanggilnya ‘Gabi’? Hah, membuatku kaget saja.’

“Ya, kau, Nona Weber. Silahkan maju dan tunjukkan kemampuanmu memainkan tuts-tuts piano.”

“Gabi? Sialan kau Flyn!” umpat Lissa dalam hati.

Fur Elise. Itulah yang Stevani mainkan saat ini. Jari-jari kecilnya terlihat sangat lincah menekan tuts-tuts piano yang sudah tidak asing baginya karena ayahnya adalah seorang pianis ternama. Tempo Fur Elise yang terkesan sulit ternyata tidak mengganggu Stevani sama sekali. Ia tampak menikmati setiap nada yang ia mainkan. Fur Elise memang tergolong sulit bagi beberapa orang, termasuk Lissa. Tapi bagi Stevani semua yang berhubungan dengan piano bukanlah suatu masalah. Telinganya yang sangat peka terhadap setiap nada membuatnya mudah dalam memainkan piano. Hanya piano. Tidak termasuk alat musik lain. Dan parahnya, ia sama sekali tidak bisa menggunakan alat musik apapun selain piano.

Sudah tiga menit berlalu dan alunan musik Fur Elise berhenti. Tapi tidak seorang pun bersorak ataupun bertepuk tangan seperti saat Justin selesai membawakan musik instrumental.

‘Sebenarnya apa yang terjadi? Apa aku berbuat kesalahan? Apa permainanku barusan sangat buruk?’ pikir Stevani yang sudah merasa sangat canggung berada di depan dan dilihat seluruh pasang mata.

Dengan sedikit kecewa, akhirnya ia memutuskan untuk kembali menuju bangkunya. Tapi langkahnya segera di halangi oleh Mrs.Paul yang sudah berdiri di hadapannya.

“Mau kemana kau, Nona Weber?” tanyanya tajam membuat Stevani bergidik ngeri.

“A..aku akan kembali ke tempat dudukku, Mrs.Paul. Aku sudah selesai dan sepertinya aku gagal dalam test ini. Maaf,” jawab Stevani sambil menunduk. Ia tidak berani menatap Mrs.Paul yang saat ini tengah menatapnya tajam.

“Siapa yang mengatakanmu gagal, nona? Adakah diantara kalian ada yang mengatakan kalau ia gagal dalam test ini?” tanya Mrs.Paul pada seisi kelas.

Mereka yang sedari tadi diam hanya menggeleng pelan. Dan itu semakin membuat Stevani serba salah.

“Besok, empat hari setelah natal, akan ada festival di Kyoto Garden. Kita diminta untuk mengirimkan beberapa orang yang berbakat dalam bermusik. Dan orang pertama yang ku pilih adalah kau, Nona Weber. Kau harus menghadiri acara festival itu atau ayahmu akan ku beritahu soal  kemampuanmu dalam memainkan alat musik. Jadi kau tidak punya alasan untuk menolak, Nona Weber,” jelas Mrs.Paul diikuti tatapan tak percaya dari Stevani.

“Sungguh? Aku.. aku menghadiri acara besar itu? Kau pasti bercanda!”  ucap Stevani setengah tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Alasan apa yang membuatku harus berbohong, Nona Weber? Permainanmu tadi sangat hebat, sama seperti ayahmu. Jadi kupikir memilihmu untuk mengisi acara itu bukanlah sebuah kesalahan. Bagaimana menurutmu?”

“Oh God! Jadi kau serius? Haha.. aku sangat menginginkan hal itu, Mrs.Paul. Itu adalah mimpiku sejak kecil! Terimakasih Mrs.Paul. Aku berhutang padamu.”

“Sekarang kembalilah ke tempat dudukmu. Berikan kesempatan untuk Lissa yang sepertinya sudah tidak tahan untuk menunjukkan kemampuannya.”

Stevani mengangguk lalu berjalan menuju tempat duduknya dengan wajah cerianya. Ia sama sekali tidak menyangka akan mengisi acara yang selama ini menjadi impiannya. Bukankah itu hal bagus? Ia bisa menunjukkan pada ayahnya bahwa putri bungsunya tidak kalah dengan kedua kakaknya walaupun ia tahu hal itu tidak akan merubah apa-apa, termasuk rencana ‘terkutuk’ ayahnya.

***

Setelah kelas usai, Lissa segera mengejar Stevani yang sudah keluar kelas lebih dulu tanpa menunggunya. Lissa merasa harus bertemu dengan Stevani untuk menanyakan suatu hal yang dianggapnya sangat penting.

“Gabi! Tunggu aku!” teriak Lissa saa melihat Gabi tengah menuruni tangga.

“Bisakah kau menungguku? Aku hampir mati karena jantungku berdetak sangat cepat akibat berusaha mengejarmu. Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padamu, Gabi,” ucap Lissa terengah-engah.

“Apa yang kalian bicarakan tadi? Terlihat sangat mesra sekali!” sahut Stevani ketus.

“Kalian? Maksudmu Flyn? Astaga, Gabi! Kau cemburu? Jadi alasan mengapa kau tidak menungguku adalah karena kau marah? Astaga! Kau itu kekanak-kanakan sekali. Seharusnya yang cemburu itu aku bukan kau, Gabi. Hah.. ia tadi hanya bertanya apakah aku menyukai Justin dan itupun berakhir dengan kemarahanku karena mulutnya sama sekali tidak mempunyai sopan santun. Jadi apa kau masih cemburu?”

“Kau yakin dengan ucapanmu? Tidak berbohong?” tanya Stevani menyelidik yang membuat Lissa memutar bola matanya malas.

“Terserah kau percaya atau tidak, yang jelas aku bukan pembohong sepertimu, Nona Weber.”

“Baiklah. Lalu apa yang ingin kau tanyakan tadi?”

“Tentang mimpimu sejak kecil. Bukankah mimpimu adalah menjadi dokter? Tapi mengapa tadi kau mengatakan bermain piano di Kyoto Garden adalah mimpi kecilmu?”

“Kau itu selalu saja ingin tahu! Dulu saat aku masih kecil, aku sangat mengagumi ayah. Sampai-sampai aku bermimpi akan menjadi penerus ayah suatu saat nanti. Tapi seiring berjalannya waktu, ayah menjadi otoriter dan terus memaksaku untuk menjadi pianis sama sepertinya. Aku yang waktu itu sudah tertarik dengan dunia kedokteran mendadak menjadi benci dengan dunia musik saat mendengar keputusan sepihak ayah. Dan sejak itulah, aku sama sekali tidak tertarik dengan musik. Tapi semenjak kedatangan Flyn, tiba-tiba saja keinginanku untuk bermusik muncul kembali. Dan puncaknya adalah aku akan mengisi acara besar di festival Kyoto Garden! Hebat bukan?”

Lissa menghembuskan napas sebal karena ocehan Stevani yang terdengar seperti segerombolan lebah di telinganya. Terlebih ocehannya tadi hanya berujung pada seorang pria yang tidak disukainya, Flyn.

“Kau bisa sebahagia ini setelah kau marah dan cemburu padaku? Aku tidak peduli apa kau akan kembali bermusik atau apapun tentang Flyn, yang kupedulikan adalah jangan dekati Justin lagi. Apa kau mengerti?”

Stevani diam. Ia sama sekali tidak menggubris ucapan Lissa yang mungkin kalau ia mendengarnya akan berakhir dengan perdebatan. Sayangnya, hal itu tidak akan terjadi karena Stevani tengah memperhatikan sosok pria yang ingin ia jadikan teman barunya. Lebih tepatnya teman dekat.

“Lissa, mungkin aku akan sedikit lama. Kau pulanglah duluan. Bye!” ujarnya seraya berlari mendekati Flyn.

“Jadi sekarang kau lebih mementingkan Flyn daripada aku? Baiklah, aku akan menunggumu dan melihat hasil apa yang kau dapat dari aksi gilamu itu. Kalau saja si Autis itu sampai membuatmu menangis, lihat saja, aku tidak akan tinggal diam,” gumam Lissa saat melihat wajah Flyn yang selalu tanpa ekspresi dan sekaligus terlihat sangat memuakkan di mata Lissa.

“Flyn!” panggil sebuah suara yang selama ini selalu ia hindari.

“Hai. Uumm.. permainan pianomu tadi sangat hebat. Mungkin kau bisa menjadi komposer terkenal besok. Dan aku sudah tidak sabar menunggu waktu itu,” kata Stevani dengan menahan segala kegugupannya.

“Kau ingin pamer karena kau terpilih untuk mengisi acara itu, begitu? Kudengar ayahmu yang sangat kaya itu menanamkan sahamnya disini, jadi bisa saja itu tidak murni karena kehebatanmu bermain piano. Aku juga tidak butuh sanjunganmu. Apa aku pernah meminta pujianmu? Sekalipun tidak pernah! Dan aku tidak butuh saran apapun darimu! Apapun yang akan kulakukan sama sekali bukan urusanmu! Jangan pernah dekati aku lagi, karena aku sudah muak setiap hari harus melihatmu!”

Setelah mengucapkan beberapa kalimat yang sukses membuat shock Stevani, pria itu pergi tanpa berkata sepatah katapun. Sedangkan Stevani masih mematung di tempatnya dengan berurai air mata. Gadis itu terlalu sakit mendengar kata-kata Flyn yang lebih mirip seperti pisau tajam. Hatinya terlalu perih hingga ia tidak mampu berkata apapun. Semua harapannya selama ini sudah hancur hanya dalam waktu beberapa detik tanpa bisa ia cegah. Ia mengepalkan tangannya, berusaha mengumpulkan kekuatannya agar ia bisa menghentikan tangisnya. Tapi semua itu percuma karena semakin keras ia berusaha menghentikannya maka semakin keras isakan tangisnya.

Lissa yang berada tidak jauh dari Stevani, segera menghampirinya setelah melihat Flyn pergi. Dan saat Lissa mengetahui sahabatnya kini tengah menangis, emosinya tiba-tiba saja sudah berkobar seperti api yang terkena angin. Lissa sudah berjanji tidak akan tinggal diam jika mengetahuinya sahabatnya menangis akibat ulah manusia autis itu. Berhubung manusia autis itu sudah pergi, ia tidak bisa melakukan apa-apa terhadap pria itu. ‘Mungkin pembalasanku bisa menunggu sampai besok.’

Stevani yang sadar jika Lissa sudah ada di depannya segera berhambur ke dalam pelukannya dan melepaskan suara isakan tangis yang sedari tadi ia tahan. Lissa membelai lembut gadis itu, berusaha memberi ketenangan pada sahabatnya. Hatinya berdesir melihat sahabatnya yang sudah dianggapnya saudara itu menangis karena seseorang untuk kedua kalinya. Sebenarnya sudah sejak awal Lissa melarang Stevani untuk mendekati manusia autis itu, tapi Stevani tetap saja keras kepala. Meskipun Stevani memiliki paras yang sangat cantik tapi di mata Flyn ia tidak lebih dari seorang gadis biasa lainnya dan itu sama sekali tidak mengundang perhatian Flyn. Itulah yang Lissa pikirkan terhadap Stevani di mata Flyn.

Setelah cukup lama membiarkan Stevani menangis dalam pelukannya, akhirnya Stevani bisa menghentikan tangisnya meskipun isakan-isakan tangisnya masih terdengar sesekali dari bibir tipisnya.

“Sekarang kita pulang, Ny.Weber mungkin sudah menunggumu di rumah. Ayo,” ajak Lissa yang dibalas anggukan kecil Stevani.

“Ini semua salahku. Seharusnya dari awal aku melarangmu untuk berharap lebih padanya. Tapi aku salah, semuanya sudah terjadi. Mungkin kau harus bisa menerima ‘cintanya’ mulai dari sekarang sebelum masalah ini semakin rumit. Ini demi kebaikanmu, Gabi. Aku hanya tidak ingin melihatmu menangis atau hal buruk lainnya menimpamu.”

***

Pagi-pagi sekali, Lissa sudah bersiap-siap akan berangkat untuk suatu alasan. Ia tidak bisa tidur semalaman karena terus memikirkan pembalasan yang pantas untuk manusia autis itu. Hingga sebuah ide melintas di otaknya untuk membalas ucapan keji Flyn kemarin.

Lissa menepikan mobil Ferrarinya dan berjalan cepat menuju perpustakaan. Ia tahu, setiap pagi manusia autis itu selalu berada di perpustakaan demi mencari ketenangan tanpa ada seorangpun yang mengganggunya. Dengan kasar, Lissa membuka pintu perpustakaan dan mengedarkan pandangannya pada seluruh ruangan. Setelah beberapa detik ia mencari, akhirnya sorot matanya tertuju pada satu titik, tepat di ujung ruangan dekat dengan jendela.

Tanpa membuang banyak waktu, ia berjalan menghampiri seseorang yang sudah ia incar sejak kemarin. Lissa menghentikan langkahnya tepat di depan Flyn. Pria yang menyadari akan kehadiran orang lain, mendongak dan tersenyum miring saat mengetahui siapa yang ada dihadapannya.

“Mencari Justin?” Itulah kata pertama yang berhasil menaikkan emosi Lissa.

“Kau! Flyn Williams! Kau kira kau itu siapa? Hah?! Beraninya kau berkata tidak sopan dan membuat Gabi menangis! Asal kau tahu, hanya sebuah keberuntungan kau bisa meneruskan pendidikanmu disini. Hanya sebuah keberuntungan! Ingat itu! Jika tidak karena beasiswamu itu, kau bukan apa-apa dibanding Stevani yang merupakan putri keluarga Weber. Oh ya, satu lagi. Jangan pernah sekali-sekali kau mendekati Gabi dan membawa nama keluarga Weber di depan siapapun. Karena itu tidak pantas untuk kau ucapkan mengingat kau hanya orang kecil disini. Kuharap kau bisa mengerti ucapanku dan merubah sikapmu itu! Aku permisi!” Lissa melenggang pergi dengan perasaan lega. Ia sudah sangat puas bisa membalas ucapan Flyn yang tak kalah kejam dengan ucapannya tadi. Mungkin apa yang ia katakan barusan memang terlampau batas, tapi toh itu semuanya Flyn yang memancingnya untuk mengeluarkan umpatan-umpatan kejamnya.

Dan Flyn? Pria itu tercengang dengan apa yang ia dengar barusan. Ia sama sekali tidak menyangka gadis itu berani mengatainya hingga sekejam itu. Tangannya meremas lembaran buku tengah ia baca. Hinaan yang keluar dari mulut gadis itu benar-benar membuat Flyn mencapai puncak emosinya. Rasanya ingin segera meledak tapi ia masih ingat bahwa dirinya sedang ada di perpustakaan. Tidak mungkin baginya untuk berteriak di tempat yang melarangnya bersuara. Hanya orang bodohlah yang berbicara dengan sangat keras di perpustakaan hingga membuat semua yang ada di sana menatapnya heran, yaitu Lissa.

Pria itu lantas memasukkan buku-bukunya kedalam tasnya dan berlalu meninggalkan beberapa orang yang sedari tadi masih menatapnya. Pria itu terlalu kesal hingga ia tidak bisa mengendarai sepedanya dengan baik. Terbukti sudah beberapa kali ia hampir menabrak lampu jalan yang memang ada di sepanjang jalan Kensington. Dadanya bergemuruh sangat hebat. Terselip perasaan bersalah dihatinya yang entah mengapa muncul saat Lissa datang dan memarahinya habis-habisan. 

Dengan sangat tiba-tiba ia mengubah arah sepedanya yang kini melaju menuju Kensington Garden untuk menenangkan dirinya. Sesampainya di Kensington Garden, ia meninggalkan sepedanya di pinggir lapangan dan berjalan mencari tempat yang mungkin bisa membuatnya merasa tenang. Ia duduk dibawah pohong rindang dan menyandarkan punggungnya pada pohon besar itu. Sejak kepindahannya ke Kensington, ia selalu sendiri. Orang tuanya tidak bisa ikut karena memang masalah keuangan yang mendera keluarga Flyn. Sedangkan penduduk Kensington selalu membuang-buang uangnya hanya untuk bersenang-senang dan itu sukses membuatnya marah. Tidak bisakah mereka menyisihkan sebagian dari uangnya untuk orang yang tidak mampu? Seegois itukah orang-orang kaya? Masihkah diantara orang-orang kaya yang selalu membuang uangnya memiliki kepedulian terhadap orang lain?

Terlintas dalam pikirannya bahwa ada satu orang yang peduli padanya. Bahkan sangat peduli. Tapi itu sudah berakhir sejak kata-katanya menghancurkan semuanya. Stevani. Ia adalah satu-satunya orang yang peduli terhadap Flyn namun seakan tidak tahu terima kasih Flyn malah melukainya. Membuatnya menangis hanya dalam hitungan detik. Perasaan itu, perasaan bersalah yang ia rasakan tadi muncul kembali saat ia teringat Stevani. ‘Haruskah aku meminta maaf kepadanya? Tapi apa ia akan memaafkanku mengingat ucapanku yang sangat kejam waktu itu?’

Ia memijat keningnya yang terasa sangat pusing karena berbagai masalah yang berkecamuk dipikirannya. Ia telah berbuat kesalahan dan mungkin itu akan sulit ia perbaiki. Ia telah melanggar janjinya. Ia telah merusak rencana yang ia buat selama ini. Ia telah menghancurkannya. Dan mungkin ia harus merubah rencananya mulai dari sekarang dan melupakan apa yang selama ini ia inginkan. Ia menyerah. Bendera putih sudah terkibar jelas di tangannya. Ia sudah tidak bisa memungkiri perasaanya lagi seperti kemarin. Sekeras apapun ia mencobanya, ia tidak akan mampu mengelak dari kenyataan bahwa ia telah jatuh ke dalam perangkap gadis itu. Perasaan terkutuk itu kini telah menguasai dirinya tanpa bisa ia cegah lagi. Semua sudah terjadi seiring berjalannya sang waktu yang akan terus melangkah maju tanpa mau berhenti sekedar untuk memberikan sedikit waktu pada manusia yang ingin kembali mundur dan memperbaiki kesalahannya. Ini sudah menjadi takdir Tuhan dan tidak ada satupun yang bisa merubahnya. Hanya hari esoklah yang Ia berikan pada makhluk ciptaannya untuk memperbaiki kesalahan di masa lalunya. Tidakkah Tuhan sangatlah baik? Memberikan suatu pelajaran pada makhluknya yang ia ciptakan dengan begitu sempurna supaya tidak melakukan suatu hal yang buruk agar mereka tidak menyesal dikemudian hari. Itulah mengapa Tuhan tidak pernah memutar balikkan waktu sedetikpun. Ia menginginkan hambanya selalu melihat ke depan bukan menoleh kebelakang yang sampai kapan pun mereka tidak akan pernah bisa kembali mengulanginya. Sekalipun tidak akan pernah bisa.

***

“Hey, ada apa denganmu? Wajahmu terlihat bahagia sekali. Apa terjadi sesuatu diantara kalian?” tanya Stevani seraya menyenggol bahu Lissa.
               
                “Maksudmu?” Lissa bingung dengan maksud ucapan Stevani yang tidak bisa ia mengerti.

“Kau dan Justin. Apa terjadi sesuatu? Seperti kencan, mungkin?”

“What? Seandainya itu benar, maka aku akan berteriak lantang di atas menara sana. Tapi, apa kulakukan itu sekarang?”

“Lalu apa? “

“Mr.Hery sudah datang. Lebih baik fokuskan perhatianmu kedepan, jangan padaku. Good luck!”

“Good luck? Memangnya akan ada apa? Test? Tidak mungkin! Jika ada test teori pasti tanpa diminta pun ia akan menjawabnya dengan.... tunggu! Dimana ia? Tidak masuk? Tapi kenapa? Setahuku kemarin ia baik-baik saja. Apa ia sakit?” gumam Stevani saat melihat bangku yang biasa dihuni oleh Flyn kosong.

Seperti seorang detective yang sangat cerdas menghubungkan kasus  demi kasus, begitu pun dengan Stevani yang mulai mengaitkan hubungan antara Flyn yang mendadak hilang dengan Lissa yang terus-terusan menunjukkan senyumnya. Aneh memang jika melihat Lissa terus-terusan menunjukkan senyumnya padahal biasanya ia hanya tersenyum bila Stevani menggodanya. Tapi sekarang? Tanpa Stevani goda pun Lissa sudah dapat tersenyum dengan sendirinya. Ditambah lagi, Flyn yang selama ini selalu rajin mengikuti kelas mendadak menghilang.

“Sebelum kita memulai materi baru, aku ingin memberikan kuis untuk kalian yang berhadiah menggiurkan. Apa kalian tertarik? Kuis ini sangat mudah, aku yakin kalian semua pasti berebut untuk menjawabnya,” ucap Mr.Hery seraya menunjukkan sebuah amplop.

“Memangnya apa isi amplop itu, Mr.Hery?” tanya salah satu teman Stevani yang sepertinya sangat terobsesi untuk memenangkan kuis bodoh itu.

“Rahasia! Kalian akan mengetahuinya kalau kalian memenangkannya. Bagaimana?”

“Sudah bacakan saja kuisnya, tidak usah membuang waktu,” usul Stevani yang tiba-tiba semangatnya hilang begitu saja setelah mengetahui Flyn tidak masuk.

“Sebutkan minimal limabelas karya Beethoven yang kalian tahu serta sejarah singkat mengenai Beethoven. Jadi siapa yang ingin menjawabnya?” tanya Mr.Hery yang diikuti desahan pelan seisi kelas. Mudah? Apanya yang mudah? Mungkin bagi Mr.Hery itu memang mudah tapi untuk murid-murid itu sama sekali tidak mudah, meskipun ada satu yang mengetahuinya.

“Tidak ada yang bisa menjawabnya? Oh Tuhan, ini adalah pertanyaan mudah bagaimana bisa kalian sebagai calom musisi tidak mengetahuinya?”

“Berhubung Flyn tidak ada, maka aku memintamu untuk menjawabnya, Nona Weber. Aku tahu kau hanya malas, tapi sebenarnya kau mengetahuinya, bukan?” tunjuk Mr.Hery pada Stevani. Ya, hanya gadis itu yang mengetahuinya. Bukankah ia memang lebih suka teori daripada praktek?

“Baiklah. Ludwig van Beethoven adalah putra dari Johann van Beethoven yang bekerja sebagai penyanyi tenor dan ibunya Maria Magdalena Keverich. Beethoven dibaptis pada tanggal 17 Desember 1770 di Bonn, Jerman dan meninggal pada tanggal 26 Maret 1827. Ia dipandang sebagai salah satu komponis yang terbesar dan merupakan tokoh penting dalam masa peralihan antara Zaman Klasik dan Zaman Romantik. Semasa muda, ia adalah pianis yang berbakat, populer di antara orang-orang penting dan kaya di Wina, Austria, tempat ia tinggal. Namun, pada tahun 1801 ia mulai menjadi tuli. Ketuliannya semakin parah dan pada 1817 ia menjadi tuli sepenuhnya. Meskipun ia tuli, tapi Beethoven tetap menciptakan musik hingga ratusan. Dulu ayahnya memaksa Beethoven untuk latihan piano berjam-jam karena menginginkan anaknya menjadi ‘anak ajaib’ seperti Mozart. Beethoven mengadakan konser pertamanya pada tanggal 26 Maret 1778 tapi kepandaiannya tidak setara dengan Mozart pada usia yang sama. Dan hasil karya-karyanya yang paling terkenal adalah simfoni kelima dan simfoni kesembilan, dan juga lagu piano Fur Elise. Karya lainnya adalah Sonata in C Minor ‘Pathetique’, Op. 13, Piano Concerto in Eb Major, Op. 37, Violin Sonata Op. 47, Piano Sonata in C Major ‘Waldstein’, Op. 53, Piano Sonata in F Major, Op. 54, Piano Sonata in F Minor ‘Appasionata’, Op. 57, Symphony No.6 in F Major, Op. 68, Concerto Piano No.4, Fantasien, Op. 80, Piano Concerto No.5 in B Flat Major ‘Emperor’, Op. 73, String Quartet in E Flat Major, Op. 74, Piano Sonata in Eb ‘Les adieux’, Op. 81a, Symphony No.7 in A Major, Op. 92.”

“Bravo! Beri tepuk tangan yang meriah untuk Stevani! Ini, aku berikan hadiahnya. Selamat bersenang-senang!” ucap Mr.Hery seraya menyerahkan amplop pada Stevani.

“Apa isinya? Cepat buka! Aku sangat penasaran,” ujar Lissa tepat di telinga Stevani.

“Moron! Bisakah tidak berteriak di telinga orang lain?!” bentak Stevani sambil menutup telinganya dengan tangan kirinya.

“Hehe.. maaf. Aku hanya terlalu semangat saja. Jadi apa isi amplop itu? Voucher?”

“Well, isinya adalah undangan. Lebih tepatnya adalah undangan untuk mengikuti festival di Kyoto Garden. Aku sudah mendapat undangan resmi dari Mrs.Paul, jadi aku tidak membutuhkan ini. Kau mau Lissa?”

“Kau bercanda, Gabi. Aku belum terbiasa tampil di depan umum jadi aku tidak bisa. Tapi, aku akan menontonmu besok, tenang saja.”

“Baiklah kalau begitu, aku akan menyimpannya. Siapa tahu aku membutuhkannya nanti. Ya sudah, aku ingin ke kantin. Kau mau ikut?”

“Tentu saja. Cacing-cacing di perutku sudah mulai memberontak sejak tadi.”

***

Kantin Royal College of Music sangatlah luas dengan nuansa elegan. Bagaimana tidak? Hampir seluruh penghuninya adalah orang-orang dari kalangan atas. Ditambah para investor yang dengan baik hati mau menanamkan sahamnya disini. Ada tiga investor yang berasal dari kalangan elit, yaitu Tn.Weber, Tn.Robinson, dan Ny.Schullter. Mereka adalah keluarga besar yang sangat disegani dimanapun mereka berada. Nama Weber di dunia musik sudah tidak asing lagi. Tn.Weber dan Ny.Weber sudah mengunjungi hampir seluruh negara yang ada di belahan dunia. Sedangkan keluarga Robinson adalah pemilik perusahaan sepatu Robinson. Perusahaannya sudah menyebar di setiap kota, bahkan negara. Dan keluarga Schullter adalah keluarga super model internasional. Bakatnya dalam berpose di depan kamera sudah tidak diragukan lagi.

Ketiga keluarga besar itu sudah berteman dekat sejak kecil hingga pengkhianatan Ny.Schullter merusak segalanya. Ia berusaha mengadu domba Tn.Weber dan Tn.Robinson agar mereka tidak saling percaya satu sama lain yang pada akhirnya sahamnya akan di berikan kepada Ny.Schullter, satu-satunya orang yang dipercaya. Permusuhan antara keluarga Weber dan keluarga Robinson berlangsung sekitar dua belas tahun hingga mereka menyadari bahwa keluarga Schullterlah dalang di balik masalah ini. Semenjak itu, keluarga Weber dan keluarga Robinson memutuskan untuk kembali menjalin hubungan baik yang memicu munculnya ‘rencana’ terkutuk bagi Stevani. Berawal dari situlah, Stevani sangat membenci keluarga Schullter, karena ulahnya telah mengakibatkan Stevani terlibat dalam masalah kedua keluarga besar itu.

“Kau sedang memikirkan rencana bodoh ayahmu itu?” tanya Lissa yang menyadarkan lamunan Stevani.

“Jadi kau bisa menebaknya?”

“Bukan menebak, tapi terlihat jelas dari steak mu yang sudah terpotong-potong hingga terlihat hancur. Ini sudah hampir natal, apa ayahmu tidak bisa memberi kebahagiaan sedikit saja kepadamu? Apa artinya natal kalau ayahmu saja tidak peduli terhadap anaknya?”

“Mungkin inilah yang dianggap ayah terbaik. Memperbaiki sebuah hubungan yang dulunya sangat dekat adalah hal penting baginya. Lebih penting dari putrinya sendiri. Impianku untuk menjadi dokter tidak akan pernah dapat ku raih selama ayah masih menganggap musik adalah yang bagian dari hidup. Dan masalah hati? Ayah sama sekali tidak peduli. Selama aku terlihat sehat, anggota tubuhku masih lengkap, selama itulah ayah menganggapku baik-baik saja. Dan soal Flyn, apa ada hubungannya denganmu? Kau bahagia dihari Flyn tidak masuk,” ujar Stevani yang sukses membuat Lissa tersedak.

“Hm, Gabi, apa yang kau bicarakan? Kita sedang membicarakan rencana ayahmu, kau tahu itu?”

“Dan aku sedang membicarakan Flyn. Apa itu mengganggumu?” sahut Stevani memojokkan Lissa.

“Kau tahu kan, aku membencinya, jadi–“

“Justru kau membencinya, makanya aku bertanya padamu. Jadi benar kalau tidak masuknya Flyn ada hubungannya denganmu?”

“Kau konyol, Gabi! Konyol sekali! Sudahlah, aku mau ke toilet dulu. Kau lanjutkan saja makanmu,” ucap Lissa seraya berjalan menjauhi Stevani. Ia benar-benar takut kalau Stevani sampai mengetahui kebenarannya. Harusnya ia berpikir ulang sebelum ia mengatakannya. Tapi semua sudah terlambat, sekeras apapun ia mencoba, kata-kata kejamnya tidak akan bisa ia tarik kembali.

***

Sudah seminggu berlalu, semenjak Flyn tidak muncul lagi di kelas. Sedangkan hubungan antara Lissa dan Stevani semakin renggang. Sebenarnya bukan ini yang Stevani inginkan, tapi sejak Stevani bertanya pada Lissa soal Flyn, ia menjadi menjauhi Stevani seolah apa yang Stevani pikirkan benar.

Saat jam istirahat, Stevani memilih perpustakaan sebagai tempat untuk menenangkan diri. Selain itu, ia merindukan Flyn. Sangat merindukannya. ‘Apa yang terjadi pada pria itu hingga ia tidak masuk?’ Itulah yang mengganggu pikiran Stevani akhir-akhir ini. Dan hanya tempat inilah yang bisa membuat Stevani merasa dekat dengan Flyn. Ia duduk di kursi yang biasa Flyn tempat. Pemandangan yang bisa dilihat juga tidak buruk. Dari situ, Stevani bisa melihat bangku taman yang biasa Stevani dan Lissa pakai untuk bersantai.

Gadis cantik itu tersenyum getir saat peristiwa itu kembali berputar di otaknya. Meskipun Flyn sudah jelas-jelas mengacuhkannya tapi gadis itu sama sekali tidak bisa membencinya sedikitpun. Biasanya, jika ada yang membicarakan ayahnya, ia tidak akan sungkan memarahinya habis-habisan meskipun ia sendiri juga membenci ayahnya. Sedangkan saat Flyn mengatakannya, ia hanya diam. Malah ia sempat membetulkan ucapan Flyn mengenai ayahnya. Apakah ia benar-benar mencintai Flyn? Tapi bagaimana jika cintanya terhadap Flyn adalah sebuah kesalahan? Untuk kesekian kalinya, Stevani menghembuskan nafasnya gusar. Ia ingin sekali terbebas dari masalah ini atau setidaknya mengurangi beban yang ia bawa selama ini. Biasanya ia akan mengatakannya pada Lissa, namun sekarang sahabatnya kini telah menjauh dari jangkauannya. Dengan siapa ia akan mengeluarkan keluh kesahnya? Rasanya sangat menyakitkan bila harus menanggung semuanya seorang diri.

Tiba-tiba saja, tanpa persetujuan Stevani, seorang gadis sudah duduk di depannya. Stevani mengernyit heran, tidak biasa gadis itu ada di dekatnya. Tapi sekarang tanpa ia minta, gadis itu sudah duduk di depannya dan menunjukkan wajah sumringahnya. Ada apa ini?

“Kau, ada perlu apa denganku?” tanya Stevani datar. Tidak ada emosi yang terpancar dari nada maupun wajah Stevani. Ia memang termasuk orang yang mudah menyembunyikan emosinya. Tapi, entah mengapa, bila berhadapan dengan Liona, Stevani tidak bisa menyembunyikan emosinya sama sekali. Apakah itu gunanya saudara? Dapat mengerti apa yang sedang dirasakan saudaranya tanpa berbicara. Cukup dengan melihat manik matanya, itu sudah menjawab semuanya.

“Aku ingin mengatakan sebuah kebenaran padamu. Mengenai Lissa, sahabatmu,” kata gadis itu lembut.

Stevani menaikkan alis kanannya tanda ia tak mengerti apa maksud pembicaraan ini.

“Apa yang ingin kau bicarakan?”

“Sahabatmu, Lissa, sudah berbohong padamu. Kecurigaanmu selama ini adalah benar. Flyn menghilang disaat Lissa memarahinya, lebih tepatnya menghina. Ia menghina Flyn tentang latar keluarganya dan ketidak pantasannya berada disini. Menurutku ucapan Lissa waktu itu tidak bisa dimaafkan hingga membuat Flyn merasa dipermalukan sampai-sampai ia tidak masuk selama seminggu. Dan mungkin–“

“Untuk apa kau memberitahuku? Apa tujuanmu sebenarnya?” tanya Stevani yang sukses membuat Clara tersentak kaget. Gadis itu sama sekali tidak menyangka jika Stevani bisa menebak bahwa ada rencana dibalik sikap baiknya.

“Ti..tidak ada. Aku hanya ingin memberitahumu, itu saja. Aku tidak memiliki tujuan apapun selain itu,” jawab Clara dengan menahan kegugupannya.

“Kau ingin membohongi orang yang hobi berbohong, hm?” ucap Stevani seraya bangkit dari kursi coklat itu lalu berjalan meninggalkan Clara yang masih membeku. Baru beberapa langkah, Stevani berhenti tepat di belakang Clara.

“Ah, aku hampir saja lupa. Sebelumnya, terimakasih kau sudah mau menceritakannya padaku, Clara atau mungkin perlu ku panggil fans girl Justin?”

Senyum tipis berhasil Stevani ciptakan setelah ia menyadari bahwa rencana Clara sebenarnya adalah untuk merusak nama baik Lissa sehingga Justin tidak akan mendekatinya. Sungguh cara yang amat licik!

Namun senyum itu harus hilang saat ucapan Clara kembali terngiang di telinganya. Hinaan itu tidak seharusnya keluar dari bibir siapapun. Ia menyesalkan perbuatan bodoh Lissa yang berujung pada permusuhan. Tanpa pikir panjang, Stevani segera menarik pergelangan tangan Lissa yang kebetulan ia juga ada di perpustakaan dan berjalan menjauh dari keramaian. Ia ingin menanyakan langsung pada Lissa, karena ia takut kalau saja Clara hanya mengadu domba mereka berdua, seperti yang di lakukan keluarga Schullter pada keluarganya.

“Gabi! Lepaskan! Apa-apaan kau menarikku seperti ini?” seru Lissa saat Stevani menariknya keluar perpustaan. Stevani terus saja menarik Lissa seolah telinganya tidak mendengar teriakan Lissa yang merasa sakit pada pergelangan tangannya. Akhirnya Stevani melepaskan cengkaramannya saat sampai di taman belakang.

“Apa yang kau lakukan pada Flyn? Apa benar kau menghinanya?”

Jantung Lissa nyaris berhenti berdetak saat pertanyaan yang mengerikan itu akhirnya meluncur dari bibir Stevani. Ia tidak tahu jawaban apa yang paling tepat agar sahabatnya itu tidak marah. Bibirnya terkatup rapat seperti ada lem yang merekatkannya.

“Sepertinya memang benar berita itu. Aku kecewa padamu, Lissa. Aku tidak menyangka kau akan sebodoh ini! Flyn sudah membenciku, dan berkat ucapan bodohmu itu mungkin ia akan semakin membenciku! Apa kau tidak pernah berpikir apa dampak dari ucapanmu itu, Lissa?! Apa kau tahu? Aku merindukannya. Sangat merindukannya, Lissa. Bagaimana bisa kau setega itu padaku?! Mungkin lebih baik kita tidak usah berbicara dulu untuk beberapa hari ke depan. Dan kuharap kau tidak akan mengulanginya lagi. Sekarang masuklah, sebentar lagi kelas akan dimulai,” ucap Stevani yang kini sudah meninggalkan Lissa tanpa menghiraukan sahabatnya yang tengah menangis dalam diam.

***

Saat ini, gadis itu sengaja tidak mengikuti kelas dan lebih memilih berjalan-jalan menyusuri koridor-koridor gedung untuk sekedar menghilangkan segala penat yang menyanderanya akhir-akhir ini. Sayup-sayup Stevani mendengar dentingan piano dari salah satu ruang. Stevani segera menghampiri asal suara itu dan tak ingin kehilangan jejaknya untuk kedua kalinya. Pelan-pelan Stevani membuka pintu dan mengintip siapa yang ada di dalam. Tanpa ia duga, ternyata orang yang tengah memainkan Grand Piano itu adalah pria yang ia rindukan akhir-akhir ini. Setelah cukup lama ia berdiri di ambang pintu, akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam lalu menyandarkan tubuhnya di dinding putih tak jauh dari pintu. Ia memejamkan matanya, menikmati setiap denting piano yang dimainkan dengan penuh perasaan. Rangkaian nada itu seakan mampu membuat segala resah di hatinya hilang begitu saja.

“Berkeliaran di saat kelas sudah di mulai?” ucapnya seraya menghentikan permainan pianonya. Satu kalimat itu sukses mengejutkan Stevani yang kini sudah membuka lebar matanya. Ia membernarkan posisi berdirinya lalu berjalan satu langkah ke depan.

“Kau juga. Mengapa kau tiba-tiba menghilang? Seminggu, bukanlah waktu yang singkat. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Apa kau tahu itu?!” bentak Stevani dengan suara yang bergetar karena berusaha menahan air matanya yang tiba-tiba mendesak                                          ingin keluar.

“Apa itu termasuk urusanmu? Sudah kubilang, ’bukan? Urusi saja urusanmu, tidak usah repot-repot mengkhawatirkanku. Selama kau baik-baik saja, aku juga akan baik-baik saja.” Seakan baru sadar apa yang telah diucapkannya adalah sebuah kesalahan, ia segera bangkit dan berjalan menghampiri Setevani, mensejajarkan tubuh mereka.

“Tadi aku sempat bertemu dengan sahabatmu dan ia mengakui kesalahnnya. Apa kau tahu apa yang aku lakukan? Aku sudah memaafkannya. Jadi kupikir tidak baik bermusuhan terlalu lama mengingat kalian adalah teman sejak kecil. Jaga dirimu baik-baik. Aku pergi.” Flyn lalu melangkah pergi meninggalkan Stevani yang mati-matian menahan isak tangisnya.

Selangkah demi selangkah Stevani mendekati Grand Piano yang sebelumnya dimainkan oleh Flyn. Ia duduk di bangku panjang itu dan mulai menekan tuts-tuts piano yang sudah tak asing lagi baginya. Dengan keahlian jari-jarinya, ia bisa menghasilkan sebuah alunan musik yang sangat ia rindukan. Amazing Grace. Entah mengapa ia masih mengingat peristiwa di Holland Park musim semi lalu. Disaat ia membutuhkan ketenangan dengan sendirinya ia akan merindukan Mr.Flute-nya. Ia berharap Mr.Flute ada disampingnya dan menyenandungkan Amazing Grace dari flute yang ia gunakan sebelumnya.

Pintu yang terbuka ternyata membuat suara alunan indah nan merdu itu pun dapat ditangkap oleh gendang telinga Flyn yang sukses menghentikan langkahnya. Flyn sengaja menghentikan langkahnya demi mendengar alunan musik yang terdengar sangat sempurna tanpa ada kesalahan nada sedikitpun. Selain ketepatan nada yang sempurna, sebenarnya pria itu juga menyimpan perasaan rindu pada lagu itu. Dan tanpa mereka sadari, saat ini mereka berdua tengah merasakan hal yang sama. Perasaan yang mereka pendam selama ini menguap begitu saja hingga keduanya merasa rapuh karena perasaannya sendiri.

“Bukan hanya kau saja yang merasakannya, Gabi. Aku juga merasakannya. Sakit. Itulah yang kurasakan selama ini. Apa kau tahu itu?” gumam pria itu lirih. Setetes air mata terjatuh bebas dari pelupuk mata kirinya. Mungkin ia berdosa karena sudah melanggar janji yang ia buat sendiri. Tapi apakah mencintai seseorang dalam hidupnya adalah hal yang dosa?


8888

Tidak ada komentar:

Posting Komentar